Kamis, 22 November 2012

Nasib Bunga Jepun di Sukawati


Sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Rasa malas mengalahkan keinginan menulis lagi, kenapa saya harus mengalah dengan malas. Baiklah, malam ini, aku akan mengalahkanmu…


Saya senang dengan kegairahan ini. Di Sukawati, begitu juga beberapa tempat lainnya di Bali, semua orang, tua muda, laki-laki perempuan, sibuk mengumpulkan bunga kamboja – jepun bahasa balinya – untuk dikeringkan dan dijual. Per tanggal saya menulis ini, sekilo harganya 100 ribu rupiah. Minggu lalu sempat tinggi mencapai harga 110 ribu rupiah.

Bunga jepun adalah bunga bermahkota lima helai, namun ada juga yang empat bahkan ada sepuluh helai dengan berbagai warna. Umumnya warna putih, putih ini bergradasi dari putih terang, putih tulang putih kekuningan tetapi selain putih ada juga berwarna merah hati, merah pink, merah kuning dalam satu bunga (jepun sudamala- istilah balinya), versi terbaru putih agak kecoklatan (yang ini saya belum punya dirumah). Tentu saja, kalau sudah kering menjadi satu warna, coklat!.

Dalam ingatan saya, dalam 2 tahun terakhir ini, permintaan pasar begitu tinggi terhadap bunga jepun di Bali. Kemajuan pariwisata di Bali, merambah pada semakin kreatifnya para pelaku wisata membuat paket wisata untuk memanjakan turis. Tentu tidak gratis, demi dollar. Salah satunya adalah wisata spa. Bunga-bunga jepun ini dibuat ekstrak untuk ramuan lulur, maupun produk spa lainnya. Pabrik-pabrik produk spa di Bali semakin membutuhkan lebih banyak pasokan bahan baku, karena produk mereka dipasarkan di luar negeri. Kabarnya, bunga jepun kering ini juga diekspor ke China.

Sebelum diolah menjadi produk spa, dulunya jepun kering ini diolah menjadi dupa. Dupa memang produk unggulan di Bali. Hampir setiap rumah tangga di Bali, khususnya di Bali bagian selatan menggunakan dupa untuk sesajen harian. Setiap hari sebuah rumah tangga di Bali menggunakan minimal 20 batang dupa, apabila ada taruhlah 500.000 rumah tangga menggunakannya, tentu ini merupakan pasar yang besar.

Satu kilo jepun kering, kira-kira sebanyak 1 plastik ukuran 10”, atau plastic warna merah yang biasa diecer 500rupiah di pasar. Tergantung seberapa banyak pohon yang kita andalkan, untuk mendapatkan bunganya. Kalau menunggu bunga rontok ‘normal’ dari pohon. Untuk tiga pohon, bisa sekitar 3-4 hari untuk mengumpulkannya. Kenapa saya bilang rontok normal? Karena sekarang kecenderungannya, orang-orang membuatnya rontok lebih cepat, ada yang membawa galah panjang atau dengan menggoyang-goyang batang untuk ‘memukul’ jatuh bunga.

Sepertinya semua orang larut dalam kemeriahan mengumpulkan bunga kering, cara cepat untuk mendapat uang kontan. Tinggal kumpulkan, jemur kering lalu jual. Untuk menjualnya, juga tidak perlu usaha. Ada pengepul yang setiap hari mendatangi rumah, bertanya apa sudah ada yang kering? Tidak hanya ada satu dua tiga orang pengepul. Setiap menjual bunga, ibu tidak punya langganan alhasil selalu ada muka berbeda yang membawa timbangan untuk bertransaksi. Timbangannya yang dipegang tangan, ada berbentuk bulat ada yang segi empat persegi. Harusnya untuk timbangan bunga kering, tidak perlu yang untuk ukuran kilo yang besar. Bayangan saya, cukup maksimal untuk 2 kg atau 5 kg. tetapi ternyata tidak, para pengepul itu umumnya membawa timbangan yang skalanya bisa untuk 10,15 atau 20 kg. belakangan saya baru tahu, ternyata semakin besar skala timbangan membuat tidak presisi untuk menimbang diangka kecil. Biasanya untuk kelebihan beberapa ons, tidak terbaca. Taktik dagang.

Nenek saya, yang seorang pedagang. Tidak mau terkecoh dengan taktik ini. Bahasa gaulnya, buaya dikadalin. Dia tidak mau bunganya ditimbang di timbangan pengepul, dia menimbangnya ditimbangan sendiri diwarungnya. Timbangan kuno, yang ada piringan bentuk mulut bebek ketika menimbang harus mendudukkan ‘batu-batu’ besi untuk membuatnya seimbang. Hasilnya dia selalu puas setiap transaksi.
Nenek saya, namanya Dadong Rarud. Dia nenek dari garis ibu. Dadong adalah sebutan untuk nenek dalam bahasa Bali. Namun sebagian besar orang Bali, sekarang malu menyebut dadong karena terkesan udik dan miskin. Beberapa keluarga sekarang memanggil dadong-nya dengan sebutan ‘Nek’, ‘Nini’, ‘Mbah’ atau ‘Odah’.

Dadong Rarud, perawakannya tidak proporsional, dari pinggang keatas besar dan pinggang kebawah mengecil. Kalau membaca majalah wanita, saya menangkap ini yang dimaksud dengan badan berbentuk buah pir. Betis yang kecil, membuat dia jalan kadang-kadang seperti orang oleng. Dadong Rarud usianya saya perkirakan sekitar 70 tahunan. Dadong Rarud, tidak suka saya memanggil dia lengkap dengan namanya, cukup dadong saja. Tidak sopan katanya menyebut nama orang yang lebih tua. Saya selalu melawan, saya bilang kalau kita diculik orang ditinggal dijalan kalau tidak tahu nama orang yang lebih tua bagaimana, ketika saya kecil, dia selalu mengejar saya dengan sapu lidi setelah saya melawan. Tetapi, setelah beranjak besar, Dadong hanya bilang ya.. nanti kena Karma kalau ngomong begitu. Mungkin Dadong berhitung, tenaganya tidak kuat lagi untuk mengejar saya dengan sapu lidinya.

Seperti umumnya orang Bali seusianya, jarang yang tahu tahun kelahiran. Dadong adalah pedagang di pasar Sukawati, dulu. Dia menjual bumbu-bumbu masakan, seperti bawang merah, bawang putih. Kios-nya kecil, 2x2 meter, dibawah tangga. Letaknya strategis. Namun sayang, pembeli sekarang tidak ada seusianya lagi. Orang-orang muda, lebih suka belanja di pedagang yang lebih muda. Mungkin dari bahan pembicaraan lebih ‘nyambung’. Anak-anaknya Dadong, mewanti-wanti agar Dadong berhenti kepasar daripada di pasar hanya bengong. Tapi bagi Dadong kepasar adalah panggilan jiwanya, dia senang ngobrol dengan orang. Setiap hari baru, seperti ada agenda baru. Setelah menyapu, memasak, dia mandi dan berangkat ke pasar. Dia bahagia.
Beberapa tahun lalu, Kaki – untuk sebutan kakek dalam Bahasa Bali- Muja, sakit keras. Sepertinya ada yang salah dengan saluran usus besarnya. Setelah sakit itu, dia seperti bayi lagi. Semua harus dibantu. Dadong terpaksa berhenti kepasar, khusus dirumah merawat Kaki. Beberapa tahun, ini mukanya drastic terlihat lebih tua dari sebelumnya. Dia tidak lagi rapi dan ‘dandan’. Menjadi ringkih, tua dan hampir pengangguran.

Untuk menghidupi dirinya, Dadong mengambil alih warung Pak Tut, anak lelaki satu-satunya yang lelah mengadu nasib berjualan dan tidak beruntung. Namun penghasilan warung tidak seberapa. Untuk sekarang musim jepun kering. Dadong menjual jepun kering. Dirumah Dadong ada sekitar 9 pohon jepun berbunga lebat. Kalau cuaca cerah, dalam dua hari dia bisa mengumpulkan sekilo jepun kering. Untuk membuat jepun kering lebih cepat, ada saja akal-akalan orang-orang. Mulai dari menjemurnya ditempat terbuka (sepanjang hari bertemu sinar matahari), ada diatas atap kamar mandi, ada juga diatas seng. Sepertinya menjemur diatas seng, membuat jepun lebih cepat kering.  Ibu saya bilang, jepunnya tidak usah terlalu kering, nanti ringan ketika ditimbang.

Seminggu sekali, Dadong biasanya menjual ke pengepul, hasilnya 3-4 lembar uang seratus ribuan berpindah tangan ke dadong. Dari situlah dia hidup. Pernah dia mendapat 600 ribu menjual jepun kering, entah stok berapa hari. Ada banyak Dadong-dadong dan Kaki-Kaki juga seperti Dadong Rarud. Ketika saya mengantar Ryan sekolah TK, banyak pemandangan manula (manusia lanjut usia) berkeliling membawa kresek untuk mengumpulkan bunga jepun yang jatuh. Jepun ini adalah uang kontan mereka, membuat mereka mandiri dan percaya diri.

Kalau ibu-ibu muda jangan ditanya, lebih banyak lagi jumlahnya. Anak-anak kecil seumuran SD, juga banyak yang berkeliling mengumpulkan jepun kering. Tadi sore, saya melihat dua orang anak laki-laki, satunya membawa sepeda dengan tas kresek hitam sudah penuh dengan bunga jepun. Satunya lagi berjalan kaki sedang mengambil bunga yang jatuh di selokan. Beberapa hari lalu, ketika mengunjungi ipar di Kesambi, 8 km dari Sukawati, ada 3 anak perempuan seumuran SD, satunya lagi mungkin dibawah 5 tahun. Mereka berhenti menanyai saya, apa boleh mengambil jepun yang jatuh. Dengan berat hati saya bilang, jangan karena pembantunya ipar juga mengumpulkan jepun kering untuk dijual. Lumayan kata ipar, dia sudah bisa membeli rice cooker akan dikirim pulang ke Jawa untuk keluarganya.

Ngomong-ngomong tentang hasil dari menjual jepun kering. Ibu saya mempunyai kebiasaan baru, membeli sekarung beras “Puteri Sejati” yang 25 kg setelah penjualan. Beras ini termasuk mahal karena nasinya pulen dan enak. Biar kelihatan hasilnya, alasan ibu. Sebulan kami mendapat gratis 2 karung beras dari jepun. Ibu mertua Diah, adik saya juga sangat bersyukur dengan 6 pohon jepun yang ada dirumahnya. Dia tidak lagi merogoh saku dalam-dalam untuk membiayai uang SPP dan uang bulanan anak perempuannya yang masih kuliah. Lumayan untuk pensiunan guru seperti dia.

Berkah jepun kering ini, seperti oase dipadang pasir bagi sebagian ibu-ibu rumah tangga. Uang jepun adalah uang ekstra untuk membeli kebaya, sandal, peralatan rumah tangga, jaja anak dan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga serta upacara adat. 

Namun di balik gemerlapnya kerincing uang jepun untuk manusia, ada kisah sedih untuk pohon jepun itu sendiri. Awalnya orang-orang mengumpulkan bunga yang rontok dari pohon, lama-lama karena permintaan bertambah, menyebabkan harga meningkat. Pohon jepun semakin tereksploitasi. Orang-orang mengumpulkan bunga jepun bukan hanya dari pekarangannya sendiri, tetapi sudah merambah- kalau tidak boleh dibilang ‘menjajah’ pohon milik orang lain. Orang-orang ini berkeliaran dimalam hari membawa galah untuk memetik bunga jepun. Saya menandai orang-orang ini berkeliaran sekitar jam 11 sampai jam 2 malam. Lagi lelap-lelapnya orang tidur, tapi bukan saya. Saya mendengar anjing-anjing menggonggong dan orang-orang memulai memetik bunga, mencuri. 5 pohon jepun di luar pekarangan rumah saya selalu amblas bunganya dimalam hari oleh orang-orang ini. Sudah tipis sekali rasa malu di Negara ini, digilas dengan kehausan akan rupiah dan rupiah..

Di kala sore hari, ketika anda jalan-jalan di Sukawati dan sekitar Guwang- desa disebelahnya, anda akan melihat pemandangan seragam, ibu-ibu yang membawa galah untuk memukul jatuh bunga jepunnya. Bunga yang seharusnya belum rontok, dibuat rontok, sebelum diambil orang lain. Seperti mengandaikan, anak perempuan yang lagi gadis-gadisnya dibunuh untuk dikeringkan. Ahh.. terlalu pakai hati saya menggambarkannya. Tapi begitulah, kasihan pohon jepun yang semakin tereksploitasi untuk ditukar dengan beberapa lembar 100ribuan. Tidak ada lagi pemandangan indah Bali yang sangat identik dengan jepunnya. Barang kali masih ada dibeberapa hotel, tentu karena karyawan bisa dipecat kalau memaksa memetik bunga jepun di pekarangan hotelnya.

Bunga Jepun memang identik dengan Bali, atau kebalik malahan. Orang Bali identik dengan jepun. Di beberapa brosur pariwisata, sering kita jumpai gadis Bali yang cantik dengan bunga jepun ditelinga mencakupkan tangan didepan dada, salam selamat datang di Bali. Tempat tidur dibeberapa hotel juga ditaburi bunga jepun, ketika tamu datang. Hiasan bunga untuk para penari juga adalah bunga jepun. Bunga jepun di pakai sembahyang, digunakan untuk menghiasi canangsari (sesajen), dan banyak lagi. Orang Bali umumnya memang suka menanam bunga yang bisa dipakai untuk upacara. Jepun adalah bunga yang tidak cepat layu. Bunga lain yang umumnya ada dipekarangan orang Bali adalah jepun, bunga nusa indah, bunga mawar, bunga cempaka, bunga sandat dan bunga tunjung (lotus). Itu dulu. Sekarang dengan perkembangan arsitektur minimalis, bunga jepun lebih cocok dan mewakili kepraktisan itu, karena pohonnya tumbuh tinggi sehingga bisa membuat teduh, dan yang pasti tidak banyak sampah.

Kenapa saya bilang bunga jepun itu lebih disukai karena tidak banyak sampah? Umumnya rumah orang Bali yang masih didesa, halamannya luas. Dulu, halaman luas ini dihiasi dengan berbagai macam pohon yang berbuah, paling banyak adalah mangga dan rambutan. Panennya bisa dipakai untuk membuat aturan (sesajen). Namun pohon buah adalah pohon yang paling banyak memakan ruang, karena batangnya yang kemana-mana, membuat rumah jadi terlihat sempit dan teduh (kalau terlalu lebat jadi lembab). Tetapi yang paling menyebalkan adalah pohon buah itu sampahnya banyak!. Karena daunnya kecil-kecil jadi terlihat berserakan, dan rumah terlihat kotor.

Saya menandai sekitar awal tahun 2000-an, setiap keluarga mulai menebang pohon buah yang ada dirumahnya untuk menanam pohon jepun. Halaman rumah orangpun, jarang yang masih ada ‘tanah’nya, ditutupi dengan paving block kalau tidak disemen permanen, yang berlebih uangnya menambah hiasan dengan memasang batu sikat berbagai motif.

Saya memang suka melihat desain rumah minimalis, tentu saya ragukan harganya juga minimalis, tapi maksimalis. Dengan hiasan taman, pohon jepun didepan pintu rumah, menggiring khayalan seperti berada di sebuah resort. Ketika mengunjungi mertua ke Surabaya, saya melihat berbagai macam desain rumah. Kebetulan rumah mertua dekat dengan perumahan mewah Galaxy di Surabaya. Tetapi desain itu, tidak memuaskan mata saya. Sampai kemudian, mata saya tertuju pada sekumpulan pohon jepun. Aha, ini pasti rumah minimalis, batin saya. Ternyata setelah mendekat, areal kuburan. Berbeda dengan di Bali, bunga jepun di Jawa identik dengan kuburan. Betapa kutub yang jauh sekali berseberangan.

Bunga jepun tumbuh bersama saya. Ketika kecil, saya sering bermain rumah-rumahan dibawah pohon jepun didepan pintu masuk rumahnya Iien. Ada dua pohon jepun tua, rantingnya memeluk satu sama lain. Dibawah pohon jepun itu, seperti ada gua. Saya senang bermain disitu dan menandainya sebagai ‘rumah saya’. Bunga jepun biasa kami ikat dengan karet gelang menjadi semacam ‘bola berumbai’. Bola ini kami mainkan dengan kaki sambil dihitung. Peraturannya hanya satu, bola tidak boleh jatuh ke tanah, dan semakin banyak kita bisa menendangnya, dialah pemenangnya. Bunga jepun, adalah bahan baku ketika kami main masak-masakan. Bunganya kami pisahkan per helai, pura-puranya menjadi ‘ayam sisit’ atau kami potong-potong dicampur dengan daun-daun lain untuk menjadi ‘lawar’. Bunga jepun menjadi hiasan kepala ketika kami bermain pura-pura ‘mepeed’. Kami menata bunga jepun diatas kepala, dijepit dengan penjepit. Mepeed adalah idaman kami, anak-anak perempuan pada masa itu. Karena itulah saat kita didandani dengan memakai baju adat lengkap, memakai make up dan perhiasan emas dan kemudian berjalan di jalan raya Sukawati, mengiringi rangkaian upacara di Pura. Saat itu, keluarga saya terlalu miskin untuk saya bisa mepeed.

Kenangan selalu membawa hawa hangat didalam hati. Tidak seperti masa sekarang dimana sepertinya setiap mahluk hidup terjebak dalam kerangka pasar. Bunga jepun yang tidak bersalahpun harus masuk perangkap pasar. Bunga jepun dipetik paksa, untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita. Alam terlalu terekploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita manusia, yang katanya berada dalam piramida puncak mahkluk hidup di bumi ini. Ah.. seandainya tidak ada manusia, mungkin binatang, tumbuh-tumbuhan akan hidup baik-baik saja di dunia. Mereka tumbuh, hidup, layu, dan bertunas lagi. Sampai kapan kita begini.. ah.. hari semakin merambat malam.

Heey.. saya berhasil melawan kemalasan saya menulis malam ini.. selamat. Saya harus memberi penghargaan kepada diri saya, segelas susu coklat hangat dan… malam yang gerimis, perpaduan yang pas.  Selamat datang gerimis.. mudah-mudahan si pencuri jepun enggan keluar dan lebih memilih untuk memeluk bantal. 

Selasa, 20 November 2012

Selamat Ulang Tahun yang ke 5, Rakryan.



Tanggal 20 November kemarin ini, anakku Rakryan Teja Abhimata genap berusia 5 tahun. Pernyataan klise seseorang yang mulai beranjak tua, ah.. tidak terasa waktu berjalan dengan cepat.

Hari itu, saya membawa dua kresek besar berwarna merah. Didalam kresek ada beberapa bingkisan snack untuk teman-teman Ryan di Sekolah, PAUD Sari Mekar di Sukawati. Di PAUD ini, Ryan sudah masuk di tahun kedua bersekolah. Selain snack, kami membawa sekotak kue ulang tahun bulan dengan hiasan berwarna biru, diatasnya tertulis: Selamat Ulang Tahun Ryan, dari Bapak, Ibu, Nara dan Runa. Kami yang membawanya itu adalah, Saya, Diah, Nara dan Runa, minus Bapaknya Ryan. Dia masih ada di Wanci untuk menyambut tamu VVIP kantornya. Kabarnya, rombongan donor yang akan memberi sinyal kelanjutan ‘nasib’ dapur kami.

Sibuk-sibuk ulang tahun sudah dari kemarin, saya dan Ryan pergi kepasar untuk membeli snack. Ryan sendiri yang memilih snack yang akan dijadikan bingkisan, ternyata dia sudah besar, sudah punya pilihan sendiri. Ryan membantu saya memasukkan snack kedalam bingkisan snack ulang tahun yang siap jadi. Ya.. meskipun berulang kali saya rapikan lagi, karena tulisan snacknya tidak tegak lurus dan seragam. Well, at least he was helping me.

Malamnya, Ryan tidur lebih awal karena capek seharian main. Saya pergi ke Denpasar membeli kue bersama Nara. Entah Nara sudah paham apa belum, dia berada dalam ‘aura’ persiapan pesta. Sebuah kue terbeli, tulisan ucapannya ditulis melingkar karena terlalu panjang hehe..

Teman-temannya Ryan dikelas ada sekitar 17 orang. Saya sudah tidak hapal lagi nama teman-temannya. Dulu ketika tahun pertama di Sekolah, saya ingat semua nama teman sekelasnya: ada Prasetya, Mang Bagus, Gus De, Angga, Ken, Wayan, Aditya, Raditya, Tu Eka, Krishna, Parama (kembarannya Ryan, mukanya nyaris sama), Reza, Gung Gek, Diah, Dita, Chelsea, Pashya, Jorani, Dek Ari, Dayu. Sekarang yang saya tahu nama teman sekelasnya Ryan adalah: Mang Ming, Cok Wid, Wisnu, Santa, Robi (yang paling nakal), teman ceweknya: Jorani, Dek Ari eh.. itu aja yang lainnya tidak tahu dan tidak kenal.

Semenjak Runa lahir, konsentrasi saya banyak terpecah. Rutinitas di pagi hari yang paling padat. Memasak, menemani makan, memandikan ketiga bocah, menyiapkan Ryan masuk sekolah, mengantarkannya, menyusui Runa, menidurkannya, main dengan Nara, menjemput Ryan lagi di sekolah, hampir tidak ada jeda. Jarang saya bisa menunggui Ryan di sekolah, tidak seperti ditahun pertama. Di pagi hari, saya mengantarkan dia ke sekolah. Kalau anak-anak belum berbaris, Ryan masih mau ke kelas untuk menaruh tas yang dibawa. Kalau terlambat, Ryan minta saya menaruh tasnya di kelas, sehingga dia bisa langsung masuk barisan. Naik motor dengan tiga anak, sangat merepotkan. Nara di depan memegang stang motor, Runa didalam gendongan kain, dan Ryan di belakang. Sudah tidak ada tempat untuk anak ke empat di motor saya, mungkin di ban?

Ryan sudah besar, sering kali dia yang malah menyuruh saya pulang, jangan menunggui dia disekolah. Sebenarnya saya khawatir dia di bully teman, karena pernah suatu hari dia pulang dengan tangan sobek, katanya dicubit temannya. Ryan itu lugu, dia senang diajak bermain sama temannya. Sampai uang sakunya pun dibagikan temannya. Sebenarnya, saya khawatir, ketika dia disekolah apakah dia bermain di ayunan atau perosotan dengan aman, bagaimana dia disekolah, apakah dia bisa menangkap pelajaran dengan baik. Sekolah itu bagaikan medan perang, dia tidak selalu ada dalam lindungan kita. Suami saya bilang, hilangkan perasaan itu, biarkan dia tumbuh dengan hidupnya. Beginilah hidup. Ryan harus belajar.

Hari kemarin, sudah tepat lima tahun saya melahirkan Ryan. Peringatan ulang tahun anak-anak, adalah peristiwa menarik balik kenangan yang saya alami ketika melahirkan mereka. Ketika melahirkan Ryan, saya berusia 27 tahun. Saya menikah di usia 26 tahun, 10 bulan kemudian belum hamil. Hamil pertama keguguran di usia kandungan dua bulan. Kata dokter, janinnya tidak berkembang dengan baik. Ryan adalah kehamilan kedua dan anak pertama saya.

Saya memeriksakan kandungan saya (ketika mengandung Ryan) pada seorang Ginekolog terkenal di kota Denpasar, dan mempunyai spesialisasi fertilitas dibelakang embel-embel SPOG-nya. Dokter itu, ramah dipermukaan dia mempersilahkan pasiennya hanya 5-10 menit di ruangan. Tidak heran juga, Karena setiap malam pasiennya mencapai 70 orang. Kalau booking antrean di hari yang sama untuk periksa, saya sering mendapat nomor antri berkepala 6 mewakili 60an.

Saya nyaman dan percaya dengan pemeriksaan dokter itu, dan berencana hendak melahirkan dibantu olehnya. Namun belakangan, dokter ini menganjurkan saya untuk operasi Caesar ketika melahirkan, saya kehilangan kepercayaan terhadap dokter ini. Saya memilih untuk melahirkan normal, senormal-normalnya. Hasilnya sebulan sebelum melahirkan saya ‘melarikan’ diri untuk konsultasi diseorang bidan di kota Denpasar. Bidan itu punya klinik bersalin di rumahnya. Setiap minggu juga dia mengadakan senam hamil gratis untuk para ibu hamil. Belakangan saya menyadari, ini merupakan strategi marketingnya juga, agar ibu-ibu percaya diri melahirkan normal sehingga bisa dibantu di klinik bersalin mereka. Pada bidan ini tidak berhak untuk membantu persalinan dengan operasi. Semaksimal mungkin mereka membantu ibu-ibu untuk melahirkan normal, karena itu ‘dapur’ mereka juga.

Perkiraan lahir dari bulan ke bulan berubah, saya menandai Ryan kemungkinan lahir antara tanggal 5 – 10 November 2007. Karena anak pertama, Bapaknya Ryan sudah mulai stand by menjadi suami siaga (siap antar jaga) sejak tanggal 5. Beberapa hari kemudian, ibu mertua datang dari Surabaya untuk ikut menemani melahirkan. Hari demi hari berlalu, saya semakin rajin jalan-jalan. Kami mulai menghitung hari namun menunggu memang pekerjaan yang membosankan dan menegangkan. Dua minggu sudah Bapaknya Ryan di Bali sementara tugasnya di Wakatobi. Dia memberi ultimatum, kalau didalam minggu ini tidak lahir, maka dia harus ke Jakarta dulu dua hari. Hari itu hari Minggu, sehabis senam hamil saya mengalami Flek, siang itu saya periksakan. Katanya sudah bukaan dua, perawat yang usianya baru awal duapuluhan dan pastinya belum menikah – mengatakan mungkin masih lama melahirkannya bisa jadi 3-4 hari lagi.

Sesampai dirumah, kontraksi ini semakin menjadi-jadi. Perut saya sudah mulai kontraksi palsu sejak sebulan yang lalu. Saya mengeluh sakit perut terus kepada Bapaknya Ryan. Ketika kontraksi asli keluar, dia malah bilang ahh.. acting ibunya .. sial! Hari senin siangnya kami kembali periksakan ke klinik. Sakit perut semakin hebat, rasanya seperti sakit perut ketika menstruasi, perih teriris-iris. Hebatnya, sakitnya semakin dekat jaraknya. Siang itu, perawat masih mengatakan bahwa baru bukaan dua. Saya disuruh pulang dulu. Kami pulang, tapi keadaan tidak lebih baik. Sakit perutnya semakin menghebat. Duduk salah berdiri salah. Suami malah sibuk mengambil foto saya ketika saya sedang kesakitan. Begitulah para lelaki yang tidak pernah merasakan sakit melahirkan..hehe..masih bisa cengangas cengenges.

Malamnya, saya tidak bisa menahan lagi. Ibu mertua menyarankan mendingan menunggu sakitnya di klinik saja. Jam 10 malam kami kembali ke klinik, untung jarak rumah dan klinik tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 5-6 km. kembali saya diperiksa dalam, ditusuk dengan jari, saya paling benci pemeriksaan model begini. Perawat mengatakan saya sudah bukaan empat, mungkin sebentar lagi melahirkan. Saya langsung dibawa ke lantai dua, karena saya memilih kamar yang dilantai dua. Saya langsung ganti kain dan baju, dan bersiap-siap untuk melahirkan. Saya pikir dalam waktu dua jam akan melahirkan, ternyata penantian saya harus lebih panjang lagi. Setelah berjuang melawan kantuk, karena dua hari tidak tidur nyenyak, akhirnya saya berhasil melahirkan Ryan jam 4.30 pagi. Dia lahir ditengah teriakan saya yang membahana membelah pagi. Ditengah kesakitan, saya teringat bapak yang telah meninggal, saya berteriak.. Bapaaakkk.. Ibu mertua teriris lirih mendengarnya, jangan ditanya ibu saya. Matanya banjir airmata. Ryan lahir putih bersih berselimut lemak, ibu saya pikir seperti dilapisi cat. Ryan lahir dengan panjang 52 dan berat 3,1 gram. Pagi itu hari selasa.

Veda sangat gembira, Ryan anak pertama kami. Mungkin karena alasan itu, atau karena alasan akhirnya dia bisa potong rambut, setelah puasa potong rambut selama 9 bulan. Orang Bali percaya bahwa pamali para suami potong rambut ketika istri lagi hamil. Ibu-Ibu kami juga senang. Saking senangnya mereka semua pergi meninggalkanku sendiri diruang melahirkan sementara mereka mengikuti bayi ke ruangan bayi.. tidak mungkin tertukar karena dia satu-satunya bayi di Klinik hari itu.

Lima tahun telah berlalu, hari ini Ryan semakin hari semakin… NAKAL. Dia suka sekali menggoda adiknya Nara, sampai Nara dibuat mengangis. Ada saja kelakukan kelakukan Ryan yang membuat berdiri rambut saya. Ryan sekarang mulai belajar berhitung. Ketika saya sodorkan tiga jari ditangan kiri ditambah lima jari kanan, dia selalu menghitung mulai dari satu. Saya bilang tidak usah dihitung lagi yang tiga, langsung saja ke empat ditangan kanan. Namun begitulah, Ryan dia selalu menyelesaikan dengan caranya dan memang menghasilkan angka delapan. Saya selalu mempunyai sudut pandang dari cara saya, bahwa ini yang terbaik dan ini yang ‘seharus’nya dilakukan Ryan.

Mungkin Tuhan menitipkan anak kepada orang tua, agar kita sebagai orang tua harus selalu belajar. Dari ini saya belajar banyak dengan Ryan, bahwa saya harus melebarkan ruang empati saya untuk lebih memahami dia dari persepktif seorang anak yang sedang belajar. Terkadang saya tidak sabar dengan proses ini. Sebagaimana orang tua lainnya, mungkin, saya selalu merujuk dengan pengalaman masa lalu. Ketika kecil, saya menjadi ‘pemimpin’ diantara teman-teman saya. Saya merencanakan kegiatan yang akan kami lakukan hari itu, main masak-masakan, bermain dibawah tanaman bambu, bermain rumah-rumahan dan lainnya. Saya mengatur, ini menjadi ini dan rumahnya disini dan lainnya. Sekarang saya berhadapan pada Ryan yang menjadi pengikut. Dia senang bermain dengan temannya, tapi dia bukan pemimpin. Dia hanya ikut-ikutan, terkadang di-bullying oleh temannya.

Suatu hari dia pulang dengan tangan kiri yang lecet, dia bilang dicubit temannya. Ketika ditanya lebih lanjut nama temannya, dia tidak mau bilang. Dari ibu-ibu yang menunggui anaknya disekolah, saya dapat berita kalau Robi yang mencubit Ryan. Robi ini anaknya kecil, tubuhnya lebih pendek dari Ryan, berkulit hitam seperti orang India berkulit hitam, hitamnya mengkilap. Mukanya hampir tidak tersenyum dengan alis yang hampir menyentuh satu dengan lainnya. Ketika melihat ibunya, saya menyadari Robi ini mirip ibunya, minus senyum. Saya tidak mau intervensi Robi dan menanyainya kenapa mencubit Ryan. Hanya saya bilang kepada Ryan, kalau ada orang yang pukul Ryan, Ryan harus balas pukul. Kalau ada yang cubit Ryan, Ryan harus balas cubit. Kalau tidak, temannya Ryan akan terus-terus mukul Ryan. Ketut, pengasuhnya Ryan terkejut. Saya melarang untuk membunuh binatang, nanti ibunya menangis. Ryan menyanggah: ‘bagaimana kalau yang mati ibunya?’. Saya menjawab: ‘ya anaknya yang menangis’. Meskipun menyanggah Ryan biasanya menurut.
Sebagai seorang ibu, mengasuh anak membawa saya seperti berkaca pada masa lalu. Ada beberapa hal dimasa lalu yang ingin kita perbaiki, kita dapatkan, kita tularkan pada anak sehingga anak tidak mengalami masa yang buruk. Namun seperti yang ditampilkan disebuah iklan, tidak mungkin kita ‘membungkus’ anak didalam plastic agar tidak kena ‘debu-debu’ dunia. Kadang saya mengurut dada dan mengendurkan saraf, bahwa Ryan harus ‘tumbuh’ dengan hidupnya. Saya menyadari Sekolah adalah medan perangnya yang pertama.

Ryan, selamat ulang tahun.. Semoga Ryan sehat selalu dan tumbuh dengan baik.. Nama Ryan selalu ada dalam doa ibu..

Selasa, 13 November 2012

Bapak Nyoman Sukerena Bayumurti, In Memoriam



Ruangan itu begitu dingin, mungkin karena dipasang pendingin ruangan. Tetapi lebih dari itu, siapapun yang masuk ke ruangan itu pasti menyiapkan air dikantong mata, dan segera akan tumpah begitu melihat sosok yang disayang. Selintas aku melihat beberapa lelaki terbaring dihiasi dengan berbagai selang terhubung dengan monitor berbagai fungsi. Masing-masing tempat tidur dibatasi dengan korden disisi kiri kanan.

Siang itu, pertama kali aku menengoknya di Rumah Sakit Sanglah. Bapak mertuaku, Pak Bayu, beberapa hari lalu dipindahkan dari sebuah rumah sakit di Surabaya dengan ambulance. Sejak tiba di Sanglah tanggal 19 Oktober lalu, bapak langsung masuk ICU- dirawat dengan intensive. Beberapa Dokter jaga dan perawat menjaga dan monitor dengan seksama kondisi pasien. Aku mengalami dejavu, perasaan yang pernah kurasakan ketikan Fika, almarhum keponakan juga pernah dirawat di ICU anak. Diruangan ini, keluarga dan penunggu pasien dilarang masuk kedalam kecuali memang kalau dipanggil.

Kata Wira, adik ipar yang kebetulan tugas belajar mendalami spesialis bedah di Sanglah mengatakan kondisi bapak sudah drop sejak dari Surabaya sehingga diputuskan untuk sementara “mengistirahat”kan bapak dengan mengganti fungsi paru-parunya dengan ventilator. Dengan ventilator ini, nafas bapak mulai teratur dan bapak seperti sedang tidur, kaku.

Perasaan sedih datang mendera, mengingat peristiwa lalu ketika bapakku dulu sakit dan terbaring lemah. Aku melihat sosok seorang bapak yang telah berjuang untuk keluarganya sekian tahun dan sekarang berjuang melawan sakit. Sakit bapak semakin parah. Aku teringat ketika pulang ke Surabaya di hari Lebaran, bapak masih bisa jalan meski sempoyongan. Setiap orang yang mengenal Pak Bayumurti pasti menandai beliau adalah sosok yang suka senyum, ramah, berbadan tegap, kemana-mana membawa sikat gigi. Sehabis makan bapak selalu sikat gigi, tidak heran di usianya yang mencapai 78 tahun giginya putih berjejer rapi. Asli semua, satupun tidak ada gigi palsu. Suatu anugerah karena masih bisa mampu mengunyah dengan baik. Sebuah disiplin yang harus aku teladani.

Tidak biasanya bapak mengeluh sakit. Bapak merasa kepalanya pusing dan pandangannya kabur, padahal baru ganti kacamata. Karena pusing, bapak lebih banyak tidur. Sesekali bangun untuk menyapa cucu-cucunya dan duduk menonton TV diruang keluarga. Bapak menggoda Raya, cucu kesayangannya.  Tidak sampai setengah jam, balik ke kamar tidur lagi. Pipit, adik iparku yang berani cerewet dengan bapaknya mengingatkan bapak jangan tidur terus, nanti gulanya naik. Bapak mertua memang punya riwayat kadar gula yang agak tinggi. Beliau tahu ketika hendak operasi katarak setahun yang lalu.

Di hari ketiga kami di Surabaya, saya menyarankan suami untuk mengajak bapak jalan-jalan disekitar kompleks perumahan. Kami jalan-jalan dengan anak-anak. Bapak jalan sempoyongan, bahunya turun. Bapak mengeluh tangan kanan susah diangkat ketika makan, bapak curiga beliau kena stroke. Suami mengajak bapak ke rumah sakit. Siang itu bapak langsung opname untuk pertama kalinya dalam sejarah. Bapak dirawat dirumah sakit Dr. Soetomo di Surabaya, rumah sakit itu dilengkapi khusus dengan unit stroke. Ada pendarahan di otak sebelah kirinya. Suami yang menunggui dirumah sakit. Saya dan ipar menyiapkan ada upacara Mlaspas (membersihkan rumah) setelah renovasi bagian belakang. Saya baru sempat menengok bapak sekaligus pamitan mau pulang ke Bali beberapa hari setelahnya. Kala itu, bapak terlihat kikuk. Bapak tidak biasa sakit dan ditengokin di rumah sakit, mungkin beliau malu pikir saya. Itu terakhir kali saya bisa komunikasi dengan beliau. Beliau bilang hati-hati dijalan, salam dengan ibu (saya) dirumah.

Bapak sempat pulang dari rumah sakit dan rawat jalan. Setelah sampai rumah, kondisi bapak sudah tidak seperti dulu lagi. Bapak sudah mulai tidak bisa mengontrol pipisnya, sehingga ibu mertua harus lebih ekstra perhatian merawat bapak. Sempat saya diskusikan dengan suami untuk mengajak bapak ke Bali. Lebih banyak tenaga yang bisa merawat bapak di Bali, ada ipar-ipar dan saya di Bali. Saya kepikiran dengan ibu mertua yang juga sudah sepuh merawat bapak sendirian di Surabaya. Sebelum ide memindahkan bapak ke Bali terwujud, ada sebuah peristiwa yang memicu tensi baik melonjak naik. Malam itu juga kena serangan stroke, bukan gejala lagi. Setelah peristiwa marah-marah itu, kata ibu, bapak masih bisa jalan kembali ke rumah. Sampai diteras bapak duduk dikursi, setelah itu ibu mengamati bibir bapak mulai jatuh, seperti orang stroke. Beberapa saat bapak duduk di kursi, ibu menyarankan bapak untuk masuk ke dalam rumah, nah saat itu bapak sudah tidak bisa bangun lagi dan dibantu tetangga untuk mengangkat bapak kembali ke kamar. Setelah kejadian itu, keadaan bapak tidak bisa lebih baik lagi.

Suami yang ikut menjaga bapak di rumah sakit. Bersama ibu, dia dengan telaten mendampingi bapak. Suami jarang bercerita tentang keadaan bapak, nada berceritanya sama seperti tidak terjadi apa-apa. Saya yang di Bali tidak merasa ada aura kesedihan yang mendalam sewaktu bapak diopname. Kehidupan berjalan sebagaimana biasanya. Mungkin saya bukan “tong sampah” yang cocok diajak curhat oleh suami mengenai kondisi bapaknya. Saya sempat mengantar teman mencoba spa (untuk pertama kali hehe) di kawasan sunset road!.

Saat saya bercerita tentang sensasi spa, suami menanggapi dengan biasa. Seperti biasa juga dia lebih banyak menanyakan kabar anak-anak. Tidak lama, masuk gambar MMS di handphone saya. Ada bapak terbaring diranjang dengan berbagai selang masuk lewat hidung dan mulut. Saya baru sadar, keadaan beliau memburuk. Terbersit ide untuk mengajak, Pak Yan- adik bapak terkecil untuk menengok beliau di Surabaya, siapa tahu bapak mau ber’semangat’ berjuang dengan penyakitnya.

Jadilah kami terbang ke Surabaya. Bersama Pak Yan, dan salah seorang anaknya, kami hanya tertegun kaku melihat bapak yang berusaha menyapa ditengah berjuang mengatur nafas, agak tersengal-sengal seperti orang yang kecapekan lari marathon. Saya baru sadar sekarang beliau terlihat tua dan lemah. Seingat saya bapak tidak mau terlihat tidak berdaya. Ketika kakek dari ibu saya sakit (perkiraan saya kakek hanya lebih tua 5-8 tahun dari Bapak). Bapak mengatakan, jangan focus dengan penyakit. Hidup itu harus dibawa santai dan senang. Pasti penyakit enggan datang.

Memang bapak adalah salah satu orang yang bagus mengendalikan emosi dari beberapa orang yang saya kenal. Jarang saya melihat bapak marah, padahal bapak itu orangnya sangat berprinsip. Bapak jarang mau merepotkan orang. Semasih bisa dilakukannya sendiri, beliau lakukan. Terlihat dari urusan reparasi alat elektronik, atau peralatan rumah tangga. Saya sampai malu hati dengan bapak, yang telaten membersihkan kipas angin berdebu tebal dirumah. Ketika saya menawari mau makan siang atau nyemil, bapak selalu menolak dengan halus. Sampai kemudian saya menemukan cara untuk membuatnya tidak bisa menolak. Saya langsung ambil piring dan menyodorkan ke beliau. Haha!

Bapak mengajari saya, jangan terlalu lembek mendidik Ryan. Nanti dia terlalu cengeng jadi anak laki. Saya sering tidak enak hati dengan bapak, ketika Ryan jatuh dan saya panik, beliau dengan enteng bilang santai. Bapak begitu bahagia ketika Ryan lahir, Ryan adalah cucu pertamanya. Beberapa kali bapak menengok Ryan ke Sukawati, padahal saya saja mengunjungi bapak di Kesambi. Tetapi saya terlalu malas untuk mengepak barang dan  membawa bayi, sebuah kerepotan yang luar biasa. Bapak sering menelpon kerumah, hanya untuk mendengar suara Ryan meskipun Nara juga sudah lahir. Saya justru merasa bersalah, sering kali anak-anak tidak mau menjawab telpon kakeknya, meski sudah dipaksa.

Saya sebenarnya ingin melihat anak-anak akrab dengan kakeknya. Melihat mereka melakukan kegiatan bersama, seperti mancing, berenang dipantai, mengantar ke sekolah sesekali, bersama-sama ke pura, makan bersama dengan kakeknya. Ahh…

Sejak SMP bapak sudah merantau ke Yogyakarta, Pak De, kakak laki-lakinya mengajak bapak untuk disekolahkan disana. Bapak belajar lulusan guru olah raga. Sebelum kemudian berkarir menjadi Marinir (Angkatan Laut) bapak pernah menjadi Guru Olah Raga di Taman Siswa, tempat ini menjadi saksi pertemuan Ibu dan bapak mertua. Kebiasaan merantau membentuk karakter bapak yang mandiri ditambah tempaan ketika menjadi marinir membuat beliau menerapkan disiplin tubuh yang bagus.

“Bapak terbiasa melakukan semuanya sendiri, sampai aku tidak menyadari bahwa bapakku sudah semakin tua. Sering aku tanya dengan bapak, tapi bapak selalu bilang ah segitu aja, bapak bisa kerjain sendiri.” kenang suami suatu malam ketika kami bernostalgia tentang bapak.

Aku teringat pertemuan pertama dengan Bapak di rumah keluarga di Klungkung. Kebetulan aku duluan kenal dengan Pak Yan-nya suami sebelum bertemu bapak. Aku ingat bapak waktu itu pakai celana kain coklat dengan baju polo bercorak dengan warna senada. Pak Yan bilang, sana kamu ketemu dengan calon mertua untuk fit and proper test. Huaha.. seperti calon DPR, canda Pak Yan. Pertemuan pertama sangat cair, beliau menanyakan pertanyaan standard, tentang kerjaan, keluarga dan beliau bercerita tentang keluarganya.

Siapapun yang kenal bapak, pasti menandai bahwa bapak selalu bercerita tentang keluarganya, 
anak-anaknya. Cerita itu selalu diceritakan berulang-ulang. Alasannya, mendingan menceritakan keluarga sendiri ketimbang menggosipkan orang lain.

Bapak, orangnya sangat tepat waktu. Setiap janjian dengannya harus tepat waktu. Berbanding terbalik dengan kebiasaanku. Janjian jam 8, biasanya aku baru berangkat jam 8 dari rumah. Sepertinya bapak sudah menandai kebiasaan burukku, sehingga kalau janjian selalu telat, bapak tidak pernah tanya-tanya, dan beliau selalu menunggu dengan keadaan sudah siap berangkat. Kebiasaan beliau tepat waktu ini, sangat menyentuh hatiku ketika sore itu, hari Rabu dibulan Januari 2006. Suami bilang bahwa bapaknya akan datang kerumah melamar. Keadaan kami yang sepertinya sulit untuk disetujui menikah, menyebabkanku resah dengan hasil dari pembicaraan yang akan dihasilkan. Ibuku sudah memberitahu paman-pamannya untuk ikut dalam proses ‘negosiasi’. Suami bilang keluarganya akan datang jam 4 sore. Jam 4 sore, saya masih ngobrol ditempat tetangga disebelah rumah-hanya perlu naik tembok untuk menyeberang. Dari tembok tetangga saya melihat mobil kijang parkir didepan rumah. Bapak dan Pak De sudah datang, tepat jam 16.00 sore.

Saya dulu sering diskusi spiritual dengan bapak. Salah satu topiknya adalah ketakutan saya terhadap kematian. Bapak pernah bilang tidak usah takut karena orang mati seperti orang tidur. Saya bilang ke beliau saya selalu khawatir apa yang akan kita hadapi ketika sudah gelap, mata tertutup selamanya. Saya mengenalkan ke bapak sebuah buku, karya Anand Krishna: Menghadapi kematian dengan senyuman. Saya bilang pada bapak, saya sangat mempercayai apa yang ada dalam buku ini. Bahwa ada beberapa proses (bardo) yang dilewati roh sebelum bereinkarnasi. Ini merupakan buku panduan meninggal orang Tibet yang menjadi panduan Pak Anand. Bapak menimbang, saya yakin beliau punya referensi tersendiri tentang kehidupan setelah kematian. Bapak meminjam buku itu untuk dibaca dirumah.

Bapak orang yang tekun dan aktif dalam kegiatan spiritual. Di Surabaya, bapak bahkan menjadi mangku di sebuah pura. Di Bali, bapak aktif dalam organisasi meditasi angka. Beliau beberapa kali keluar kota mengikuti guru spiritualnya untuk memberi ceramah. Kegiatan yang belakangan diprotes ibu mengingat bapak tidak muda lagi untuk ikutan safari seperti itu.

Bapak mertua adalah cerminan orang Indonesia. Beliau tidak mempermasalahkan istrinya yang mempunyai keyakinan berbeda dengan agamanya, mereka saling menghormati satu sama lain. Suatu hubungan yang mungkin dianggap aneh bagi sebagian besar orang dan keluarga besar bapak.
Tubuh bapak tidur terbujur kaku. Selintas kutarik selimut zebra yang menutupi badannya hingga dada. Badan, tangan dan kakinya bengkak. Telapak kaki kiri bahkan terlihat hitam. Kata Wira pertanda darahnya sudah mati, tidak ada oksigen yang masuk ke bagian itu. Kulitnya menguning. Ah setidaknya nafasnya teratur. Tidak terasa air mata mulai mengalir, sekeras mungkin kutahan untuk tidak keluar. Semakin keras kutahan tidak terasa tubuhku semakin terguncang. Ibu mertua yang sebelumnya tabah disebelahku, memegang lenganku. Airmatanya mulai menggantung. Saya tidak ingin membuat ibu lebih sedih, segera saya keluar.

Pagi hari, Senin 29 Oktober 2012, hari itu bulan purnama. Ritual mengurus tiga anak dipagi hari dimulai, menyiapkan sarapan, memandikan anak-anak dan menyiapkan Ryan berangkat ke sekolah. Adik ipar memberi kabar, keadaan bapak semakin kritis. Jantung bapak mulai melemah. Suami segera berangkat ke rumah sakit. melanjutkan mengantar Ryan ke sekolah. Berita duka saya dengar melalui telepon. Bapak meninggal dunia. Tepat dihari adik saya, Diah, ulang tahun yang ke 31 tahun.

Selamat jalan bapak, semoga bapak beristirahat dengan tenang.. Maafkan saya yang banyak bersalah dengan bapak.. sekali lagi maaf pak..