Jumat, 24 Juni 2011

Krisis percaya diri menjadi ibu rumah tangga

C’est la vie. Inilah hidup, kata orang Perancis. Pagi ini saya dapat pencerahan memaknai arti hidup. Disaat kita memandang dunia, ternyata dunia juga memandang kita. Kita bukanlah manusia gua yang mengintip dari balik celah gua tentang kehidupan manusia di luar gua. Kita adalah manusia yang membawa cermin kemana-mana. Kita kita memandang orang, dari cermin yang dibawa memantulkan diri kita.
Kenapa saya bilang begitu? Pagi ini, Bli Danglir (45), salah seorang tukang bangunan yang bekerja dirumah saya ternyata mengamati kerja saya. Saya sedang hilir mudik mengambil air di keran depan dekat angkul-angkul (pintu gerbang rumah). Saat itu saya sedang memasak sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Kadang-kadang mereka suka rebutan mainan terus berakhir dengan aksi pukul memukul. Anak saya yang pertama, Ryan (4) dan Nara (menjelang 2 tahun), mungkin masih terlalu dini bagi mereka memahami konsep berbagi (ah kadang-kadang orang yang sudah bau kubur saja egonya masih tinggi!).
“Setinggi-tingginya perempuan bersekolah akhirnya jadi dokterandus ya” kata bli Danglir.
Aku memahami kata dokterandus, kalau di Bali itu dipelesetkan menjadi dokter andus (asap). Karena perempuan setiap hari berkubang dengan asap di dapur. Tidak peduli, mau dia pakai tungku kayu bakar, kompor minyak tanah, kompor gas, atau kompor listrik, setiap kegiatan memasak akan menghasilkan asap atau uap.
“Kecuali mungkin dia kaya, atau menjadi pegawai. Dengan uangnya dia bisa menggaji pembantu untuk ngurus anak dan bersih-bersih rumah.” lanjutnya ketika melihat saya hanya menaikkan alis dua kali tanda setuju.
Hari ini dia menilai saya. Dari kacamatanya dia melihat seorang perempuan tamatan sarjana hubungan internasional di luar pulau Bali, menjadi pengangguran dan merawat anak dirumah saja. Mungkin dia heran mengapa seorang yang menurut dia berpendidikan hanya berakhir dirumah berkubang dengan asap dan mengasuh anak. Perempuan yang tidak bersekolah saja bisa melakukan ini, kalau akhirnya berakhir dirumah mengasuh anak saja, kenapa harus bersekolah tinggi?. Begitu kira-kira saya menggambarkan keheranan dia.
Tidak hanya sekali saya mendengar komentar seperti ini masuk ditelinga saya secara langsung. Secara tidak langsung yang tidak saya dengar, mungkin juga banyak orang yang membicarakan saya. Maklum, saya tinggal di kampung, dimana banyak para tetangga masih kerabat jauh. Seorang paman jauh, juga pernah menanyakan apa saya tidak bekerja. Saya bilang saya berhenti dulu kerja untuk mengasuh anak.
“Ah bisa masih tetap bekerja kalau mau, cari saja pembantu. Ibu kan masih bisa mengawasi sepulang mengajar?” katanya. Ibu saya adalah seorang guru SD, yang pulang mengajar kira-kira jam 1 siang.
“istriku saja masih bisa kerja, dengan tiga orang anak” lanjutnya. Saya mengangguk tanda penghormatan terhadap istrinya. Betapa hebatnya dia.
Beberapa orang juga melihat dengan pandangan kasihan ketika melihat saya wara-wiri di jalan, menemani Ryan dan Nara bersepeda, bermain bola dan lainnya. Beberapa orang mencoba bijaksana dan bilang: “sabar ya, memang begitu siapa men disuruh ngempu, nanti kerja lagi kalau anak-anak sudah besar”.
Nah sekarang apakah saya mau menulis yang baik tentang saya, menegasikan pandangan remeh orang tentang ibu rumah tangga, ataukah saya menulis jujur tentang apa yang saya rasakan terlepas dari semua logika untung dan rugi?.
Ketika saya hamil pertama (waktu itu saya masih kerja) dan kemudian mengalami keguguran, saya sedih. Saya berjanji akan merawat kehamilan selanjutnya. Tuhan tidak lama menguji saya, tidak berselang 4 bulan kemudian saya hamil lagi. Saya masih tetap bekerja, sampai usia kandungan 7 bulan. Suami saya menawarkan untuk berhenti kerja dan ikut ke Sulawesi, tempat dia bekerja dulu. Saya setuju, namun kemudian tidak jadi berangkat ke Sulawesi, dengan alasan tidak  ada support untuk mengasuh anak di Sulawesi dan ketakutan saya berlebih tentang layanan kesehatan.
Kelahiran anak pertama, saya mengalami baby blues. Sejak punya anak, saya mulai kehilangan kepercayaan diri karena tidak bekerja dan sedikit demi sedikit mulai kehilangan teman (atau saya memang tidak pernah punya teman? haha). Selain itu ditambah dengan sakit sehabis melahirkan normal, membuat saya tidak berhasil menyusui anak pertama. Anak itu menjadi bayi susu formula.
Kehamilan anak kedua dan melahirkan, saya mengulangi ritme yang sama untuk merawat bayi. Kali ini memang saya berhasil menyusui, tetapi tetap tidak bisa melampaui yang namanya baby blues – sampai sekarang saya masih merasakannya.
Sebenarnya saya sendiri sudah sangat ingin bekerja kembali. Beberapa kali saya memberontak terhadap diri saya, kenapa saya hanya ngempu dirumah. Saya pikir saya mempunyai kemampuan untuk berkompetisi di dunia kerja, dan saya suka bekerja. Dengan bekerja saya bisa ngobrol dengan berbagai macam orang. Saya sadar passion saya adalah ngobrol dengan orang dan mendengar berita-berita sosial. Ada dalam psikologi, bahwa orang memasukkan informasi ke otaknya melalui: membaca, mendengar dan melakukan. Saya adalah termasuk orang yang mendengar. Informasi apa yang anda dengar, kalau anda hanya dirumah saja?!.
Seorang teman lama yang tidak bertemu lagi sejak tahun 2004, beberapa minggu lalu kembali bertemu dengannya. Kami mengobrol lama dan mendengarkan keluh kesah masing-masing dengan perjalanan hidup yang kami lalui.
Dia berkata: “kamu sekarang kerja dimana?”
“aku tidak bekerja lagi, ngempu anak saja dirumah” sahut saya
Dia terkejut seakan tidak percaya : “gila kamu, jangan begitu. Jadi perempuan itu harus kerja. Kalau tidak kita tidak punya arti. Kita tidak pernah tahu bagaimana nanti dengan suami, apa tinggal mati atau cerai, kalau tidak bekerja kita bisa apa untuk anak-anak”.
Dia memarahi saya. Saya lebih dari tahu tentang itu. Bapak saya meninggal ketika saya berusia 12 tahun, dan adik perempuan 11 tahun. Ibu menjanda dari usia 32 tahun sampai sekarang.
Okay, tidak adil rasanya kalau menggambarkan apa ‘gambaran pekerjaan’ saya sebagai ibu rumah tangga. Pagi-pagi saya bangun, sebenarnya saya sudah bangun jam 6 pagi, tapi baru keluar kamar jam 7 pagi. Kadang-kadang anak saya Nara, masih pengen kehangatan dibalik payudara ibunya. Setelah itu, bersama dengan Ryan, saya ke pasar membeli perlengkapan memasak dan beberapa cemilan untuk Nara dan Ryan. Jam 7.30 saya sampai di rumah dan memulai ritual memasak. Biasanya acara memasak selesai sekitar satu setengah jam. Setelah itu saya mulai menyuapi anak makan. Biasanya sambil menonton tv, tontonannya adalah film-film kartun. Anda tahu ‘hiburan’ apa yang menjejali otak saya seharian, spongebob, curious George, benard bear, upin dan ipin, penguin of Madagascar, dan kartun lainnya. setelah itu memandikan mereka, setelah itu menemani mereka bermain, mengajak tidur siang sambil membersihkan kamar dan ruangan lain. Waktu saya sendiri, ketika mereka tidur, saya mulai bisa mengetik beberapa kata untuk blog atau kalau tidak membaca majalah dan Koran Kompas (terima kasih kompas, satu-satunya yang membuat saya masih tetap waras). Setelah itu dari sore sampai malam, dengan penuh perjuangan, menyuapi makan, bermain, mandi, menonton tv, dan tidur. Di kala mereka tidur, saya juga capek dan tertidur.
Begitulah hari-hari saya berakhir. Saya mencoba untuk bekerja dari rumah, tetapi berakhir dengan anak-anak semakin rewel. Karena saya melotot di depan laptop dan mereka mau mengajak main atau ngobrol. Itu sangat mengganggu konsentrasi, akhirnya saya marah. Karena saya marah, mereka tambah rewel, karena mereka tambah rewel, saya tambah marah. Saya frustrasi sendiri, hubungan ini seperti lingkaran setan.
Saya merasa malu sebenarnya dengan kondisi ini, namun pelajaran menulis ini mengajarkan saya untuk jujur, bukan hanya jujur menggambarkan kondisi orang lain, tetapi juga kondisi diri sendiri. tujuan saya menulis di blog ini adalah dengan harapan ketika anak-anak saya dewasa, mereka membaca cerita-cerita hidup saya, mereka tahu beginilah kehidupan ibu mereka. Seorang perempuan dengan kepribadian yang tidak matang, melahirkan dua anak. Hanya karena inilah kemudian saya bisa dipanggil sebagai seorang ibu. Cara saya mendidik anak-anak saya, sangat jauh dari seorang yang ideal dan sempurna, yang layak menyandang predikat ibu. Untuk inilah saya malu, malu pada anak-anak saya, pada Tuhan dan kepada ibu saya, juga kepada suami saya yang “menggaji” saya per bulan untuk menjaga ‘gawang’. Dia sudah berbuat terbaik untuk pemenuhan kebutuhan kami, tapi saya tidak melakukan terbaik untuk menjaga ‘rumah’.
Saya tahu, saya tidak bisa menggantungkan kebahagiaan saya kepada orang lain. Saya harus menciptakan kebahagiaan untuk diri saya sendiri, bukan untuk orang lain. Orang lain juga terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri bergelut dengan lika liku kehidupan. Seharusnya saya mensyukuri apapun yang datang dalam kehidupan saya. Saya lupa belakangan saya lupa bersyukur. Saya terlalu menuntut banyak dari tuhan. Tuhan, maafkan saya. Mau berteman lagi? Saya ingin kembali bangkit tuhan.
Saya tidak tahu, apakah Bli Danglir bisa membaca pikiran saya ketika dia ‘memandang’ saya? Bahwa ada percakapan yang saling bersahutan dan membenarkan satu sama lain. Saya belum mendapatkan kata-kata menghiasi bagian penutup tulisan ini.. ataukah saya belum cukup menelanjangi diri?.

3 Komentar:

Pada 14 Mei 2014 pukul 00.05 , Blogger Unknown mengatakan...

saya mengalami hal seperti ini. boleh kita kenalan untuk saling sharing? trims

 
Pada 3 Oktober 2014 pukul 04.12 , Blogger dewikpalak mengatakan...

Halo Mei Maru.. saya baru pulang kampung ke Blog saya ini lagi.. saya sampai lupa passwordnya. tentu kita bisa kenalan. temui saya di parama_dewi@yahoo.com fesbuk parama dewi.

 
Pada 17 Januari 2015 pukul 04.15 , Blogger Yukitri mengatakan...

Salam kenal mbak Parama dewi. Sepertinya saya sedang mengalami ini. Senang rasanya ternyata saya tdk sendirian :)

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda