Kamis, 16 Juni 2011

PARADOKS IBU

(mengutip tulisan Ibu Maria Hartiningsih dalam Kompas, Minggu 12 Juni 2011)
Saya menuliskan lagi mentah-mentah, tulisan ibu Maria Hartiningsih seperti yang saya baca di Kompas. Karena setiap kata yang beliau pilih, saya pikir sangat mewakili apa yang saya rasakan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri, sebagai seorang anggota masyarakat. Beliau menulis dalam rangka mengomentari pameran seni Garin Nugroho, seorang sineas senior di Indonesia yang mendedikasikan karyanya untuk ibunya, yang meninggal 5 tahun yang lalu. Saya akan mengambil kalimatnya secara acak.
………
Dunia ibu, dunia perempuan adalah dunia perlawanan dalam diam, dunia pemberontakan dalam kepatuhan, dunia hening ditengah hingar bingar keramaian dan kekacauan hidup, dunia kesendirian dalam riuh dan sunyi, dunia penyerahan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan.
Dunia ibu seperti labirin yang menjadi jalan menuju dunia tak terbatas, sekaligus perjamuan tanpa akhir, perjamuan kekerasan yang telanjang; yang senyap dan lenyap dalam hiruk pikuk kemajuan yang diagungkan sebagai penanda peradaban. Tubuh dan seksualitas mereka senantiasa merupakan medan kontestasi paling kritis dan wilayah pertempuran yang paling keras dari berbagai kepentingan.
………..
Dunia ibu adalah kematian-kematian kecil yang dibangkitkan lagi dalam sujudnya. Wajahnya tetap menengadah, pandangannya memeluk bulan meski ia membopong gelombang di pangkuan. Deritanya tak bisa diuraikan oleh jutaan kata karena ia bersemayam di keheningan terdalam lautan rasa.
…………
Jejak peradaban dapat dibaca dari tubuh ibu, tubuh perempuan karena tubuh itu merekam perlakuan pihak lain, siapapun mereka. Tubuh ibu adalah tapak peradaban.
Dunia ibu dalam perjalanan sejarah adalah karung. Karung untuk menyimpan beras yang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari  itu adalah karung yang sama untuk mengarungi wajah dan separuh tubuh atas.
…….
(Dan dalam sebuah karya Garin Nugroho) Di dalam ruangan yang dipenuhi karya instalasi karung gemuk, ditemani patung seorang perempuan setinggi 150cm, memakai kebaya dengan tangan diikat tali ke belakang. Di belakang ruang pameran utama, lima karya instalasi hitam putih tentang proses pembantaian terpampang berjajar. Secara keseluruhan memunculkan suara mencekam.
Karya itu mengingatkan pada ribuan perempuan, ibu, nenek yang dibungkam sampai akhir hidupnya atas tuduhan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Mereka adalah korban yang mengalami pelanggaran berat yang tak terbayangkan bisa terjadi didalam masyarakat beradab.
Tindakan penghilangan, penahanan, penyiksaan, pemerkosaan, pembuangan dan pembunuhan ratusan ribu, bahkan jutaan orang, yang dituduh punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia, terkonsentrasi di Jawa dan Bali, sementara ditempat lain, termasuk Aceh, terabaikan. Seorang saksi yang lolos dari pembantaian di Takengon kemudian menuturkan kekejian itu.
Tragedi kemanusiaan itu adalah lubang hitam sejarah Indonesia modern, yang pada masa Perang Dingin dihilangkan dari daftar genosida dunia karena korban dianggap komunias sehingga “sah dihabisi”.
Akan tetapi, mata ibu, siapa yang bisa menutupnya?
Mata ibu adalah saksi sejarah, yang ditutup supaya tidak bisa lagi bersaksi. Namun, disini juga terjadi paradox. Mata yang tertutup telah membuka mata rasa, membuat sejarah terkuak terang benderang.
Requiem aeternam dona eis, Domine, et lux perpetua luceat eis.. Beri mereka istirahat kekal, Tuhan, dan biarkan cahaya abadi menyinarinya..
Saya mengetik ulang tulisan ini dan memasukkan dalam blog saya dengan tujuan agar perempuan-perempuan lainnya dapat membaca tulisan ini, dan terakhir, terima kasih ibu Maria, atas bacaan yang mencerahkan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda