Selasa, 25 Desember 2012

Bapak, Dengarkanlah Aku Ingin Berjumpa



Suatu pagi yang menggairahkan di Kendari, seorang kenalan baru menyarankan saya untuk menulis tentang bapak saya. Teman baru ini adalah Andreas Harsono, seorang journalis yang senang untuk berbagi ilmu menulis kepada penulis pemula. Saya sedang mengikuti pelatihan menulis yang dia berikan untuk wartawan dan aktivis lingkungan di Kendari saat itu. Saat itu tahun 2006, sepulang dari kami melakukan perjalanan menjelajahi kota wakatobi. Saya sedang berbulan madu sambil menemani suami bekerja dan Mas Andreas bersama Norman, anak laki-lakinya ikut dalam rombongan wartawan yang meliput kegiatan di wakatobi. 

“Mengapa kamu tidak menulis tentang ayahmu? Saya yakin ada banyak kenangan yang mengendap dan pasti banyak cerita yang bisa disampaikan. Cobalah” saya coba meraba mengingat kata-katanya.

Enam tahun setelah itu, saya baru mewujudkan saran itu. Saya ingin menulis kenangan tentang bapak saya. I Wayan Suteja. Sebenarnya, ada judul lain didepan namanya, Drs – Dokterandus. Menandakan dia telah menyelesaikan pendidikan sarjana. Di Banjar saya, seorang teman dekat bapak yang kemudian beralih menjadi ‘musuh’ ideologi bapak, masih awet menyandang BA (bachelor) karena dia tidak lulus sarjana.

Bapak, adalah seorang bapak yang hangat. Saat dia menyediakan waktu untuk anaknya, dia benar-benar melakukannya. Tidak seperti ibu. Ibu sering selalu ada dirumah, terlihat menemani main tetapi sambil memasak, mencuci, menyapu. Saya dan Diah, selalu menunggu saat bermain ombak ke pantai. pantai dari rumah kami berjarak 5 kilometer, saat itu terasa jauh karena radius bermain kami tidak sampai 1 kilometer dari rumah. Saat kecil, diajak kepantai adalah kemewahan tiada terkira. Sungguh sangat mewah, ketika satu hari bapak mengajak kami mandi di pantai Kuta. Saya ingat, kala itu kami naik Vespa dari Sukawati. Diah tidak berminat mandi di Kuta, jadi dia memilih membeli bibit pohon cemara untuk dipelihara dirumah. Bapak membeli kaca mata hitam, saya ingat harganya Rp. 3000 dan saya membeli celana dalam untuk ganti. Saat itu, kami harus parkir jauh sebelum masuk ke pantai Kuta. Pantai Kuta dalam ingatan saya tidak seperti sekarang. Agak jauh jalan dari tempat kami parkir Vespa untuk menyentuh bibir pantai berpasir. Dari bibir pantai agak jauh juga untuk menyentuh air laut. Sama seperti di pantai Purnama di Sukawati, pantainya yang saya kenali saat kecil sangat luas dan rimbun pohon kelapa. Sekarang terancam abrasi. Saat itu masih ada beberapa karang dipinggir pantai Kuta. Dua orang anak seumuran saya, 7 tahunan, ikut berenang. Bedanya mereka sudah pakai baju renang.

Bapak adalah seorang Pelukis. Bapak lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa di Ubud. Gaya lukisan bapak adalah gaya Ubud yang menggambarkan kehidupan tradisional masyarakat Bali. Temanya pasar, dan kehidupan pedesaan. Terkadang juga bapak membuat lukisan burung-burung dengan gaya Pengosekan. Bapak memulai ritual melukisnya dengan sketsa pensil. Pensil diorat oret untuk membuat tema dan membuat ruang. Setelah itu, dipercantik dengan tinta cina. Saya sering membantu bapak untuk membuat adonan tinta cina. Batangan tinta digosok dengan air sampai pekat. Satu hari bapak gembira luar biasa karena bisa membeli pulpen ‘Rotring’, penemuan hebat kala itu untuk menebalkan garis tepi lukisan. Sesekali bapak membiarkan saya dan Diah untuk mencorat coret sketsanya. Atau ketika suatu kali, kami asal mencoret kanvas tanpa izin, bapak tidak marah. Hanya menggosok-gosok rambut kami. Kata ibu, bapak ‘menitip’kan lukisan-lukisan itu pada seorang temannya di Ubud. Entah laris atau tidak, yang ada setiap hari kami makan dengan menu yang sama, pindang dan sayur bayam yang dipetik ibu setiap sore dipinggir kali.
Selain melukis, bapak adalah menguasai seni yang lain. bapak aktif membuat pementasan drama tari di Bale Banjar. Didalam drama tari itu, dia juga berperan sebagai raja manis. Raja manis adalah peran protagonis yang selalu dianiaya oleh raja buduh- peran antagonis. Ketika pementasan, bapak sebagai raja manis mau dibunuh oleh raja buduh, ditengah orang sedang terhanyut dalam emosi sedih, Diah adik saya berteriak: jangan bunuh bapak saya, bapak.. bapak.. Pecahlah tawa orang-orang sedari awalnya sedih tersayat sembilu. kami masih sangat kecil waktu itu, mungkin sekitar lima tahunan, diah mungkin empat tahun. Kami hanya beda setahun. Ibu dengan menahan malu, langsung mengajak kami pulang. Bahaya, kalau masih bertahan, bisa-bisa Diah lari ke tengah panggung untuk ‘menyelamatkan’ bapak dari raja buduh.

Bapak juga pintar membuat patung. Dimasa mudanya dia membuat puluhan patung yang dipajang dibeberapa tempat di Sukawati. Ketika dimutasi ke Singaraja, saya mendengar cerita bahwa dia juga membuat patung disekolah tempatnya mengajar. Setelah bapak dipindah ke sebuah SMP di Blahbatuh, saya beberapa kali diajak bapak untuk membuat patung di sekolahnya. Seingat saya, patung itu menghiasi kolam, pusat pemandangan disana. Ketika bapak sakit dan hanya bisa terbaring dirumah, bapak tetap membuat patung. Seringkali saya disuruh naik sepeda membeli semen biasa dan semen putih di sebuah toko kelontong milik orang China di Sukawati. Saya sering sebal harus membeli perlengkapan itu sebelum bermain bersama teman-teman. Kenapa harus selalu saya, kenapa tidak Diah?. Ah adikmu kan masih kecil, begitu sahut ibu berulang-ulang. Seperti membuat lukisan, bapak membuat sketsa patung terlebih dahulu. Setelah itu, dia membuat rangka dengan besi. Rangka utama dibuat dari besi yang agak tebal yang diplintir dan dijalin dengan kawat besi. Pak Ngurah, teman setia bapak, sering membantu bapak membuat rangka patung ini, ketika tangan bapak mulai tidak kuat melekuk-lekuk besi. Patung diri bapak dari leher ke atas, sekarang menjadi satu-satunya patung peninggalan bapak dirumah. Patung itu awal, ditempa sinar matahari dan hujan. Hanya ‘hidung’nya yang kurang mancung, copot.

Sebelum bapak sakit, bapak sempat belajar menari Topeng. Tarian Topeng sering kita lihat ketika ada upacara di Pura. Tarian Topeng tidak hanya sekadar bisa menari, tetapi juga harus bisa bertutur. Tarian Topeng adalah tarian yang mengisahkan perjalanan seorang raja disebuah kerajaan yang penuh dengan nasehat-nasehat kehidupan. Bapak adalah sebuah aktor, ketika dia keluar kamar, dia tidak sekedar berjalan menyingkap korden didepan pintu kamar, gayanya menyingkap korden bergaris merah itu seperti Topeng Tua yang berjalan tertatih-tatih. Dia selalu berhasil membuat kami tertawa.

Bapak suka puisi. Bapak suka puisi Chairil Anwar yang membara meledak, dahsyat. Sepertinya saya juga melihat bapak dalam puisi Chairil Anwar, dia begitu muda, ingin merdeka, bebas dan bersemangat. Sama seperti idolanya, bapakpun mati muda. Bapak bangga ketika tahu saya mewakili sekolah untuk lomba baca puisi. Bapak juga bangga ketika saya dan Iien, diminta para pemuda untuk membaca puisi kalau ada kegiatan di Banjar. Meski santai, bapak galak dalam beberapa hal terutama masalah belajar. Suatu ketika saya pindah sekolah, adaptasi sekolah memang mudah untuk anak-anak. Ada beberapa hal yang harus saya sesuaikan dengan sekolah baru. Salah satunya adalah menulis aksara Bali. Perbedaan gaya menulis ini membuat tulisan saya tidak dikirim ke sebuah lomba. Sesampai dirumah, saya lapor bahwa saya tidak dikirim lomba dan langsung menuju radio mencar gelombang kesayangan saya, Satria Kamandanu. Ah.. betapa saya cinta dengan drama radio ini, mengantarkan imajinasi saya pada sejarah dan kehidupan orang ‘besar’. Bapak langsung mendekat dan mematikan radio.

“Sudah tahu tulisan tidak dikirim, bukannya belajar memperbaiki tulisan. Sekarang belajar!”. Perintah Bapak.

Bapak aktif di pramuka. Kata ibu, dulu sebelum bapak dimutasi ke Singaraja, bapak mengajar di SMP Negeri 1 Sukawati. Disekolah ini bersama Bapak Badrawan, guru bahasa inggris, bapak menjadi Pembina pramuka. Kegiatan pramuka di tahun ini sangat menggairahkan. Bapak menrancang beragam kegiatan. Meme Made Swasti, adiknya ibu adalah murid bapak di SMP. Dia murid pertama yang diajak jalan mencari tanda jejak sampai kemah di Kintamani. Saya masih punya fotonya. Untuk kegiatan pramuka, bapak tidak tanggung-tanggung sampai rela berkorban uang padahal keadaan kami begitu miskin. Ibu mengingat pernah suatu hari siswa bapak ke rumah, mereka disuruh mengambil beras dirumah untuk dimasak dalam kegiatan pramuka padahal itu adalah satu kilo beras terakhir yang kami punya.

Bapak adalah seorang Guru, guru sekolah menengah pertama. Setelah lulus dari IKIP di singaraja, bapak mengajar di SMP N 1 Sukawati. Beliau mengajar berbagai mata pelajaran dari matematika, bahasa inggris, biologi dan menggambar. Beliau di mutasi ke Gerogak-Singaraja ketika saya masih umur 3-4 tahun. Saya juga tidak ingat. Kata ibu, setiap bapak pulang dari singaraja, saya tidak mau digendong. Bapak sedih sampai menangis. Ketika beliau dimutasi lagi ke Blahbatuh, lebih dekat dari rumah kira-kira 14 kilometer lah zaman itu karena belum ada bypass- beberapa kali bapak mengajak saya menemani dia mengajar. Saat itu bapak mengajar bahasa inggris, saya ingat, cara dia mengajar siswanya menghafal pembendaharaan kata (vocabulary) adalah dengan menggambar. Bapak menggambar tempat tidur, kursi dan meja, indah sekali, persis aslinya. Siswanya senang, saya ingat mereka mengangguk-angguk dan terkadang tertawa terbahak-bahak. Tidak ada siswa yang mengantuk apalagi lain-lain. saya suka mengintip dari bawah meja dibarisan belakang. Bapak juga menjadi guru kursus bahasa inggris di sebuah lembaga kursus di denpasar. Kadang-kadang saya juga sering diajak bapak ikut ketempat kursus. Saya tidak suka kesana, susah untuk pipis. Klosetnya tinggi, belakangan ketika besar saya tahu itu namanya kloset duduk, berbeda dengan kloset dirumah, kloset jongkok. Tetap saja saya jongkok diatas kloset duduk. Setelah besar, dan bepergian saya jadi geli membaca petunjuk yang ditempel di tutup kloset duduk yang memberikan informasi jangan jongkok diatas kloset duduk. Peringatan itu selalu membawa saya kembali ke kotak memori ditempat kursus ini.

Bapak adalah seorang wartawan. Bapak suka begadang, bergelut dengan mesin ketik manualnya. Bunyi tak tik tak tik.. trek tek tek tek… menjadi irama ditengah suara jangkrik dan kodok dimalam hari. mesin ketiknya bermerek brother. Seingat saya, dia pernah punya mesin ketik berwarna hitam, saya lupa mereknya. Setelah itu dia ganti dengan mesin ketik dengan bodi berwarna putih, pitanya pun berwarna hitam dan merah. Harus ada tombol yang dipencet dibawah untuk mengetik tulisan berwarna merah. Bapak tidak marah kalau saya sesekali memainkan tombol mesin ketiknya. mungkin dibanjar saya, hanya bapak yang suka menulis. Kata ibu, bapak suka mengirim tulisannya ke bali post. Inilah uang saku tambahan buat bapak, karena gajinya telah habis dibabat rentenir kampong.

Bapak suka merokok, rokoknya tetap sama dari dulu. Rokok cap bentoel. Ibu sebal dengan kebiasaan merokok bapak, dan membuat kerjasama dengan saya untuk menyembunyikan rokoknya.ada hubungan apa antara seniman dengan rokok.  Saya sampai hapal lagunya I love you blue of Indonesia yang dinyanyikan oleh Broeri Pesolima. Broeri adalah penyanyi idola bapak. Bapak hapal semua lagu Bung Broeri, dia menyanyikan lagu Broeri dari mandi, melukis, mengawali menulis, sampai ketika menidurkan saya didalam gendongannya. Berhembus angin malam.. mencekam…

Balik lagi ke urusan tulis menulis. Kata ibu, bapak selalu punya bahan untuk ditulis. Terang saja, gumam saya, bukunya bapak segudang. Itu perumpamaannya, berhubung kami tidak punya gudang, istilah tepatnya mungkin bertumpuk-tumpuk berserakan dari Bale Dauh sampai dengan Bale Dangin. Ibu saya adalah seorang guru dengan gaji ya samalah dengan bapak saya. Gajinya jangan ditanya lagi, sudah numpang lewat ditangan karena membayar rentenir. Saat itu, lagi ngetrend setiap rumah tangga punya lemari panjangan, ibu juga tertarik. Jadi dia mencicil beberapa kali untuk punya lemari itu. Biasanya rumah orang lain lemari pajangan dihiasi dengan piring keramik dan cangkir keramik. Karena ibu tidak punya piring keramik jadinya lemari pajangan untuk memajang koleksi bukunya bapak.

Di desa saya, kerap terjadi perkelahian antar banjar. Meski sebenarnya pelaku tawuran hanya banjar-banjar itu saja. Banjar Palak, Banjar Babakan dan Banjar Kebalian. Kalau tidak banjar palak vs banjar babakan, Palak vs kebalian atau kebalian vs babakan. Setiap tawuran, warga banjar masing-masing sudah siap dengan senjata tajam dan batu-batu. Sebagai anggota banjar, tentu bapak juga ikut keluar, hanya tidak membawa batu, dia membawa pulpen dan kertas.

Saya ingat, bapak juga merintis majalah pariwisata judulnya cakrawala pramuwisata. Majalah itu lahir tahun 1980an, sewaktu bapak belum tumbang oleh kanker. Bapak menjadi kepala redaksi dan berkantor di renon- sekarang kantor dinas pariwisata dan samsat terpadu Badung. Dikantor itu, ada bale kulkul kecil di pojok kanan. Kalau saya diajak ikut, saya main-main disana naik turun tangga, menunggu bapak sampai bosan. Dia sangat sibuk dan lama kalau sudah bertemu dengan mesin ketik. Saya suka melihat renon dari atas bale kulkul, masih pemandangan sawah.

Ketika menjadi kepala redaksi Majalah, bapak punya seorang sekretaris, namanya Mbak Tutik. Mbak Tutik ini baik dengan saya. Kalau saya diajak bapak main ke kantornya, saya suka dibuatkan minum dan diberi permen. Tetapi ternyata mbak tutik menjadi pemicu marah-marah ibu dirumah, ternyata ibu cemburu dengan mbak Tutik. Ah emak-emak, padahal menurut saya bapak biasa-biasa saja dengan mbak tutik, tidak ada yang special. Dan aah ternyata dari kecil saya sudah punya bibit sok tahu..

Untuk mengisi tulisan di majalah ini, selain bapak yang paling banyak menulis, ada juga Pak Latra, yang rajin ke rumah menjemput bapak untuk peliputan. Pak Latra juga seorang pemandu wisata. Suatu saat ketika beliau kerumah, kami (saya, bapak dan diah) tidur-tiduran nonton televise di ruangan tamu, saya main-main dengan pintu, tok tok tok.. ternyata ada yang ketak ketok dibalik pintu. Saya pikir bapak balik becanda dengan saya.. lama saya ketuk lagi pintunya, eh tahunya ada ketukan lagi dari luar. Lama-lama kami baru sadar kalau ada tamu. Kami selalu ketawa kalau mengingatnya.

Bapak juga seorang fotografer. Bapak suka memotret. Kameranya Pentax. Bapak punya banyak koleksi foto, hanya beberapa yang selamat sampai sekarang. Sisanya pasti kami sudah corat coret jadinya tercecer. Bapak memotret kehidupan desa, model lukisan, buah-buahan, lokasi tanah, orang penting, peristiwa dan banyak hal. Saya suka hasil fotonya. Fotonya seperti bercerita. Kalau bapak masih hidup sekarang, kami pasti kompak bercerita karena saya juga suka memotret.  Kamera Pentax punya bapak telah berpindah dari tangan ke tangan. Semua barang milik bapak adalah milik semua orang, bapak tidak pernah hitung-hitungan ketika orang meminjam buku, kamera, dan barang-barang lainnya. Andaipun bapak punya uang berlebih, pasti itu juga akan dipinjamkan untuk orang lain. Tanpa bunga.

