Jumat, 24 Juni 2011

Krisis percaya diri menjadi ibu rumah tangga

C’est la vie. Inilah hidup, kata orang Perancis. Pagi ini saya dapat pencerahan memaknai arti hidup. Disaat kita memandang dunia, ternyata dunia juga memandang kita. Kita bukanlah manusia gua yang mengintip dari balik celah gua tentang kehidupan manusia di luar gua. Kita adalah manusia yang membawa cermin kemana-mana. Kita kita memandang orang, dari cermin yang dibawa memantulkan diri kita.
Kenapa saya bilang begitu? Pagi ini, Bli Danglir (45), salah seorang tukang bangunan yang bekerja dirumah saya ternyata mengamati kerja saya. Saya sedang hilir mudik mengambil air di keran depan dekat angkul-angkul (pintu gerbang rumah). Saat itu saya sedang memasak sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Kadang-kadang mereka suka rebutan mainan terus berakhir dengan aksi pukul memukul. Anak saya yang pertama, Ryan (4) dan Nara (menjelang 2 tahun), mungkin masih terlalu dini bagi mereka memahami konsep berbagi (ah kadang-kadang orang yang sudah bau kubur saja egonya masih tinggi!).
“Setinggi-tingginya perempuan bersekolah akhirnya jadi dokterandus ya” kata bli Danglir.
Aku memahami kata dokterandus, kalau di Bali itu dipelesetkan menjadi dokter andus (asap). Karena perempuan setiap hari berkubang dengan asap di dapur. Tidak peduli, mau dia pakai tungku kayu bakar, kompor minyak tanah, kompor gas, atau kompor listrik, setiap kegiatan memasak akan menghasilkan asap atau uap.
“Kecuali mungkin dia kaya, atau menjadi pegawai. Dengan uangnya dia bisa menggaji pembantu untuk ngurus anak dan bersih-bersih rumah.” lanjutnya ketika melihat saya hanya menaikkan alis dua kali tanda setuju.
Hari ini dia menilai saya. Dari kacamatanya dia melihat seorang perempuan tamatan sarjana hubungan internasional di luar pulau Bali, menjadi pengangguran dan merawat anak dirumah saja. Mungkin dia heran mengapa seorang yang menurut dia berpendidikan hanya berakhir dirumah berkubang dengan asap dan mengasuh anak. Perempuan yang tidak bersekolah saja bisa melakukan ini, kalau akhirnya berakhir dirumah mengasuh anak saja, kenapa harus bersekolah tinggi?. Begitu kira-kira saya menggambarkan keheranan dia.
Tidak hanya sekali saya mendengar komentar seperti ini masuk ditelinga saya secara langsung. Secara tidak langsung yang tidak saya dengar, mungkin juga banyak orang yang membicarakan saya. Maklum, saya tinggal di kampung, dimana banyak para tetangga masih kerabat jauh. Seorang paman jauh, juga pernah menanyakan apa saya tidak bekerja. Saya bilang saya berhenti dulu kerja untuk mengasuh anak.
“Ah bisa masih tetap bekerja kalau mau, cari saja pembantu. Ibu kan masih bisa mengawasi sepulang mengajar?” katanya. Ibu saya adalah seorang guru SD, yang pulang mengajar kira-kira jam 1 siang.
“istriku saja masih bisa kerja, dengan tiga orang anak” lanjutnya. Saya mengangguk tanda penghormatan terhadap istrinya. Betapa hebatnya dia.
Beberapa orang juga melihat dengan pandangan kasihan ketika melihat saya wara-wiri di jalan, menemani Ryan dan Nara bersepeda, bermain bola dan lainnya. Beberapa orang mencoba bijaksana dan bilang: “sabar ya, memang begitu siapa men disuruh ngempu, nanti kerja lagi kalau anak-anak sudah besar”.
Nah sekarang apakah saya mau menulis yang baik tentang saya, menegasikan pandangan remeh orang tentang ibu rumah tangga, ataukah saya menulis jujur tentang apa yang saya rasakan terlepas dari semua logika untung dan rugi?.
Ketika saya hamil pertama (waktu itu saya masih kerja) dan kemudian mengalami keguguran, saya sedih. Saya berjanji akan merawat kehamilan selanjutnya. Tuhan tidak lama menguji saya, tidak berselang 4 bulan kemudian saya hamil lagi. Saya masih tetap bekerja, sampai usia kandungan 7 bulan. Suami saya menawarkan untuk berhenti kerja dan ikut ke Sulawesi, tempat dia bekerja dulu. Saya setuju, namun kemudian tidak jadi berangkat ke Sulawesi, dengan alasan tidak  ada support untuk mengasuh anak di Sulawesi dan ketakutan saya berlebih tentang layanan kesehatan.
Kelahiran anak pertama, saya mengalami baby blues. Sejak punya anak, saya mulai kehilangan kepercayaan diri karena tidak bekerja dan sedikit demi sedikit mulai kehilangan teman (atau saya memang tidak pernah punya teman? haha). Selain itu ditambah dengan sakit sehabis melahirkan normal, membuat saya tidak berhasil menyusui anak pertama. Anak itu menjadi bayi susu formula.
Kehamilan anak kedua dan melahirkan, saya mengulangi ritme yang sama untuk merawat bayi. Kali ini memang saya berhasil menyusui, tetapi tetap tidak bisa melampaui yang namanya baby blues – sampai sekarang saya masih merasakannya.
Sebenarnya saya sendiri sudah sangat ingin bekerja kembali. Beberapa kali saya memberontak terhadap diri saya, kenapa saya hanya ngempu dirumah. Saya pikir saya mempunyai kemampuan untuk berkompetisi di dunia kerja, dan saya suka bekerja. Dengan bekerja saya bisa ngobrol dengan berbagai macam orang. Saya sadar passion saya adalah ngobrol dengan orang dan mendengar berita-berita sosial. Ada dalam psikologi, bahwa orang memasukkan informasi ke otaknya melalui: membaca, mendengar dan melakukan. Saya adalah termasuk orang yang mendengar. Informasi apa yang anda dengar, kalau anda hanya dirumah saja?!.
Seorang teman lama yang tidak bertemu lagi sejak tahun 2004, beberapa minggu lalu kembali bertemu dengannya. Kami mengobrol lama dan mendengarkan keluh kesah masing-masing dengan perjalanan hidup yang kami lalui.
Dia berkata: “kamu sekarang kerja dimana?”
“aku tidak bekerja lagi, ngempu anak saja dirumah” sahut saya
Dia terkejut seakan tidak percaya : “gila kamu, jangan begitu. Jadi perempuan itu harus kerja. Kalau tidak kita tidak punya arti. Kita tidak pernah tahu bagaimana nanti dengan suami, apa tinggal mati atau cerai, kalau tidak bekerja kita bisa apa untuk anak-anak”.
Dia memarahi saya. Saya lebih dari tahu tentang itu. Bapak saya meninggal ketika saya berusia 12 tahun, dan adik perempuan 11 tahun. Ibu menjanda dari usia 32 tahun sampai sekarang.
Okay, tidak adil rasanya kalau menggambarkan apa ‘gambaran pekerjaan’ saya sebagai ibu rumah tangga. Pagi-pagi saya bangun, sebenarnya saya sudah bangun jam 6 pagi, tapi baru keluar kamar jam 7 pagi. Kadang-kadang anak saya Nara, masih pengen kehangatan dibalik payudara ibunya. Setelah itu, bersama dengan Ryan, saya ke pasar membeli perlengkapan memasak dan beberapa cemilan untuk Nara dan Ryan. Jam 7.30 saya sampai di rumah dan memulai ritual memasak. Biasanya acara memasak selesai sekitar satu setengah jam. Setelah itu saya mulai menyuapi anak makan. Biasanya sambil menonton tv, tontonannya adalah film-film kartun. Anda tahu ‘hiburan’ apa yang menjejali otak saya seharian, spongebob, curious George, benard bear, upin dan ipin, penguin of Madagascar, dan kartun lainnya. setelah itu memandikan mereka, setelah itu menemani mereka bermain, mengajak tidur siang sambil membersihkan kamar dan ruangan lain. Waktu saya sendiri, ketika mereka tidur, saya mulai bisa mengetik beberapa kata untuk blog atau kalau tidak membaca majalah dan Koran Kompas (terima kasih kompas, satu-satunya yang membuat saya masih tetap waras). Setelah itu dari sore sampai malam, dengan penuh perjuangan, menyuapi makan, bermain, mandi, menonton tv, dan tidur. Di kala mereka tidur, saya juga capek dan tertidur.
Begitulah hari-hari saya berakhir. Saya mencoba untuk bekerja dari rumah, tetapi berakhir dengan anak-anak semakin rewel. Karena saya melotot di depan laptop dan mereka mau mengajak main atau ngobrol. Itu sangat mengganggu konsentrasi, akhirnya saya marah. Karena saya marah, mereka tambah rewel, karena mereka tambah rewel, saya tambah marah. Saya frustrasi sendiri, hubungan ini seperti lingkaran setan.
Saya merasa malu sebenarnya dengan kondisi ini, namun pelajaran menulis ini mengajarkan saya untuk jujur, bukan hanya jujur menggambarkan kondisi orang lain, tetapi juga kondisi diri sendiri. tujuan saya menulis di blog ini adalah dengan harapan ketika anak-anak saya dewasa, mereka membaca cerita-cerita hidup saya, mereka tahu beginilah kehidupan ibu mereka. Seorang perempuan dengan kepribadian yang tidak matang, melahirkan dua anak. Hanya karena inilah kemudian saya bisa dipanggil sebagai seorang ibu. Cara saya mendidik anak-anak saya, sangat jauh dari seorang yang ideal dan sempurna, yang layak menyandang predikat ibu. Untuk inilah saya malu, malu pada anak-anak saya, pada Tuhan dan kepada ibu saya, juga kepada suami saya yang “menggaji” saya per bulan untuk menjaga ‘gawang’. Dia sudah berbuat terbaik untuk pemenuhan kebutuhan kami, tapi saya tidak melakukan terbaik untuk menjaga ‘rumah’.
Saya tahu, saya tidak bisa menggantungkan kebahagiaan saya kepada orang lain. Saya harus menciptakan kebahagiaan untuk diri saya sendiri, bukan untuk orang lain. Orang lain juga terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri bergelut dengan lika liku kehidupan. Seharusnya saya mensyukuri apapun yang datang dalam kehidupan saya. Saya lupa belakangan saya lupa bersyukur. Saya terlalu menuntut banyak dari tuhan. Tuhan, maafkan saya. Mau berteman lagi? Saya ingin kembali bangkit tuhan.
Saya tidak tahu, apakah Bli Danglir bisa membaca pikiran saya ketika dia ‘memandang’ saya? Bahwa ada percakapan yang saling bersahutan dan membenarkan satu sama lain. Saya belum mendapatkan kata-kata menghiasi bagian penutup tulisan ini.. ataukah saya belum cukup menelanjangi diri?.

Selasa, 21 Juni 2011

Tukang Bangunan Bali di Ujung Zaman

Pagi ini, Bli Rasta, tukang bangunan yang bekerja di rumah saya untuk membangun dapur bercerita dadanya sakit setelah meminum obat yang dikasi dokter untuk luka infeksi di ibu jari kaki sebelah kanan. Dadanya terasa panas, dan pil itu terasa nyangkut di tenggorokan.  Jari kakinya luka kena bambu runcing yang dipakai sebagai ‘perantos’ jembatan penyangga untuk naik. Sebenarnya kenanya sudah dua minggu yang lalu, tapi karena kurang istirahat total, lukanya jadi infeksi, banteh, kalau orang Bali bilang.
Saya heran,  bukannya aturan minum obatnya 2 x 1, artinya dua kali sehari. Saya tahu karena saya yang mengantar ke rumah sakit. Ternyata benar, dia langsung memukul dahinya, ternyata dia salah sangka dua tablet diminum sekaligus sekali sehari. Saya dan tukang lainnya, langsung terpingkal-pingkal, senang bercampur kasihan. Ironis sekali kami, tertawa diatas penderitaan orang.
Bli Rasta (45 tahun) beserta 4 temannya yang lain (3 laki-laki termasuk dia, 2 perempuan) sedang bekerja di rumah untuk membangun dapur. Sudah lebih dari 30 hari mereka bekerja dirumah. Setiap hari ada saja cerita-cerita lucu dari mereka untuk memeriahkan suasana. Kalau tidak becanda, suasana kerja jadi membosankan kata mereka. Jadi sibuklah mereka mengolok-olok satu sama lain.
Sambil menyuapi anak makan, saya senang memperhatikan tukang ini bekerja. Sembari ngobrol kesana kesini, dari topik urusan seksual sampai Alm Ruyati yang baru dihukum pancung. Ada seorang tukang yang belum menikah di usianya yang sudah hampir 45 tahun, dialah yang suka diolok-olok oleh tukang lainnya terutama oleh tukang perempuan.
Para tukang bangunan di Bali, terengah-engah berkompetisi dengan tukang dari luar. Sebagian besar berasal dari Jawa, ada beberapa dari Nusa Tenggara Timur. Salah seorang sepupu suami, yang mempunyai usaha membuat rumah knock down dari kayu, lebih cenderung memilih tukang dari Jawa atau Nusa Tenggara Timur, kerjanya lebih rapi dan tidak neko-neko.
“tukang Bali mungkin orang seni ya.. mereka kerja dengan suasana hati. datang jam 8, terus ngopi dulu 10 menit. Baru mereka mulai kerja. Karena dibayar harian jadi mereka gak ngoyo kerjanya. Terus pulang, teng jam 5 sore. Belum lagi jajan dan camilan lain, banyaklah cost-nya” kata Tude sepupu suami saya suatu kali.
Tentang suguhan juga ada cerita menarik. Umumnya tuan rumah, akan menyambut tukang di pagi hari dengan kopi dan jajanan untuk pengganjal perut di pagi hari. Tapi perlakuan ini tentu beda untuk setiap rumah. ada yang juga memberi selingan cemilan untuk menjelang siang dan sore hari, seperti coffee break begitu. Siang hari ketika mereka kembali dari istirahat makan siang, mereka juga disuguhi kopi lagi. ketika saya tanya, apa tidak sakit perutnya minum kopi dua kali sehari. Tukangnya bilang malah kalau mereka tidak minum kopi, staminanya tidak fit. Bli Rasta menambahkan, ketika mereka kerja disatu rumah, setiap hari mereka dikasi Ekstra Joss, minuman penambah energy, yang dicampur dengan air es. Ada juga kebiasaan kalau sudah mau pasang atap, tuan rumah akan menyungguhkan makanan (biasanya nasi lawar) untuk para tukang, sebagai syukuran pekerjaan mereka sudah hampir selesai.
Iya para tukang bangunan di Bali, sebagian besar memang di bayar harian, upahnya tergantung keahliannya, kalau tukang kayu upahnya berkisar antara 60-80 ribu perhari, kalau tukang batu sekitar 45 – 60 ribu, kalau tukang serabutannya (pengayah atau tukang luluh, istilahnya, biasanya perempuan- istri atau saudara dari tukang batu yang ikut kerja) upahnya berkisar antara 35-45 ribu per hari. Namun ada juga beberapa tukang Bali yang tidak dibayar harian, setahu saya yang pernah kerja dirumah itu tukang pasang keramik lantai. Mereka minta bayaran 20ribu per meter persegi. Itu dulu tahun 2004, mungkin sekarang sudah berubah. Bapak mertua saya, yang biasa tinggal di Surabaya dengan model buruh borongan, tanya berapa upah borongan untuk pasang paving block? Nah saya bingung juga jawabnya. Karena biasanya dirumah, kami memanggil tukang dibayar harian. Tukangnya darimana? Ya tukang-tukang dari banjar sendiri. Kadang grup ini kadang grup itu.
Nah tentang grup, beda lagi ceritanya. Jadi pengalaman kami membangun, ketika kami memercayai pengerjaannya pada tukang A, tukang A akan mengerahkan pasukan di grupnya. Kalau jumlah kelompoknya 5 orang, dia akan mengerahkan 5 orang. Tapi kalau kelompoknya 12 orang, maka kami juga harus mempekerjakan 12 orang! Kalau misalnya banyak orderan, kelompok yang 12 orang ini akan bagi-bagi tugas, 4 orang di rumah A, sisanya di rumah B atau C, tapi kalau jumlah grupnya kecil, maka mereka harus mencicil, selesai di rumah A baru ke rumah B. Solidaritas mereka sangat erat, mereka tidak akan meninggalkan salah seorang sekompok kalau salah satunya mendapat order-an. Begitu juga harapan mereka ketika mereka tidak dapat, sementara teman lainnya dapat. Mungkin karena lagi sepi orderan, jadi pernah dirumah kami kebanjiran tukang berjumlah 12 orang, untuk membangun bale daja dan kamar di belakang. Rumah jadi terasa sesak penuh dengan orang.
Uniknya ketika jumlah ini digabung dengan bayaran. Jadi kalau dia tukang kayu tetapi juga mengambil kerjaan batu, dia harus tetap di bayar sebagai tukang kayu. Jadi ongkos hariannya, menetap dan melekat dimanapun dia bekerja dan kerja apapun yang dia ambil. Kembali ke kelompok, ada beberapa kelompok sekarang sudah mulai professional. Mereka dikoordinir oleh satu orang bos, dan si bos yang mencari order-an. Biasanya si bos, selalu punya bengkel kerja yang dilengkapi dengan toko bangunan dan peralatan mesin pemotong, penyerut dan lain sebagainya. Beberapa bos tukang bangunan terkenal di Sukawati dan sekitarnya untuk Style Bali adalah Pak Jatu (banjar Kebalian), dan Murjayadi (Peninjoan- desa Batuan)  dan beberapa proyek bangunan bertingkat digarap oleh kelompok Pak Surata (banjar Gelumpang).
Beberapa rumah di Sukawati, sekarang sudah dipoles sentuhan arsitek. Seorang arsitek dari banjar saya (banjar Palak) yaitu Bli Duaja, sudah mendesain dan menjadi kontraktor beberapa rumah tetangga. Biasanya itu proyek mahal. Bli yang tukang arsitek ini membawa gerombolan tukangnya sendiri. Saya dengar tukangnya berasal dari Karangasem. Pak tut saya bilang, ada juga seorang arsitek dari banjar Kebalian yang buka kantor di tikungan jalan baru masuk ke desa Sukawati, saya lupa namanya siapa, tapi katanya dia lulusan Surabaya. Pernah saya lewat didepan kantornya, ada tulisan: Jasa Pembangunan Rumah (kalau tidak salah). Saya tahu orangnya, tapi tidak pernah ngobrol dengannya, jadi saya tidak bisa mereka-reka tukangnya darimana.
Tukang-tukang lokal jarang diajak bekerja bareng oleh para arsitek. Sayang, jadinya ilmu mereka tidak bertambah. Padahal ada banyak yang bisa dipelajari, bagaimana membuat rangka atap yang lebih efisien, pengenalan material baru, sampai pada model-model desain baru, seperti pintu, jendela dan lainnya. Belum lagi maraknya variasi aksesoris eksterior lainnya. ketika kami memasang pintu geser di kamar belakang, tidak ada tukang di banjar ini yang tahu cara memasangnya.  Padahal di Bali, surganya karya-karya arsitektur bernilai tinggi. Saya merindukan tukang-tukang ini bisa membuat rumah minimalis dengan anggaran minimalis juga, bukan maksimalis. Andai mereka diberi kesempatan untuk ikut belajar juga.
Ada beberapa teman yang bersuara sumbang, kenapa masih mau memakai tukang Bali, sudah ongkosnya mahal (karena harian) banyak liburnya pula. Jangankan tukang, secara keseluruhan orang Bali memang banyak liburnya, saya teringat seorang teman berkata: ya itu dia singkatannya BALI, BAnyak Libur!. Kata Tude sepupu suami saya, itulah kelemahan tukang Bali ketika masuk ke dunia industry. Di dunia industry ada kata target dan tengat waktu.
“saya mengerti kita sebagai orang Bali, banyak kesibukan, upacara dan adat. Saya paham karena saya juga begitu, tapi kalau bicara bisnis, sebagai pemodal saya rugi dong kalau tukang saya liburnya banyak”. Kata Tude, saya paham.
Bekerja dengan upah harian juga menjadi hal yang ringkih ketika mereka juga mengorbankan banyak waktu untuk melayani adat dan upacara agama. Sementara banyak kebutuhan tidak bisa menunggu untuk dipenuhi, anak sekolah, urunan untuk banjar, upacara agama dan lainnya. Banyak yang kemudian merangkap kerja lainnya. Sebagian besar menjadi petani penggarap atau buruh serabutan. Ada juga beberapa yang menggarap tanahnya sendiri. Tapi tidak banyak, hanya beberapa! Pekerjaan menjadi petani bisa mereka lakukan bergantian, pagi hari ke sawah, siang bekerja bangunan, dan sore kembali menengok sawah. Namun ketika musim tanam atau musim panen tiba, mereka terkadang harus sewa buruh juga, dengan upah harian 60 ribu. Hasilnya kemudian, dibagi juga dengan pemilik tanah.
Sebelum mulai mengerjakan proyek, para tukang minta untuk di buatkan banten (sesajen). Tujuannya untuk supaya proyek berjalan lancar baik dan juga sekalian minta izin kepada penghuni skala (alam terlihat) maupun niskala (alam tidak terlihat). Namun meski begitu, resiko kecelakaan kerja juga tinggi membayangi kerja mereka. Sebagaimana model buruh mandiri lainnya. tukang bangunan ini tidak mempunyai, asuransi. Jadi ketika mereka mengalami kecelakaan kerja, mereka membiayai biaya pengobatan, dokter dan lain sebagainya. Tapi tergantung juga orang yang mempekerjakan, kadang mereka mau ikut membayar, tapi ada juga yang acuh. Pernah kami membayar 600 ribu untuk rontgen dan pengobatan. Ceritanya waktu itu, ada tukang yang bekerja di rumah, jatuh tertimpa pohon pisang. Dia terpeleset, terus memeluk pohon pisang, dan pohon pisang itu menimpanya. Dia langsung terkapar tidak bisa bangun, setelah di rontgen, katanya ada pengapuran di tulang belakang. Akibatnya dia tidak boleh mengangkat beban berat. Bagaimana itu ceritanya tukang bangunan tidak boleh mengangkat berat-berat?. Bli Rasta juga sudah mengeluh, istirahat 2 hari membuat upah hariannya melayang. Berat! Apalagi menjelang Hari Raya Galungan.
Nah, kalau ditanya kenapa kami lebih memilih tukang Bali?. Ya begitulah.

Klub Istri Taat Suami

Baru-baru ini ada komunitas baru muncul di Malaysia, sekelompok perempuan Muslim Malaysia meluncurkan platform baru yaitu Club Istri Taat (the Obedient Wives Club). Kelompok ini berdiri dengan tujuan untuk mengekang penyakit sosial seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga dan prostitusi.

Menurut artikel yang di muat di sebuah Koran Inggris, the Telegraph (6/3/2011), para istri yang tergabung dalam kelompok ini akan diberi instruksi bagaimana cara “patuh, melayani dan menghibur” suami-suami mereka untuk mempertahankan harmoni pernikahan dan mengurangi resiko suami mereka akan tersesat atau berlaku maksiat.

Dalam artikel itu menyebutkan bahwa pada pertemuan perdananya di Kuala Lumpur hari Sabtu akan mulai dengan pidato-pidato dan sebuah pameran untuk memberi gambaran bagaimana perempuan harus membuat suaminya senang dan puas.

Salah seorang pendiri klub tersebut, Maznah Taufik – yang juga mendirikan Klub Poligami dua tahun lalu – mengatakan banyak perselisihan perkawinan diakibatkan oleh kegagalan para istri yang tidak taat menyenangkan suami-suami mereka.

“kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena para istri tidak patuh pada perintah suami”, kata istri Maznah. “Seorang laki-laki harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan istri, tetapi istri harus patuh pada suami”. Istri Maznah juga mengatakan bahwa klub ini akan menekankan bahwa para istri harus memberi kehidupan seks yang menyenangkan untuk suami sehingga mencegah para suami untuk menyimpang ke pelacuran.

“Untuk menghibur suami adalah kewajiban” katanya. “Kalau tidak, suaminya akan berpaling ke wanita lain.. dan rumah tangga akan berantakan”.

Nah menurut saya, yang ini saingan dengan Klub suami takut istri. Bedanya, klub suami yang takut istri tidak benar-benar ada. Itu mungkin semacam ejekan dari sesama suami untuk temannya yang dianggap lebih kompromis terhadap istri. Saya menyadari bahwa masing-masing orang mempunyai sudut pandang yang berbeda menyikapi ini sesuai dengan keyakinannya. Menurut saya, pasangan suami istri tidak harus takut satu sama lain, tetapi lebih simpati dan berempati. Soalnya masing-masing juga sama-sama manusia yang mempunyai kebutuhan individual dan sosial yang sama.

Pernah saya membaca (lagi-lagi saya lupa dimana), bahwa ada segitiga yang manis untuk menyangga sebuah pernikahan: Cinta, Komitmen dan Keintiman. Apabila salah satu sudut, porsinya timpang, maka pernikahan juga timpang. Misalnya hanya ada cinta dan komitmen minus keintiman? Nah, ini peringatan bagi pasangan yang melakukan hubungan jarak jauh, termasuk saya... anda bisa membayangkan yang lainnya lagi? cinta dan keintiman? Tidak ada komitmen? Atau keintiman dan komitmen? Tidak ada cinta?.

Saya setuju unsur taat itu harus ada, mungkin mungkin sebaiknya ia dimasukkan ke dalam unsur komitmen. Menurut saya, beda rasanya ketika kita memasukkan unsur komitmen alih-alih taat, karena pada komitmen, posisi perempuan itu sama dengan laki-laki, yang mempunyai tujuan yang sama dan kemudian mengikatkan diri untuk bekerjasama mencapai tujuan yang diimpikan. Bahwa keduanya harus taat pada apa yang di komitmen-kan itu yang menjadi sebuah keharusan.

Pernikahan menurut saya bagaikan sebuah makhluk hidup, dia bisa berkembang sesuai ruang dan waktu. Bagaimana sepasang suami istri akan memelihara dirinya dan membuat masing-masing pasangannya menjadi orang yang lebih baik (saya seakan-akan sudah menjadi Pak Mario Teguh). Karena pada akhirnya, yang pasti kita akan mati toh? Kenapa harus meributkan masalah kekuasaan?

Dan untuk urusan “memuaskan” suami? Bagaimana kalau suami juga belajar bagaimana cara memuaskan istri?. Kalau sama-sama puas, bukankah itu lebih memuaskan?.

Senin, 20 Juni 2011

Ada pencuri lagi di Sukawati

Kemarin saya mendengar berita pencurian lagi. Ada pencuri yang masuk ke rumahnya Ibu Rebet (sekitar 65 tahun), seorang pedagang kelontong di Pasar Sukawati. Rumahnya tidak sampai 400 meter dari rumah saya, masih di wilayah Banjar Palak. Saya memang tidak melihat dan mendengar langsung dari korban. Saya mendengar informasi ini dari kakek saya mendengar beritanya di warungnya. Beberapa orang mengatakan ada pencuri yang masuk ke rumah ibu Rebet pada waktu subuh, mungkin sekitar jam 5 pagi. Waktu itu, kakek saya juga bangun karena mendengar gaduhnya suara gonggongan anjing. Tetapi kakek saya tidak menyangka bahwa kegaduhan dipicu oleh kasus pencurian itu.
Orang-orang bercerita di warung, bahwa pencuri itu membawa lari uang 15 juta. Saya tidak lengkap mendengar ceritanya, tetapi kakek saya mendengar cerita bahwa ibu Rebet sempat bangun dan melihat sekelebat bayangan orang bertubuh besar hendak keluar dari kamarnya. Lalu ia berteriak maling.. maling.. maling. Sampai sekarang saya belum mendengar kabar, apakah pencuri itu sudah tertangkap apa belum.
Saya teringat, sebelumnya saya sempat menulis bahwa ada pencuri juga di sukawati pada tahun 2008, tepatnya bulan September, www.dewikpalak.blogspot.com . ketika itu ada pencuri juga, yang masuk ke rumah warga di banjar Gelumpang. Kira-kira 1 kilometer dari rumah saya. Sampai sekarang, saya tidak tahu apakah pencurinya sudah tertangkap atau belum.
Pencuri kali ini, menurut saya hebat sekali. Sepertinya dia tahu sekali rumah yang disasar. Padahal rumah itu agak jauh dari jalan aspal, masuk gang kira-kira 200 meter. Terus, disebelah kanan, kiri, depan dan belakang  rumahnya  juga ada rumah penduduk. Hanya ada gang sempit didepan rumahnya, kira-kira gang itu lebarnya hanya cukup untuk satu mobil saja. Menurut saya pencuri itu nekat, karena kalau sampai ketahuan, dan tertangkap pasti digebuki banyak orang. Terlalu beresiko, apalagi rumah itu juga bukan rumah kosong. Ajaibnya, dia sepertinya tahu lokasi penyimpanan uang?  Menurut beberapa pendapat tukang bangunan yang sedang merenovasi dapur di rumah saya, mungkin  pelakunya telah mendapat informasi dari orang-orang yang hafal betul seluk beluk rumah itu, atau memang dia sudah pernah survey sendiri? Ehm.. sepertinya kita perlu bantuan detektif Conan untuk mencari pelakunya. Ada kalanya, saya bercita-cita menjadi detektif gara-gara sering nonton Conan. Saya berdoa, semoga pelakunya segera tertangkap dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sebagaimana umumnya desa-desa di Bali, pengaturan rumah-rumah di Bali (dengan Bale Daja/Utara, Bale Dangin/Timur, Bale Dauh/Barat) adalah bangunan dengan konsep terbuka. Bahkan dapurpun, dulunya tidak ada yang berpintu. Hanya Bale Daja yang berpintu, konon itu bangunan hanya untuk anak laki-laki atau perempuan yang perawan. Kalau sudah menikah, orang dewasa dilarang tidur di Bale Daja. sementara orang-orang tua seperti kakek atau nenek, tidur di Bale Dangin. Zaman dulu, Bale Dauh (bangunan disebelah barat) juga terbuka. Saya ingat rumah tetangga saya dulu (sekitar pertengahan tahun 1980-an), Bale dauhnya terbuka, hanya ada satu ranjang untuk tempat tidur orang tua dan anak-anaknya masih kecil dengan udara terbuka. tetapi tetap hangat karena tidur bersama orang tua. namun, waktu itu banyak juga rumah-rumah tetangga lain yang mentereng bangunan beton dengan kamar bersekat serta berhias batu bata dan paras (style Bali kata orang).
Saya membayangkan waktu itu yang menjadi harta berharga adalah anak laki-laki yang masih perjaka dan anak gadis perawan, karena hanya kamar mereka yang berpintu. Berarti kebanyakan tema pencurian adalah anak gadis orang? Mungkin karena zaman dulu juga tidak banyak orang yang punya uang atau emas permata dirumah. Atau tidak banyak akses untuk menjual hasil curian? Atau mungkin orang zaman dulu terlalu lugu, polos dan jujur? Mungkin juga karena tidak ada desakan kebutuhan fantasi lainnya, seperti harus beli sepeda motor, TV DVD dan lainnya. Karena zaman sekarang, kencing saja harus bayar pakai uang.
Karena kebiasaan terbuka ini, orang-orang jadi terbiasa tidak terlalu awas untuk menjaga bendanya. Ada beberapa orang yang masih menyimpan uang dibawah bantal (Kasus pencurian kali ini, jujur saya agak kaget, hari begini masih ada orang yang membawa uang cash 15 juta dirumah?), orang-orang juga parkir motor dengan kunci yang masih ada di stop kontak, menaruh perhiasan emas di rumah dan lain-lainnya. kejadian ini membuat kita harus lebih awas.
Pencurian bukan merupakan kasus baru, mungkin sudah ada pada waktu zaman pra sejarah, sebagaimana juga judi, pelacuran dan lainnya. orang mencuri dilandasi keinginan berlebih yang tidak sesuai dengan kemampuan untuk mewujudkan keinginan itu. Untuk pencuri itu, mungkin dia bahagia karena mendapat uang 15 juta, tetapi untuk orang yang dicuri uangnya, mungkin sangat menyebalkan kehilangan uang 15 juta. Dan untuk warga lainnya, siap-siap, kalau uang 15 juta nya sudah habis, pencuri akan mencari korban lainnya lagi.

Minggu, 19 Juni 2011

PENDIDIKAN DAN PERADABAN

Suami saya bekerja disebuah lembaga konservasi lingkungan yang berkantor di Jakarta, namun wilayah kerjanya meliputi daerah-daerah yang memiliki wilayah laut yang luas. Salah satunya adalah wilayah Papua. Baru-baru ini dia pulang dari perjalanan kerja di Papua, dalam rangka mengenalkan pendidikan lingkungan untuk masyarakat setempat.
Dari pengamatannya dilapangan dia mendapati bahwa banyak anak-anak papua yang tidak bersekolah. Ada banyak alasan mengapa anak-anak ini tidak bersekolah. Salah satunya, orang tua dari anak-anak ini tidak terlalu memperhatikan atau antusiasme mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Seorang kepala sekolah disana mengeluhkan bahwa orang tua jarang memandikan anak-anaknya ke sekolah atau membuat sarapan di pagi hari untuk mengganjal perut mereka selama belajar. Alhasil, banyak anak-anak berhamburan pulang karena lapar. kepala sekolah itu juga berkisah, orang tua juga jarang peduli apakah anaknya masuk sekolah atau tidak, terkadang mereka senang kalau anaknya membantu mereka bekerja diladang. Orang tua juga tidak marah ketika melihat anaknya tinggal dirumah saja menghabiskan waktu berbincang dengan orang-orang  dirumah atau bermain bersama anak-anak yang lain. Namun ketika akhir tahun ajaran tiba dan membuka rapor anaknya, mereka marah ketika anaknya tidak naik kelas. Kemudian memarahi guru-guru disekolah dan menyalahkan mereka atas kegagalan anaknya naik kelas.
 Kepala sekolah itu juga menyadari bahwa kesalahan tidak semata-mata karena factor orang tua saja, tetapi dia mengakui  rendahnya kualitas pengajar  atau guru-guru. Para guru sering kali merangkap mengajar semua bidang pelajaran bahkan terkadang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Misalnya, ada banyak guru yang berasal dari putra putri setempat yang mengajar di sekolah, mereka sebagian besar adalah lulusan guru agama atau teologi. Akibatnya sekolah-sekolah banyak kebanjiran guru agama, perbandingannya bisa guru agamanya tiga orang sementara guru kelas yang bisa mengajar semua bidang pelajaran hanya ada satu orang. Hasilnya, karena kekurangan orang, guru agama ini terpaksa mengajar bidang pelajaran lain yang bukan bidangnya.  Saya pernah membaca sebuah laporan (yang saya lupa dimana?.. lagi-lagi saya lupa), bahwa ada banyak guru-guru yang bertugas dipedesaan di Papua, tinggal di kota. Para guru-guru ini lebih banyak menghabiskan waktunya dikota daripada di desa.
Saya sebagai manusia dan orang tua, sangat memahami kenapa para guru-guru ini lebih banyak menghabiskan waktu di kota. Karena anak istri mereka kemungkinan besar tinggal disana. Sebagai seorang guru, pasti mereka menginginkan anak-anak mereka kelak juga sebagai guru. Nah, lingkungan bertumbuh yang bagus untuk belajar adalah di kota bukan? yang dilengkapi dengan sekolah dan fasilitas pendukung lain seperti toko buku dan jaringan internet. Lalu apa yang tersisa untuk anak Papua? Apakah cerita mereka hanya manis didalam kertas kerja anggaran daerah untuk pendidikan? Atau proposal-proposal organisasi non pemerintah yang bekerja disana. Disini saya merasa (maaf, mohon maaf), ada kesenjangan peradaban.
Sebagai orang Bali, saya ingin menceritakan ada suatu system pendidikan yang unik di Bali pada zaman dulu. Di Bali terkenal dengan soroh atau Klan. Dahulunya klan itu, diberi nama sesuai dengan profesinya. Seperti misalnya soroh pande. Pande itu adalah keluarga pandai besi, jadi orang-orang yang membuat peralatan dari besi misalnya pisau, kapak, cangkul, dan lain-lainnya. soroh sangging, adalah keluarga yang biasanya membuat karya seni, misalnya lukisan, dekorasi-dekorasi dan lain-lain. Dahulu transfer ilmu dan teknologi adalah turun temurun dari keturunannya. Kenapa berhasil, karena si anak dibesarkan dalam lingkungan yang membuat pisau, misalnya. Setiap hari dia melihat orang tuanya membuat pisau pasti sedikit tidaknya dia mengetahui bagaimana proses dari awal membuat pisau. Pada zaman ini, tidak ada elit dalam tingkatan kasta terendah (elitnya adalah para raja dan pedanda, atau pemimpin upacara ritual). Tidak ada orang pande lebih pintar dari orang sangging, karena kepintaran mereka di bidang yang berbeda. Pencapaian terhadap totalitas kerja dinyatakan dalam karya. Saya ingin menuliskan sekali lagi, bahwa terlepas dari eratnya feodalisme kerajaan di Bali dengan system kasta,  dalam tingkatan sesame orang Jaba (masyarakat bawah) tidak ada tingkatan elit, pada zaman dulu (tentu saja sekarang sudah berubah).
Di Bali pun, system pendidikan ini telah tergerus zaman. Selain itu, karena Bali masuk kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka harus patuh dengan kurikulum seragam system pendidikan di Indonesia. Bisa diselidiki, berapa anak dari soroh pande, yang bisa membuat olahan logam besi, atau para pelukis, apakah mereka dari keluarga sangging? Karena banyak juga para pelukis sekarang berasal dari luar Bali, ini dikarenakan Bali diibaratkan gula. sekarang yang ada adalah para pandai besi yang merajai pasaran kita yaitu pandai besi dari china, korea, jepang, USA, Eropa atau jangan-jangan dari negara yang dulunya miskin seperti kita misalnya Vietnam, Malaysia, Thailand?. Uniknya sekarang ada soroh baru di Bali yaitu soroh perhotelan, dan soroh perjalanan wisata, haha yang ini saya soroh yang saya buat sendiri.
Saya sangat mempercayai system pendidikan seperti ini. bahwa seseorang itu akan berangkat dari bagaimana lingkungan menciptanya. Bagaimana anak seorang pedagang kemudian menjadi petani? Lalu anak seorang pandai besi menjadi seorang guru? guru untuk pandai besi mungkin. Nah kembali pada zaman dulu, guru adalah mereka yang sudah memiliki karya, dan orang-orang mengakui bahwa dia memang ahli di bidangnya. Sehingga ada guru untuk pandai besi, guru untuk para petani, guru untuk hal lain-lainnya. Namun system pendidikan zaman sekarang, semua orang bisa menjadi guru, hanya dengan bersekolah dan memiliki akses, tidak usah berkarya. Ini yang saya pikir pendidikan zaman sekarang itu, ditingkat awan paling bawah, dilangit tidak, menginjak bumi juga tidak. Karena pendidikan sekarang berjarak dengan karya yang dihasilkan.
Saya pikir pendidikan kita sekarang terlalu dipaksakan. Sebenarnya apa gunanya kita mempelajari  integral, sinus-cosinus- dan teman-temannya, jika kita nantinya ingin menjadi seorang koki? Atau apa gunanya menghabiskan 9 tahun sekolah untuk mempelajari E = MC2 kalau kita ingin menjadi seniman? Sepertinya system pendidikan ini hanya menghabis-habiskan waktu muda kita yang penuh energy untuk mempelajari yang kemudian tidak kita pakai untuk menghasilkan karya dalam hidup. Nah maka dari itu, ada banyak sekali anak-anak bingung ketika ditanya apa cita-citanya nanti kalau sudah besar?. Ada beberapa anak yang menjawab jadi guru, dokter, bahkan presiden?. Bukan kah itu obsesi yang disuntikan orang tua agar anaknya menjadi elit?
Saya pikir, pendidikan tidak hanya bisa diperoleh dari sekolah. Karena saya pikir sangat dipaksakan untuk menggiring anak-anak itu ke sekolah. Saya pikir bagaimana menjadi petani atau nelayan juga perlu “sekolah” namun sekolah yang dibutuhkan sekedar sekolah dengan kurikulum IPA, IPS, Matematika yang baku. Mereka membutuhkan “sekolah lapangan”. Bagaimana jika pemerintah mengirim beberapa petani di Jawa  atau Bali (yang terbukti sukses dengan system pertanian) yang digaji sesuai dengan gaji para guru untuk mendidik anak-anak disana untuk menjadi petani sedari dini. Pelajarannya ya.. bagaimana membuat benih, mempersiapkan tanah untuk ditanam, mengenali musim dan pengaruhnya bagi tanaman, pengairan, mengenali gulma dan menjaga tanaman tidak terserang hama, macam-macam pupuk dari pupuk organic sampai pupuk kimia, memanen, penyimpanan hasil panen sampai strategi pemasarannya. demikian juga halnya untuk menjadi nelayan, pelajarannya mungkin tidak hanya mengandalkan sumber daya laut, tetapi juga pelajaran-pelajaran bagaimana mengembangkan perikanan darat. Nah yang ini saya tidak terlalu paham, sehingga saya tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang kira-kira bisa menjadi mata pelajarannya.
Ide diatas itu, tidak hanya untuk anak-anak Papua, tetapi juga untuk anak-anak diseluruh Indonesia. Harus diubah stigma pekerjaan elit dan tidak elit. Bahwa ketika menjadi PNS atau pengusaha itu elit, sementara nelayan, petani tidak elit. Hal yang harus ditanamkan dalam setiap sel kecil didalam otak mereka adalah dalam bidang apapun bagaimana kita membuat karya. Nah untuk kasus Papua, ada sedikit perbedaan karena tradisi mereka dahulunya adalah suku pemburu, sementara habitat untuk suku pemburu ini sudah rusak. Jadi memang harus diperkenalkan system pendidikan turun temurun ini. mulai dari memperkenalkan kepada mereka beragam profesi yang bisa mendukung mereka hidup. Seperti misalnya petani, nelayan, pandai besi, seniman, dan lain-lain. Lalu darimana para professional ini? dari seluruh Indonesia yang kemudian digaji sesuai dengan kemampuan mereka. Namun setelah mereka mentranfer keahlian mereka, mereka harus balik ke daerah masing-masing.
Saya membayangkan Indonesia kemudian mencetak generasi-generasi penuh dengan karya, sehingga kita tidak kelabakan ketika dibanjiri barang-barang luar negeri ketika perdagangan bebas  diberlakukan dengan penuh, karena kita sudah memiliki sumber daya manusia yang bisa mencipta. Bahwa kemudian dengan jumlah penduduk yang besar sebagai tenaga kerja, bukan tidak mungkin kita yang kemudian membanjiri negara-negara lain dengan produk kita. Sehingga cita-cita Pramoedya tentang arus balik itu menjadi nyata. Dan bukankah mata pencaharian merupakan salah satu unsur-unsur kebudayaan? Yang kemudian akan menjadi peradaban?.

Kamis, 16 Juni 2011

PARADOKS IBU

(mengutip tulisan Ibu Maria Hartiningsih dalam Kompas, Minggu 12 Juni 2011)
Saya menuliskan lagi mentah-mentah, tulisan ibu Maria Hartiningsih seperti yang saya baca di Kompas. Karena setiap kata yang beliau pilih, saya pikir sangat mewakili apa yang saya rasakan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri, sebagai seorang anggota masyarakat. Beliau menulis dalam rangka mengomentari pameran seni Garin Nugroho, seorang sineas senior di Indonesia yang mendedikasikan karyanya untuk ibunya, yang meninggal 5 tahun yang lalu. Saya akan mengambil kalimatnya secara acak.
………
Dunia ibu, dunia perempuan adalah dunia perlawanan dalam diam, dunia pemberontakan dalam kepatuhan, dunia hening ditengah hingar bingar keramaian dan kekacauan hidup, dunia kesendirian dalam riuh dan sunyi, dunia penyerahan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan.
Dunia ibu seperti labirin yang menjadi jalan menuju dunia tak terbatas, sekaligus perjamuan tanpa akhir, perjamuan kekerasan yang telanjang; yang senyap dan lenyap dalam hiruk pikuk kemajuan yang diagungkan sebagai penanda peradaban. Tubuh dan seksualitas mereka senantiasa merupakan medan kontestasi paling kritis dan wilayah pertempuran yang paling keras dari berbagai kepentingan.
………..
Dunia ibu adalah kematian-kematian kecil yang dibangkitkan lagi dalam sujudnya. Wajahnya tetap menengadah, pandangannya memeluk bulan meski ia membopong gelombang di pangkuan. Deritanya tak bisa diuraikan oleh jutaan kata karena ia bersemayam di keheningan terdalam lautan rasa.
…………
Jejak peradaban dapat dibaca dari tubuh ibu, tubuh perempuan karena tubuh itu merekam perlakuan pihak lain, siapapun mereka. Tubuh ibu adalah tapak peradaban.
Dunia ibu dalam perjalanan sejarah adalah karung. Karung untuk menyimpan beras yang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari  itu adalah karung yang sama untuk mengarungi wajah dan separuh tubuh atas.
…….
(Dan dalam sebuah karya Garin Nugroho) Di dalam ruangan yang dipenuhi karya instalasi karung gemuk, ditemani patung seorang perempuan setinggi 150cm, memakai kebaya dengan tangan diikat tali ke belakang. Di belakang ruang pameran utama, lima karya instalasi hitam putih tentang proses pembantaian terpampang berjajar. Secara keseluruhan memunculkan suara mencekam.
Karya itu mengingatkan pada ribuan perempuan, ibu, nenek yang dibungkam sampai akhir hidupnya atas tuduhan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Mereka adalah korban yang mengalami pelanggaran berat yang tak terbayangkan bisa terjadi didalam masyarakat beradab.
Tindakan penghilangan, penahanan, penyiksaan, pemerkosaan, pembuangan dan pembunuhan ratusan ribu, bahkan jutaan orang, yang dituduh punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia, terkonsentrasi di Jawa dan Bali, sementara ditempat lain, termasuk Aceh, terabaikan. Seorang saksi yang lolos dari pembantaian di Takengon kemudian menuturkan kekejian itu.
Tragedi kemanusiaan itu adalah lubang hitam sejarah Indonesia modern, yang pada masa Perang Dingin dihilangkan dari daftar genosida dunia karena korban dianggap komunias sehingga “sah dihabisi”.
Akan tetapi, mata ibu, siapa yang bisa menutupnya?
Mata ibu adalah saksi sejarah, yang ditutup supaya tidak bisa lagi bersaksi. Namun, disini juga terjadi paradox. Mata yang tertutup telah membuka mata rasa, membuat sejarah terkuak terang benderang.
Requiem aeternam dona eis, Domine, et lux perpetua luceat eis.. Beri mereka istirahat kekal, Tuhan, dan biarkan cahaya abadi menyinarinya..
Saya mengetik ulang tulisan ini dan memasukkan dalam blog saya dengan tujuan agar perempuan-perempuan lainnya dapat membaca tulisan ini, dan terakhir, terima kasih ibu Maria, atas bacaan yang mencerahkan.

Sabtu, 04 Juni 2011

Oleh-oleh: Film Khuda Kay Liye dari Pakistan

Seorang teman, Hassan Mirbahar dari Pakistan membawakan saya oleh-oleh dua buah film Pakistan, Ramchand Pakistan dan Khuda Kay Liye (in the Name of God). Dia datang lagi untuk menghadiri sebuah workshop di Bali. Sebelum datang dia sempat menawarkan apa yang saya inginkan dari Pakistan. Saya bilang Film Pakistan. Hassan menjanjikan dia akan membawa film yang bermutu dari negaranya.
Akhir bulan ini, saya baru menonton Khuda Kay Liye bersama suami disuatu malam. Khuda Kay Liye adalah film drama berbahasa Urdu Pakistan diproduksi  pada tahun 2007 (syukur, ada subtitle Inggris). Durasi film agak lama, 167 menit. Film ini mengambil setting di Inggris, Chicago (US) dan Pakistan (tetapi didalam film Mary, juga digambarkan dilarikan oleh Sarmad ke Afghanistan untuk dinikahkan paksa). Berdasarkan informasi dari Wikipedia, film ini umumnya diterima dengan respon positif, namun ada juga kritik dari Muslim konservatif yang menuntut agar film ini dilarang peredarannya di Pakistan.
Saya tidak pandai meresensi, jadi saya menerjemahkan resensi film ini yang dibuat oleh Wikipedia. Film ini menceritakan tentang tiga orang dari benua yang berbeda menghadapi masalah yang berkait dengan penerjemahan terhadap ajaran Islam.
Dua orang bersaudara, sama-sama penyanyi, Mansoor dan Sarmad adalah dua orang penyanyi terkenal di Lahore. Sarmad berubah menjadi seorang aktivis Islam. Dia mulai mempraktekkan penafsiran ajaran Islam yang ekstrem, menumbuhkan jenggot dan menjauhi music, dimana kelakukannya membuat gerah keluarganya yang berpandangan bebas. Orang-orang ini menafsirkan versi tertentu dari Al Quran dan Hadith untuk melarang musik dan gambar (lukisan).
Di Inggris, seorang gadis bernama Mary/Mariam adalah sosok gadis barat yang jatuh cinta dengan laki-laki bernama Dave, bule Inggris. Bapaknya yang hiprokit tidak setuju, tetapi faktanya bapaknya juga tinggal serumah dengan seorang wanita Inggris yang tidak dinikahinya. Bapaknya memberitahu Mary bahwa mereka akan pergi ke Pakistan dan setelah kembali dia bisa menikah dengan Dave. Namun taktik ini adalah tipuan. Selama perjalanan dengan sekelompok Islam ekstremis (FATA), Mary dipaksa bapaknya menikah dengan Sarmad, sepupunya. Mary kemudian ditinggalkan bapaknya di rumah salah satu kelompok FATA sebagai rumah barunya.
Sementara itu, Mansoor pergi ke Chicago bersekolah music. Disana, dia bertemu dengan seorang gadis, Janie dan kemudian jatuh cinta padanya. Janie berhenti minum alkohol demi cintanya pada Mansoor dan akhirnya mereka menikah. Setelah kejadian 9/11 (sejumlah bom meledak di Amerika), petugas FBI menangkapnya ketika berdasarkan informasi dari tetangganya yang mendengar ada orang mabuk yang menuduh Mansoor adalah teroris. Akhirnya, dia disiksa selama setahun dipenjara hanya karena dia orang Islam.
Sementara itu, Mary merencanakan untuk melarikan diri, namun ditangkap oleh Sarmad ketika dia melarikan diri. Dia dikurung dengan penjagaan yang ketat dan akhirnya Sarmad menidurinya. Namun dia tidak kehilangan harapan, (setelah melahirkan anak) dia mengirim surat kepada Dave yang dia bilang ke penjaganya adalah surat untuk ayahnya. Keluarga Sarmad akhirnya datang untuk menyelamatkannya (setelah intervensi kedutaan Inggris berdasarkan pengaduan dari Dave, Mary adalah orang Inggris) dibawah perlindungan pemerintah Inggris. Tapi Mary, sudah terlanjur dendam, dia kemudian mengajukan bapak dan saudara sepupunya, Sarmad ke pengadilan di Pakistan. Disana, seorang Maulana yaitu Maulana Wali menjelaskan dengan bijak didalam pengadilan bagaimana Islam telah dicincang atas nama perang dan kebencian, dan menjelaskan bahwa islam seharusnya ditafsirkan sebagai agama yang damai.
Karena trauma dengan penderitaan yang dia lihat dan alami (selama bersama FATA), Sarmad menarik kasusnya. Dia sadar bahwa kerusakan yang dia buat atas nama agama. Mary sekarang bebas, tapi memutuskan kembali ke desa tempat dia disekap dulu, dan mengajari para gadis disana baca tulis.
Sementara itu, Mansoor masih di penjara Amerika Serikat setelah setahun disiksa, pada akhir sesi penyiksaan dia mengalami kerusakan otak permanen. Setelah usaha rehabilitasinya gagal, dia dideportasi dan bersatu dengan keluarganya di Pakistan, berkat cinta dari keluarganya, dia berangsur mulai pulih.
Begitu ringkasan cerita dari Wikipedia, tapi saya masih belum puas menceritakannya. Sebenarnya ada banyak pertentangan dalam diri Sarmad. Ada dualitas yang selalu berperang dalam dirinya. Dia menikahi Mary sebenarnya karena pamannya yang meminta dia menikahi anaknya agar anaknya tidak menikah dengan orang beragama lain. Ketika dia menanyakan itu kepada gurunya Maulana Tahiri, gurunya mendukung dan mengatakan bahwa dia adalah pahlawan karena mencegah seorang gadis untuk berbuat Murtad.
Setelah menikahpun Sarmad tidak mau meniduri Mary, dia mengatakan: “Kamu tahu, bukan kesenangan untukku menikahimu. Jadi aku tidak mau menidurimu, sampai kamu menginginkannya”. Namun karena aksi Mary yang melarikan diri, Sarmad dinasehati teman FATAnya bahwa cara perempuan tidak melarikan diri adalah memberinya seorang anak.
Dan didalam pengadilan, sebenarnya Maulana Wali, seorang guru spiritual yang bijak tidak mau datang ke pengadilan. Mary mendatanginya. Maulana Wali sedang mau sembahyang. Dia mengatakan alasannya tidak mau datang ke pengadilan: “buat apa, itu hanya buang-buang waktu dan energy berdebat dengan orang-orang itu”. Mary berkata: “oo.. begitu ya, jadi menurutmu sembahyang di kamar memang lebih nyaman daripada membela seorang perempuan yang tersakiti ya.. kamu tidak tahu rasanya.”
Akhirnya Maulana Wali datang di pengadilan. Dan mengupas satu persatu penafsiran Islam, dimana salah satunya yang dipertentangkan Sarmad yaitu larangan terhadap music dan memelihara jenggot.
“kamu tahu ada berapa orang suci yang dikirim Allah ke dunia?” Pengacara menjawab “124.000 orang” Maulana Wali kembali berkata: “dan diantara 124.000 orang ada berapa orang yang diberi kesaktian oleh Allah, Muhammad diberikan kemampuan menulis Al Quran, Musa diberikan kekuatan membelah lautan, Isa diberikan kekuatan menghidupkan kembali orang yang mati, sementara Daud? Apa kekuatannya? Kekuatannya adalah Nyanyian. Ketika dia menanyi, burung-burung menari ke arahnya, bukit-bukit terasa ikut menari riang. Nah, dari situ, apa menurutmu Allah melarang orang bermusik?”.
Tentang memelihara jenggot dan berpakaian. Maulana Wali berkata “Islam itu harus dilihat dimana dia tumbuh, apakah orang Islam di kutub dengan cuaca dingin harus memakai pakaian seperti kita yang hidup dicuaca panas? (dengan celana diatas mata kaki). “ dan tentang jenggot, Maulana Wali berkata “orang yang menumbuhkan jenggot adalah dengan menunjukkan rasa cintanya kepada orang yang dicintai. Ketika orang mencinta, dia akan meniru tokoh yang dikaguminya itu, dari pemikirannya, dari gaya berpakaian dan gayanya memelihara jenggot.”
Maulana Wali ini diperankan dengan apik oleh seorang aktor Islam yaitu Naseeruddin Shah yang juga terkenal didalam film-film India.
Saya sangat mengagumi film ini, selain dari sisi Cinematografi yang bagus (terlihat kualitas pelaku perfilman Pakistan yang cerdas), disini diceritakan bagaimana orang-orang menafsirkan Islam dari kacamata yang berbeda. Saya menyadari bahwa isu yang dikemas dalam film ini tidak akan sepenuhnya diterima oleh pihak yang berbeda pandangan mengenai Islam. Dan menurut saya pribadi, sebagai non muslim film ini dapat menambah pemahaman saya mengenai Islam, dan saya sangat menghargainya.

Jumat, 03 Juni 2011

Saya dan Pikiran Negatif

Saya adalah orang yang berpikir dalam perspektif negative dalam segala hal. Saya orang yang masuk dalam kategori takut perubahan, mual terhadap kritik, takut memulai sesuatu yang baru (tidak termasuk makanan baru!), dan takut gagal. Saya lebih banyak berbicara dengan pikiran saya daripada dengan orang lain, termasuk dengan anak-anak saya. Mungkin itu sebabnya mereka menjadi anak-anak yang sedikit rewel. Saya sangat sensitive melihat perubahan perilaku orang-orang disekitar saya. Alih-alih menanyakan alasan dibalik perubahan perilaku itu, saya cenderung menganalisa factor “mengapa” itu dalam otak saya.  Setelah kalkulasi banyak factor yang kira-kira menjadi penyebab, saya kemudian memutuskan bagaimana harus bersikap menghadapi perubahan itu. Hasilnya? Saya bagaikan seekor katak yang mencari tempurung untuk berlindung, sampai situasi aman.
Buruknya  ditambah lagi saya termasuk orang yang memperoleh informasi dari mendengar bukan membaca. saya lebih senang mendengar orang ngobrol daripada harus membaca buku. Pengecualian untuk beberapa buku seperti Da Vinci Code, Arus Balik dan teman-temannya, saya bisa membaca dengan sistem kebut semalam (SKS).  Jadi teman-teman saya adalah orang yang bisa menjadi media penyubur atau penekan pikiran negative saya.
Belakangan ini saya merasa pikiran negative saya mulai mencerminkan perilaku saya. Awalnya berasal dari seorang tetangga yang membuang muka setiap melihat saya dan ibu saya. Saya tidak tahu alasannya. Selidik punya selidik, rumor mengatakan semua suatu malam dia pernah didatangi sekelebat bayangan (hantu mungkin!), dan beberapa waktu belakangan keponakannya yang masih bayi meninggal sewaktu dilahirkan. Keluarga itu mendatangi seorang paranormal yang mengatakan bahwa bayi tersebut di’makan’ leak. Tertawa? Tentu saja. Dalam masa sekarang ini, masih ada orang yang mau mewarnai hidup dengan asumsi tanpa investigasi. Dan menimpakan ketidak beruntungannya kepada orang lain.
Tentu saja, kami pernah mengalami masa ada orang sakit dirumah, dan akhirnya meninggal. Bapak saya kena Kanker usus besar dan meninggal 3 tahun kemudian. Bagaimana kami kemudian bilang, bahwa kesialan kami dilakukan oleh si Ini dan itu.. memang waktunya dia meninggal karena takdirnya begitu. Nah kalau diusut kenapa dia bisa kena kanker, itu malah bisa diperkirakan, mungkin karena factor makanan atau mungkin juga karena sakit hati. Mengapa sakit hati? Karena bapak saya adalah orang biasa yang mempunyai pikiran kritis yang tidak biasa dilingkungannya yang biasa. Karena itu, menjadi sesuatu yang biasa kemudian keluarga kami dikucilkan dan dipergunjingkan.  Nah, apakah dari lingkungan inilah saya tumbuh, lingkungan yang selalu menganggap keluarga ini aneh. Lingkungan yang menilai manusia dari kapital, lingkungan yang menciptakan masyarakat bayangan. Bersatu untuk suatu tujuan yang tidak jelas.
Sejarah yang membentuk seseorang, saya merasa warna jengah dalam kehidupan saya muncul lagi. saya tidak tahu siapa yang saya perangi, saya menjadi diam ditengah kemarahan saya pada sesuatu yang tidak jelas didalam kepala saya, apakah ditujukan kepada mereka? Mengapa? Apa karena mereka berada pada kondisi ‘kegelapan’ menurut saya? Atau saya yang berada pada kondisi ‘kegelapan’ menurut mereka?.
Memang mempunyai pilihan beda dalam hidup, menjadi sepi teman…