Senin, 31 Januari 2011

G A J I


Pagi ini, ada sebuah foto menarik di Kompas hari ini. Seorang tukang parkir membentangkan spanduk yang bertuliskan: “presiden aja mengeluh gajinya tidak naik, apalagi kami”. Spanduk bernada sentilan dan pengharapan yang besar untuk naik gaji. Saya mengira pasti gaji tukang parkir ini tidak cukup, untuk rakyat kecil yang terbiasa makan hanya dengan sambal dan krupuk. Nah disitulah letak tidak cukupnya, karena harga cabai sekarang sangat fantastis mahal. Tapi siapa yang merasa cukup dengan gaji mereka dinegeri ini?
Kalau saya melihat system penggajian di Negara ini amburadul. Setiap kali melihat lowongan iklan diKompas, saya selalu mengurut-ngurut dada dengan angka fantastis yang di tawarkan. Direktur program untuk sebuah lembaga swadaya masyarakat di gaji 30 juta sebulan.  Kalau direktur eksekutif? Itu baru tingkat LSM atau lembaga donor.

Kalau pressure group saja gajinya tiga kali lipat dari pejabat eselon tingkat satu, tentu saja ini memberikan jurang kecemburuan sosial. Apalagi posisi mereka harus sejajar didalam proses pembuatan keputusan. Bagaimana berposisi tawar jika posisi gaji tidak seimbang? Makanya ini mungkin yang menjadi acuan Ibu Sri Mulyani yang sudah malang melintang di dunia per-lembaga donor-an. Beliau menaikkan gaji pegawai department keuangan sehingga untuk pegawai biasa bisa mendapatkan gaji diatas 10 jutaan. Gayus yang hanya PNS golongan IIIA mendapat gaji 12 juta/bulan termasuk tunjangan. Sementara Ibu saya yang seorang PNS guru SD golongan IVA mendapat gaji sekitar 2.8 juta per bulan. Dimana letak keadilannya?. Apakah lebih capek seorang pegawai pemeriksa dokumen pajak, daripada guru yang bercuap-cuap dikelas berusaha keras membuat anak-anak mengerti mata pelajaran di kelas?.  Inilah yang menyebabkan korupsi begitu mengakar di birokrasi. Semua orang mencoba mencari income tambahan dari pelayanan birokrasi yang seharusnya memang menjadi deskripsi pekerjaannya. Misalnya: bagaimana oknum polisi menjadi calo untuk pembuatan SIM? (padahal seharusnya itu memang tugasnya), oknum pegawai imigrasi mencari penghasilan tambahan menjadi calo pembuatan passport, terlalu banyak calo dinegeri ini. sehingga ongkos produksi menjadi membengkak. Mungkin ini yang menyebabkan investor enggan berinvestasi di Indonesia.

Para eksekutif dari swasta juga sering mengeluhkan tingkat gaji PNS dan buruknya kinerja mereka. Padahal ini juga pengaruh dari kebijakan system penggajian swasta. Swasta yang banyak juga menyerap tenaga asing menggaji tenaga local lebih besar sehingga tidak terjadi kecemburuan dengan tenaga asing tersebut. Di tahun 1990-an terjadi kesenjangan sosial antara orang yang bekerja di sector swasta dengan PNS, seperti misalnya perbandingan gaji guru dengan pegawai bank atau pegawai hotel di Bali. ketika gaji guru masih 800 ribu, gaji pegawai bank swasta sudah 1.5 juta, pegawai BUMN sudah 2 juta, pegawai hotel lebih banyak lagi. digabungkan semua antara gaji pokok, service dan tipping mungkin mereka mendapat sekitar 2.5 juta per bulan. Makanya dikala itu sekolah tinggi pariwisata lebih digemari daripada sekolah keguruan di Bali.

Momentum reformasi digunakan oleh PNS untuk merestrukturisasi gaji. Apalagi waktu itu banyak bantuan baik berupa hibah atau pinjaman diberikan untuk mengawal awal baru babak demokrasi di Indonesia. PNS bermain angka memperbaiki gaji sehingga menyamai swasta. APBN mengalami tekanan, namun mendapat suntikan segar melalui hutang luar negeri. Hutang luar negeri untuk gaji pegawai, betapa mirisnya, karena ini bertujuan konsumtif jangka pendek. Seharusnya hutang ini adalah untuk memperbaiki infrastruktur, khususnya diluar pulau jawa dan memperbaiki system transportasi laut sehingga pembangunan merata sampai pulau-pulau terluar. Baru ketika beberapa pulau kita dicaplok Malaysia, masyarakat baru melek betapa ringkihnya system pertahanan kita.

Mengapa pegawai harus mendapatkan uang lebih untuk tugas yang seharusnya dia jalankan (bukankah dia sudah dibayar untuk itu). itu karena budaya konsumsi, agar bisa jalan-jalan ke luar negeri, punya rumah, pakaian, mobil yang harus mewah. Barang-barang bukan lagi dilihat sebagai fungsi tetapi indicator kelas. Segalanya harus berkelas. Menyekolahkan anak di sekolah internasional, bahkan sakitpun harus ke Singapura. Negara tetangga mengambil keuntungan dari makin banyaknya kelas menengah yang doyan berwisata belanja dan kesehatan ke Singapura dan Malaysia.

Saya rasa korupsi tidak akan bisa diberantas jika system penggajian tidak direstrukturisasi lagi. saya pikir, kurangi gaji pegawai negeri, tetapi perbaiki kualitas kesehatan, permudah permodalan untuk wirausahawan menengah kecil sehingga tercipta lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Kita jangan malu belajar dari China. Wahai pemerintah, bersahabatlah dengan China dan serap strateginya.

Kembalikan Baliku


De  ngaden awak bisa / Depang anake ngadanin / Geginane buka nyampat / Anak sai tumbuh luu / Ilang luu buke katah / Wiadin ririh enu liu peplajahin

Don’t think yourself clever / let others say / our life is like sweeping / everyday there is always trash / missing trash, there’s a lot of dust / even smart still much to be learned.

Entah kenapa setiap mendengar lagu ini rasa kebanggaan saya menjadi orang bali sangat membuncah. Betapa lugunya yang membuat lagu itu. sangat mulus untuk mengantarkan romantisme lama kita mengenang bali di tahun sebelumnya. Ingatan saya adalah dari tahun pertengahan tahun 1980-an sebagai seorang anak-anak. Mungkin ini tidak nyambung dengan curhatan saya kali ini. tapi biarlah, kalau seandainya ini adalah film, biarlah lagu ini yang menjadi sound tracknya.

Lagu berbahasa Bali ini adalah salah satu lagu yang paling saya suka. Lagu ini mengandung syair dengan makna mendalam.  Orang bali adalah orang pekerja. Lebih banyak bekerja dari pada banyak berbicara. Orang bali berbicara melalui karya sebagaimana karya persembahan mereka kepada tuhan.

Memahami lagu ini membawa kita berimajinasi kepada kehidupan orang bali di pedesaan seperti lukisan-lukisan walter spies. Seorang pelukis keturunan Jerman yang menjadi pionir modernisasi seni di jawa dan Bali. Dalam lukisan itu terlihat sawah-sawah bali yang berpetak-petak atau jalan setapak menuju sebuah rumah bali dipagi hari lengkap dengan kabut dari asap yang keluar dari dapur. Imajinasi yang sungguh damai, sunyi dan alami. Bali yang hanya dimiliki oleh orang bali, sehingga tidak perlu banyak bicara hanya kerja kerja dan kerja.

Namun sekarang, Bali sudah berubah. Kehidupan barat dengan bali sudah bercampur seiring banyaknya perkawinan campur orang bali dengan orang asing. Belakangan juga banyak perkawinan campur orang luar bali dengan orang asing tetapi menetap di Bali. Hamparan sawah menjadi perumahan dan pertokoan. Bisnis hiburan hingga jasa merajai Bali. Pekerja bali bersaing dengan pekerja dari luar bali berebut dolar. Imajinasi tentang bali, tidak lagi homogen tetapi heterogen. Siapa sekarang yang memiliki bali?

Banyak hotel yang berdiri di Bali, namun punya siapa? Bagaimana keamanan kerja orang bali yang ada didalamnya. Beberapa hari lalu, adik saya mengeluhkan temannya yang dipecat dengan tiba-tiba karena membocorkan ketidak beresan management di villa tempat dia bekerja. Si bos orang asing yang menikah dengan istrinya orang jawa timur, mengatakan didepan staf setelah insiden pemecatan sore itu. you take it or leave it.

Belum lagi urusan tanah. Sekarang banyak dari kita menjual tanah kepada orang luar dengan berbagai alasan. Namun sebagian besar untuk alasan konsumtif. Tanah di Bali sekarang diincar investor dari Jakarta, mulai dari para pejabat, para jenderal, pengusaha selain itu juga oleh orang asing. Nilai tanah yang milyaran itu terasa uang yang kecil bagi mereka karena mereka akan dengan mudah menjual lagi dengan nilai yang lebih tinggi lagi kepada investor lain. Banyak kemudian tanah bali dibeli oleh orang singapura, dan jangan-jangan oleh Malaysia.

Begitu hiruk pikuknya kompetisi diluar, sementara kita orang bali sibuk sebagai penjaga tradisi komunal. Sumber daya semakin terbatas. Sangat rentan terjadi konflik diantara sesama kita sendiri. Hei pulau ini, bukan pulau kita yang dulu. Tidak bisa kita membentengi diri kita dengan tembok menyaingi tembok besar china.

Yang kita perlukan adalah bekerja bersama-sama sebagai saudara dan menggarap sumber daya alam kita untuk kepentingan bersama.

Langkah awal memulainya mungkin dengan jangan menjual tanah lagi kepada orang luar. Kalau tanah sudah tidak ada, apalah identitas kita sebagai orang bali.

Minggu, 30 Januari 2011

Keuntungan Berhubungan Jarak Jauh


Siapa bilang berhubungan jarak jauh tidak menyenangkan? Ternyata banyak juga keuntungan yang bisa didapat, saat kita dan kekasih berhubungan jarak jauh.

Berikut beberapa keuntungannya, seperti dituliskan oleh Sheknows.
1. Antisipasi. Berhubungan jarak jauh memberikan kita kesempatan untuk berantisipasi. Saat kekasih tak ada di sisi, kita bisa lebih mudah melakukan penilaian terhadapnya: apa memang ia pasangan yang tepat untuk kita, atau justru sebaliknya. Anda pun lebih bisa menilai pasangan secara objektif.
2. Jarang bertengkar. Berhubungan jarak jauh otomatis akan mengurangi pertengkaran Anda. Rasa rindu yang melanda seringkali mengalahkan kekesalan Anda pada kekasih. Anda pun belajar untuk lebih toleransi dan pengertian.
3. Menghilangkan kebosanan. Seringkali, saat hubungan cinta telah berlangsung lama, rasa bosan mulai melanda. Namun hal tersebut tak berlaku saat Anda berhubungan jarak jauh. Keinginan untuk terus bertemu dan bertatap muka dengan pasangan akan mengalahkan rasa bosan Anda.
4. Lebih romantis. Saat Anda menjalankan hubungan jarak jauh, waktu bertemu pasangan terasa sangat berharga. Dan saat Anda berdua bertemu, sisi romantis akan mendominasi. Anda dan pasangan seolah tak ingin membuang waktu untuk menunjukkan rasa cinta yang ada. Hubungan pun terasa lebih menyenangkan.

Jadi, jangan ragu untuk menjalankan hubungan jarak jauh!


Tulisan ini saya lihat jam 5.30 pagi. Ketika mata saya sudah tidak bisa dirayu-rayu lagi untuk bisa tertidur. Saya membayangkan pewarta yang membuat tulisan ini adalah orang-orang tua yang sudah lama hidup seatap didalam perkawinan mereka, dan membutuhkan jeda untuk terbebas dari rutinitas dengan pasangan. Namun ketika balik lagi ke jendela laman ini, saya melihat penulisnya adalah wanita muda (setidaknya yang terlihat difoto) bernama Amelia Ayu Kinanti. Wow mengagetkan.

Ini pengalaman saya sebagai pelaku dari hubungan jarak jauh. Sejak pacaran, saya dan suami sudah menjalankan hubungan jarak jauh. Ketika itu saya bekerja di Bali dan suami bekerja di daerah terpencil di sebuah pulau di Sulawesi Tenggara. Kami bertemu mungkin dua bulan sekali, atau tiga bulan. Tiga tahun kemudian kami menikah. Itu setelah mengalami kondisi pasang surut dengan 18 kali permintaan putus dari saya dan 2 kali permintaan putus dari pacar saya (yang sekarang jadi suami saya). Anehnya, kenapa akhirnya kami menikah juga?. Sampai sekarang saya juga tidak tahu pasti jawabannya. Mungkin ini yang namanya jodoh, karena beberapa hal tidak dapat dikalkulasi secara logika. Untungnya, setelah menikah dan punya anak, tidak ada permintaan aneh-aneh seperti cerai hehe..

Hubungan jarak jauh memang terlihat menyenangkan bagi pasangan yang sudah jenuh bertemu muka setiap hari dengan pasangan. Pergolakan emosi yang dinamis, mungkin terasa memberi tekanan yang luar biasa. Terjadi sebuah titik jemu. Hal yang sama juga bisa terjadi pada pasangan yang telah lama menjalankan hubungan jarak jauh. Terlalu sering berjauhan membuat saya berkutat pada pertanyaan: apa yang saya lakukan? Bersuamikan HP?. Ada banyak emosi yang tidak membumi. Karena kami tidak menemukan emosi yang beririsan. Bisa saja ketika saya, sedang terpuruk ditengah ketidak berdayaan karena tidak bekerja, capek mengasuh anak, pasangan saya sedang merayakan acara yang sukses dia rayakan. saya harus meningkatkan frekuensi dan dia harus menurunkan frekuensi mood sehingga kami ‘tetap’ bisa nyambung berbicara ditelpon. Kalau tidak saya akan marah dan dia kesal, dan itu sangat melelahkan. Ada
Ketika pasangan masih hanya melibatkan dua individu, saya rasa tidak ada masalah. Sama seperti saya dengan pasangan pada masa pacaran, ketika kami sama-sama bekerja dan menjalankan kehidupan sendiri-sendiri. Tetapi ketika saya sudah menikah, ada sedikit tekanan dalam hubungan ini (sama halnya seperti fluktuasi hubungan pasangan yang berdekatan).

Anda bisa membayangkan, bagaimana rasanya hamil disaat suami sedang berlayar dilaut dengan ombak tinggi? Masa-masa sulit mengasuh anak, mengganti popok, anak sakit sampai masuk rumah sakit sementara satu anak tertinggal dirumah bersama ibu, sampai masa-masa menyenangkan yang tidak bisa kami lewatkan bersama seperti tingkah polah lucu anak-anak kami. Pertama kali bisa jalan, kata pertama yang diucapkan. Sampai anak saya mengikuti gaya sholat di televisi untuk kami orang tua yang beragama Hindu. Semuanya begitu lucu.

Saya selalu cepat tersentuh ketika menonton film-film Hollywood yang menampilkan tokoh kulit hitam yang sangat cinta keluarga. Kemana-mana membawa foto anaknya, selalu pulang lebih cepat dari kerja untuk berkumpul dengan keluarga, makan dan berdoa. Melakukan aktivitas bersama. Saya masih ingat sebuah film seorang ayah rela merampok bank untuk operasi jantung anaknya. Saya juga selalu terenyuh mendengar lagu: ‘I would be the man growing old with you’. Serasa menemukan teman untuk menghabiskan waktu  menunggu ajal menjemput.

Alasan kami masih menjalankan hubungan jarak jauh begini karena alasan financial (setidaknya itu dari saya). Kalau saya mempunyai uang 3 milyar saja (tidak perlu banyak seperti Gayus), mungkin saya akan meminta suami untuk bekerja lebih dekat dengan rumah. Sehingga anak-anak kami lebih banyak waktu melihat bapaknya dirumah.

Ketika membaca lagi artikel diatas, saya bercermin pada diri saya. Pandangan saya konservatif. Dikala beberapa pasangan justru memilih kebebasan, saya lebih menyukai kebebasan didalam keteraturan. Seperti alam yang selalu bebas tetapi teratur. seperti kicau burung di luar kamar saya pagi ini. ah ini sudah jam 6.15 saatnya saya ke dapur untuk memasak. Dan hujan gerimis diluar.


Jumat, 28 Januari 2011

Wikan Translation & Interpreter Service


Terima kasih telah mengunjungi blog kami. Kami dengan senang hati akan membantu anda untuk menerjemahkan dokumen anda. Keahlian kami terbaik adalah untuk menerjemahkan dokumen dibidang politik, sosial dan budaya. Kami akan membantu anda untuk menerjemahkan dokumen dari English ke Indonesia dan Indonesia ke English.

Prosedur layanan terjemahan

1.       Silahkan mengirimkan dokumen anda ke email: parama_dewi@hotmail.com kedalam format apapun
2.       Setelah kami menerima, kami akan membaca, memperkirakan waktu pengerjaan dan mengajukan penawaran harga kepada anda
3.       kami akan segera mengerjakan dokumen anda begitu kami menerima konfirmasi setuju dari anda. Setelah konfirmasi ini, anda diminta untuk membayar uang tanda jadi sebesar 10 persen dari biaya perkiraan. Nomor rekening bank akan dikirim langsung ke rekening anda.
4.       setelah selesai, kami akan mengirimkan hasil terjemahan dan anda membayar sisa dari biaya yang dikenakan

Kami juga menerima jasa menjadi interpreter untuk wartawan atau peneliti asing yang bekerja di wilayah Bali. Untuk menyediaan jasa dan penawaran silahkan langsung menghubungi kami di parama_dewi@hotmail.com

Terima kasih

In English

Thank you for visiting our blog. We will be happy to assist you to translate your documents. Our expertise is best to translate the document in the field of political, social and cultural. We will translate your document from Bahasa Indonesia to English dan English to Bahasa Indonesia.

Procedure of translation service:
1.       Please send your documents to this email: parama_dewi@hotmail.com into any format.
2.       Once we receive, we will read, estimate translating time and propose the quotation
3.       As soon as we receive confirmation of your agreement, we will immediately work on your documents. After the confirmation, you are required to pay the down payment of 10 percent from total cost estimated. Detail bank account to be transferred will be sent directly to your email
4.       After completion, we will send you the translation and you will pay the rest of total cost.

We also provide interpreter service for foreign journalists or researchers working in the area of Bali. For this service, please  email to parama_dewi@hotmail.com

Thank you

Dilema seorang ibu rumah tangga


Sewaktu masih bekerja dulu, saya selalu miris melihat perempuan-perempuan yang mendedikasikan hidup mereka menjadi ibu rumah tangga. Bekerja dirumah mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, melakukan ritual sembahyang dan lainnya. Pekerjaan yang berat tetapi tidak mendapatkan upah untuk diri sendiri. Ketika itu saya yakin, sebagaian besar perempuan-perempuan itu mungkin menerima sebagian (atau seluruh) gaji suaminya, tetapi kemudian digunakan untuk keperluan rumah tangga, anak dan suami. Dengan semua imajinasi negative saya terhadap kehidupan rumah tangga, si suami akan bilang: “wah cepat sekali habisnya, digunakan untuk apa saja uangnya”. Lebih jauh lagi berimajinasi: “susah-susah aku cari uang, kamu pikir gampang cari kerja. Kamu enak-enakan saja dirumah, gentian sana kamu yang kerja”.  Saya takut perempuan-perempuan ini tidak berdaya, mereka harus bekerja, menghasilkan uang sendiri.
Ketika itu, saya memasuki usia dua puluh tahunan, dan bekerja untuk pertama kalinya. Pertama kali mendapat kebebasan membelanjakan uang semaunya setelah bertahun-tahun hidup dengan uang saku yang sangat teramat terbatas, jika tidak bisa dibilang kurang. Keluhan menjadi orang yang kekurangan adalah soal perut. Selalu tergoda untuk membeli makanan. Musuh pertama dalam diri manusia yang paling susah ditaklukan  ternyata adalah godaan perut (referensi saya sendiri). Mungkin itu sebabnya, agama mengajarkan kita untuk berpuasa. Dengan gaji tersebut, saya memuaskan diri dengan makan. Selanjutnya saya menemukan kepuasan dalam membaca. Novel tentu saja.
Bekerja juga membuat saya mengenal kehidupan dari berbagai sisi. Ada kehidupan luar biasa dinamis dengan berbagai karakter orang menambah keragaman referensi saya mengenai ragam manusia menjalankan hidup mereka. Bertemu dengan teman-teman dimasa sekolah dan kuliah yang juga sudah bekerja.  Ada yang menjadi wartawan, bekerja di travel agent, pekerja di organisasi lingkungan dan lainnya. Ada kalanya, kami janji bertemu hanya sekedar makan siang. Waktu itu saya juga ikut kegiatan meditasi, kadang-kadang mengikuti klub lari yang digagas para ekpatriat di Bali. Diantara itu, travelling adalah hal yang paling saya suka, apalagi waktu pertengahan umur 20-an itu, saya bertemu seorang laki-laki istimewa sebagai teman jalan. Jadi kami menjelajahi pulau Bali dari barat ke timur, selatan ke utara. Itu adalah masa-masa yang sangat menyenangkan.
Saya bahagia, begitu juga ibu saya setelah perjuangan panjangnya menghidupi dua orang anak sepeninggalan bapak saya menghadap Tuhan di tahun 1992. Dia sudah menjanda ketika usia 32 tahun.  Dengan imajinasi liar saya, saya mencoba melihat hati ibu saya, yang mungkin mengharapkan sebuah percakapan: “lihat pak, anak kita sudah besar, dia sudah bekerja”.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya sayapun menikah dengan teman jalan saya itu. ketika itu saya masih bekerja serabutan tapi paruh waktu. Belum ada pekerja tetap atau nama perusahaan yang menempel pada status saya. Waktu itu saya sudah berusia 27 tahun, dan saya masih suka main-main. Kemudian saya mendapat pekerjaan yang tetap dengan jam kerja yang teratur, pergi pagi pulang sore. Dalam keteraturan itu, Tuhan memberikan anugerah yang kami tunggu-tunggu, saya hamil. Tetapi bekerja dengan berkendara sepeda motor dengan jarak 60 km pulang pergi, mungkin salah satu faktor saya  mengalami keguguran. Saya sedih. Saya tahu suami saya terpukul juga, tetapi jarak kami begitu jauh, sehingga saya tidak tahu apakah dia menangis, memukul-mukul dinding, murungkah?.  Saya dikuretase. Supaya rahimnya bersih, kata dokter. Saya menangis dua kali. Menangisi harapan saya yang kandas untuk punya anak, dan rasa sakit luar biasa akibat sebuah logam mengobok-obok rahim saya. Saya sedih, suami sedih dan ibu saya sedih. Tidak ada percakapan, kami tenggelam dengan rasa bersalah kami sendiri.
Tiga atau empat bulan setelah itu saya hamil lagi. jarak bekerja masih 60km pergi pulang. Masa awal kehamilan begitu menyiksa, mual, muntah dan pusing disamping hamil mungkin juga lelah menatap layar computer selama 8 jam. Saran suami dan persetujuan saya, akhirnya saya berhenti bekerja diusia kehamilan 7 atau 8 bulan.  Suami saya bilang saya akan menghidupimu dan bayi kami kelak. Hati saya terasa teduh seperti tanah pertama kali tersirami hujan setelah musim panas yang panjang. Tentram.
Namun, masa-masa menunggu kelahiran menjadi begitu panjang, karena saya tidak bekerja. Kembali saya menekuni pekerjaan rumah tangga, memasak, membersihkan rumah, dan lainnya. saya menghitung hari. Rasa bosan timbul tenggelam. Saya alihkan perhatian dengan sibuk berlatih keras supaya melahirkan normal. Jalan-jalan, mengepel, jongkok bangun dan senam hamil. Sampai kemudian bayi kami lahir melalui persalinan normal. Bayi yang sangat lucu, cakep, dan putih. Saya bahagia, suami bahagia, dan ibu bahagia.
Setelah itu hidup saya berkutat dengan urusan seputar anak. Apalagi setelah 2 tahun kemudian anak kedua saya lahir. Kedua anak ini bagaikan malaikat kecil yang mengikat kaki dan tangan saya. Mereka curang mencuri semua perhatian saya. Pernah ketika saya mencoba bekerja dari rumah, ketika anak saya berusia satu tahun, namun pekerjaan itu juga menuntut saya harus meninggalkan anak selama 10 hari di hotel untuk mengurus workshop. Seminggu setelah workshop berakhir anak saya diare sehingga harus dirawat inap. Kondisi ideal untuk bekerja dari rumah sangat sulit saya lakukan karena ada saja kelakuan mereka yang meminta perhatian saya. Saya menjadi lekas marah, anak-anak menjadi menangis. Kejadian ini seperti lingkaran setan.
Mendedikasikan diri menjadi ibu rumah tangga selama tiga tahun ini membuat saya merasa terpuruk. Tidak bekerja dan menghasilkan uang membuat saya menjadi tidak percaya diri. Saya menarik diri dari pergaulan. Ketika sedang tertekan dan membutuhkan teman untuk mendengarkan, saya terperangah melihat tidak satupun nama di phone book yang berani saya hubungi. Saya sudah lama menghilang.  Tenggelam. Tetapi dengan kondisi saya tidak bekerja, suami saya bahagia karena saya bisa fokus mengurus anak. Ibu saya juga bahagia karena dia bisa menjalankan pekerjaannya seperti biasa. Tetapi apakah saya ‘benar-benar’ bahagia?
Sekarang saya seperti perempuan-perempuan yang saya lihat ketika usia saya diawal 20-an. Mendedikasikan dirinya untuk menjadi ibu rumah tangga. Ini bukan lagi imajinasi bahwa pekerjaan rumah tangga itu sangat melelahkan. Bukan karena pekerjaan fisik, tetapi juga perhelatan batin baik di dalam diri maupun didalam keluarga. Memposisikan diri tidak hanya sebagai ibu yang melindungi anak, istri yang menjadi mitra suami memelihara rumah tangga, tetapi juga seorang anak yang ‘seharusnya’ menjaga mimpi dari seorang ibu- yang telah bekerja keras seorang diri membesarkan anak - ingin melihat anaknya ‘menjadi orang’.