“Sayang kamu tidak banyak punya kenangan bersama bapakmu. Anak-anak zamannya Pak Tut yang paling dekat dengan Pak Suteja”. Kenang Pak Tut Engku (45 tahun).

Pak Tut Engku, adalah anak seorang mantri (perawat desa) yang terkenal di Sukawati dan sekitarnya namanya Pak Mura. Pak Mura adalah termasuk deretan orang kaya di Desa Sukawati, dulunya.

“Pak Tut sering heran, kenapa orang-orang suka ngumpul di rumah ini (rumah bapak). Padahal tempat juga ga ada, makanan juga ga ada.” kenang Pak Tut tersenyum simpul.

Iya, dulu sewaktu bapak belum sakit, dan sakit hati. Anak-anak di banjar saya dan dari banjar sebelah sering berkumpul dirumah. Bapak memang suka ‘mengumpulkan’ orang dirumah. Satu kali bapak pulang membawa, Karambol- ah bagaimana menulisnya- ini adalah papan koin sodok. Bisa dimainkan oleh 2-4 orang, dengan cara menyentil sampai koin-koin ludes masuk kedalam lubang. Ketika datang, mainan ini diserbu banyak orang besar-besar, sampai kami anak-anaknya bapak bisa main kalau sudah malam. Kali lain, bapak pulang membawa scrable, permainan kotak katik huruf menjadi kata atau kalimat. Tidak terhitung lagi permainan lainnya, seperti kartu, harmonica, pianika dan lainnya.

Ternyata setelah besar, saya baru tahu ini adalah strategi bapak menjadi community organizer, pengorganisasian masyarakat. Saya baru tahu ketika saya memasuki pergaulan pengorganisasian masyarakat. Sekarang profesi community organizer adalah profesi yang membanggakan, seorang CO membantu masyarakat dampingannya untuk berdaya mengatur sumber daya yang mereka miliki untuk kesejahteraan mereka. Dari bapak, saya belajar bahwa community organizer bukan sebuah profesi tetapi panggilan jiwa. Memang lebih mudah menjadi mengorganisir masyarakat ditempat lain daripada di tempat kelahiran kita sendiri, tetapi bapak sekali lagi menunjukkan integritasnya, dia mengorganisir masyarakat di desanya. Ini yang menjadi semangatnya sekaligus menjadi akar penyakit yang menggerogotinya. Dia sakit hati.. melebihi sakit Kanker yang dideritanya.

Saya masih kecil untuk menyadari perjuangan bapak untuk masyarakatnya. Apa kondisi ideal yang diinginkannya. Setahu saya banyak orang yang tidak suka. Saya ingat suatu saat dia dikasih baju Golkar berwarna merah. Dari ibu saya tahu, dia marah dan terhina. Diambilnya kuas dan cat, baju kaos berwarna merah itu digambar wajah seorang lelaki, mirip wajah bapak. Sebagai anak kecil, seringkali saya haru hati-hati masuk ke rumah orang, takutnya bapak habis ‘berdebat’ panas dengan si empunya rumah.  
Bercerita tentang bapak, sepertinya belum mau saya habiskan sampai disini. Ada banyak cerita yang ingin saya tuliskan mengenang bapak. Ini nanti mau saya sambung lagi menjadi Bab II, judul ke II atau apapun versi saudara.

Hari ini, tanggal 25 Desember 2012, tepat 20 tahun bapak meninggal. 20 tahun saya benar-benar kehilangan sosok seorang bapak, seorang panutan, seorang pahlawan dimata saya. Saya benar-benar rindu padanya. Saya ingin bicara dengannya, berkeluh kesah, menyandarkan kepala dipundaknya, didadanya yang berbulu. Berdiskusi dengannya yang selalu punya celah solusi. Malam ini, saya ingin mengunduh lagu, Ayah- Rinto Harahap, untuk menemani saya menghabiskan malam bernostalgia denganmu Bapak, Semoga Bapak tersenyum malam ini melihatku..

Dimana… akan ku cari..
Aku menangis, seorang diri.
Hatiku, slalu ingin bertemu..
Untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta, aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda