Minggu, 19 Juni 2011

PENDIDIKAN DAN PERADABAN

Suami saya bekerja disebuah lembaga konservasi lingkungan yang berkantor di Jakarta, namun wilayah kerjanya meliputi daerah-daerah yang memiliki wilayah laut yang luas. Salah satunya adalah wilayah Papua. Baru-baru ini dia pulang dari perjalanan kerja di Papua, dalam rangka mengenalkan pendidikan lingkungan untuk masyarakat setempat.
Dari pengamatannya dilapangan dia mendapati bahwa banyak anak-anak papua yang tidak bersekolah. Ada banyak alasan mengapa anak-anak ini tidak bersekolah. Salah satunya, orang tua dari anak-anak ini tidak terlalu memperhatikan atau antusiasme mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Seorang kepala sekolah disana mengeluhkan bahwa orang tua jarang memandikan anak-anaknya ke sekolah atau membuat sarapan di pagi hari untuk mengganjal perut mereka selama belajar. Alhasil, banyak anak-anak berhamburan pulang karena lapar. kepala sekolah itu juga berkisah, orang tua juga jarang peduli apakah anaknya masuk sekolah atau tidak, terkadang mereka senang kalau anaknya membantu mereka bekerja diladang. Orang tua juga tidak marah ketika melihat anaknya tinggal dirumah saja menghabiskan waktu berbincang dengan orang-orang  dirumah atau bermain bersama anak-anak yang lain. Namun ketika akhir tahun ajaran tiba dan membuka rapor anaknya, mereka marah ketika anaknya tidak naik kelas. Kemudian memarahi guru-guru disekolah dan menyalahkan mereka atas kegagalan anaknya naik kelas.
 Kepala sekolah itu juga menyadari bahwa kesalahan tidak semata-mata karena factor orang tua saja, tetapi dia mengakui  rendahnya kualitas pengajar  atau guru-guru. Para guru sering kali merangkap mengajar semua bidang pelajaran bahkan terkadang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Misalnya, ada banyak guru yang berasal dari putra putri setempat yang mengajar di sekolah, mereka sebagian besar adalah lulusan guru agama atau teologi. Akibatnya sekolah-sekolah banyak kebanjiran guru agama, perbandingannya bisa guru agamanya tiga orang sementara guru kelas yang bisa mengajar semua bidang pelajaran hanya ada satu orang. Hasilnya, karena kekurangan orang, guru agama ini terpaksa mengajar bidang pelajaran lain yang bukan bidangnya.  Saya pernah membaca sebuah laporan (yang saya lupa dimana?.. lagi-lagi saya lupa), bahwa ada banyak guru-guru yang bertugas dipedesaan di Papua, tinggal di kota. Para guru-guru ini lebih banyak menghabiskan waktunya dikota daripada di desa.
Saya sebagai manusia dan orang tua, sangat memahami kenapa para guru-guru ini lebih banyak menghabiskan waktu di kota. Karena anak istri mereka kemungkinan besar tinggal disana. Sebagai seorang guru, pasti mereka menginginkan anak-anak mereka kelak juga sebagai guru. Nah, lingkungan bertumbuh yang bagus untuk belajar adalah di kota bukan? yang dilengkapi dengan sekolah dan fasilitas pendukung lain seperti toko buku dan jaringan internet. Lalu apa yang tersisa untuk anak Papua? Apakah cerita mereka hanya manis didalam kertas kerja anggaran daerah untuk pendidikan? Atau proposal-proposal organisasi non pemerintah yang bekerja disana. Disini saya merasa (maaf, mohon maaf), ada kesenjangan peradaban.
Sebagai orang Bali, saya ingin menceritakan ada suatu system pendidikan yang unik di Bali pada zaman dulu. Di Bali terkenal dengan soroh atau Klan. Dahulunya klan itu, diberi nama sesuai dengan profesinya. Seperti misalnya soroh pande. Pande itu adalah keluarga pandai besi, jadi orang-orang yang membuat peralatan dari besi misalnya pisau, kapak, cangkul, dan lain-lainnya. soroh sangging, adalah keluarga yang biasanya membuat karya seni, misalnya lukisan, dekorasi-dekorasi dan lain-lain. Dahulu transfer ilmu dan teknologi adalah turun temurun dari keturunannya. Kenapa berhasil, karena si anak dibesarkan dalam lingkungan yang membuat pisau, misalnya. Setiap hari dia melihat orang tuanya membuat pisau pasti sedikit tidaknya dia mengetahui bagaimana proses dari awal membuat pisau. Pada zaman ini, tidak ada elit dalam tingkatan kasta terendah (elitnya adalah para raja dan pedanda, atau pemimpin upacara ritual). Tidak ada orang pande lebih pintar dari orang sangging, karena kepintaran mereka di bidang yang berbeda. Pencapaian terhadap totalitas kerja dinyatakan dalam karya. Saya ingin menuliskan sekali lagi, bahwa terlepas dari eratnya feodalisme kerajaan di Bali dengan system kasta,  dalam tingkatan sesame orang Jaba (masyarakat bawah) tidak ada tingkatan elit, pada zaman dulu (tentu saja sekarang sudah berubah).
Di Bali pun, system pendidikan ini telah tergerus zaman. Selain itu, karena Bali masuk kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka harus patuh dengan kurikulum seragam system pendidikan di Indonesia. Bisa diselidiki, berapa anak dari soroh pande, yang bisa membuat olahan logam besi, atau para pelukis, apakah mereka dari keluarga sangging? Karena banyak juga para pelukis sekarang berasal dari luar Bali, ini dikarenakan Bali diibaratkan gula. sekarang yang ada adalah para pandai besi yang merajai pasaran kita yaitu pandai besi dari china, korea, jepang, USA, Eropa atau jangan-jangan dari negara yang dulunya miskin seperti kita misalnya Vietnam, Malaysia, Thailand?. Uniknya sekarang ada soroh baru di Bali yaitu soroh perhotelan, dan soroh perjalanan wisata, haha yang ini saya soroh yang saya buat sendiri.
Saya sangat mempercayai system pendidikan seperti ini. bahwa seseorang itu akan berangkat dari bagaimana lingkungan menciptanya. Bagaimana anak seorang pedagang kemudian menjadi petani? Lalu anak seorang pandai besi menjadi seorang guru? guru untuk pandai besi mungkin. Nah kembali pada zaman dulu, guru adalah mereka yang sudah memiliki karya, dan orang-orang mengakui bahwa dia memang ahli di bidangnya. Sehingga ada guru untuk pandai besi, guru untuk para petani, guru untuk hal lain-lainnya. Namun system pendidikan zaman sekarang, semua orang bisa menjadi guru, hanya dengan bersekolah dan memiliki akses, tidak usah berkarya. Ini yang saya pikir pendidikan zaman sekarang itu, ditingkat awan paling bawah, dilangit tidak, menginjak bumi juga tidak. Karena pendidikan sekarang berjarak dengan karya yang dihasilkan.
Saya pikir pendidikan kita sekarang terlalu dipaksakan. Sebenarnya apa gunanya kita mempelajari  integral, sinus-cosinus- dan teman-temannya, jika kita nantinya ingin menjadi seorang koki? Atau apa gunanya menghabiskan 9 tahun sekolah untuk mempelajari E = MC2 kalau kita ingin menjadi seniman? Sepertinya system pendidikan ini hanya menghabis-habiskan waktu muda kita yang penuh energy untuk mempelajari yang kemudian tidak kita pakai untuk menghasilkan karya dalam hidup. Nah maka dari itu, ada banyak sekali anak-anak bingung ketika ditanya apa cita-citanya nanti kalau sudah besar?. Ada beberapa anak yang menjawab jadi guru, dokter, bahkan presiden?. Bukan kah itu obsesi yang disuntikan orang tua agar anaknya menjadi elit?
Saya pikir, pendidikan tidak hanya bisa diperoleh dari sekolah. Karena saya pikir sangat dipaksakan untuk menggiring anak-anak itu ke sekolah. Saya pikir bagaimana menjadi petani atau nelayan juga perlu “sekolah” namun sekolah yang dibutuhkan sekedar sekolah dengan kurikulum IPA, IPS, Matematika yang baku. Mereka membutuhkan “sekolah lapangan”. Bagaimana jika pemerintah mengirim beberapa petani di Jawa  atau Bali (yang terbukti sukses dengan system pertanian) yang digaji sesuai dengan gaji para guru untuk mendidik anak-anak disana untuk menjadi petani sedari dini. Pelajarannya ya.. bagaimana membuat benih, mempersiapkan tanah untuk ditanam, mengenali musim dan pengaruhnya bagi tanaman, pengairan, mengenali gulma dan menjaga tanaman tidak terserang hama, macam-macam pupuk dari pupuk organic sampai pupuk kimia, memanen, penyimpanan hasil panen sampai strategi pemasarannya. demikian juga halnya untuk menjadi nelayan, pelajarannya mungkin tidak hanya mengandalkan sumber daya laut, tetapi juga pelajaran-pelajaran bagaimana mengembangkan perikanan darat. Nah yang ini saya tidak terlalu paham, sehingga saya tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang kira-kira bisa menjadi mata pelajarannya.
Ide diatas itu, tidak hanya untuk anak-anak Papua, tetapi juga untuk anak-anak diseluruh Indonesia. Harus diubah stigma pekerjaan elit dan tidak elit. Bahwa ketika menjadi PNS atau pengusaha itu elit, sementara nelayan, petani tidak elit. Hal yang harus ditanamkan dalam setiap sel kecil didalam otak mereka adalah dalam bidang apapun bagaimana kita membuat karya. Nah untuk kasus Papua, ada sedikit perbedaan karena tradisi mereka dahulunya adalah suku pemburu, sementara habitat untuk suku pemburu ini sudah rusak. Jadi memang harus diperkenalkan system pendidikan turun temurun ini. mulai dari memperkenalkan kepada mereka beragam profesi yang bisa mendukung mereka hidup. Seperti misalnya petani, nelayan, pandai besi, seniman, dan lain-lain. Lalu darimana para professional ini? dari seluruh Indonesia yang kemudian digaji sesuai dengan kemampuan mereka. Namun setelah mereka mentranfer keahlian mereka, mereka harus balik ke daerah masing-masing.
Saya membayangkan Indonesia kemudian mencetak generasi-generasi penuh dengan karya, sehingga kita tidak kelabakan ketika dibanjiri barang-barang luar negeri ketika perdagangan bebas  diberlakukan dengan penuh, karena kita sudah memiliki sumber daya manusia yang bisa mencipta. Bahwa kemudian dengan jumlah penduduk yang besar sebagai tenaga kerja, bukan tidak mungkin kita yang kemudian membanjiri negara-negara lain dengan produk kita. Sehingga cita-cita Pramoedya tentang arus balik itu menjadi nyata. Dan bukankah mata pencaharian merupakan salah satu unsur-unsur kebudayaan? Yang kemudian akan menjadi peradaban?.

2 Komentar:

Pada 19 Juni 2011 pukul 03.12 , Blogger indarwati aminuddin mengatakan...

Menyedihkan sekali kalau melihat kita sudah menyiapkan dunia yang'gelap' untuk generasi muda.

 
Pada 19 Juni 2011 pukul 03.59 , Blogger Veda Santiadji mengatakan...

Pendidikan seharusnya menyenangkan dan menyiapkan generasi mendatang utk siap mengembangkan potensi diri dan sumberdayanya. Pendidikan seharusnya menghasilkan perkembangan teknologi dan pengetahuan yang tidak menjauhkan generasi penerus kita dari akar budaya yang menjadi kekuatannya. Ayo, ajak guru2 dan para orang tua untuk bersama2 mencetak generasi yang pintar mengolah ilmu dan budayanya dan tidak sekedar hanya mengejar nilai dan sertifikat kelulusan..

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda