Selasa, 20 September 2011

Sebuah diskusi tentang Hegemoni Patriarki


Pada hari sabtu, tanggal 17 September 2011. Ditengah kebuntuan referensi tempat berplesir, saya dan Cok Putri, seorang teman baik sejak SMP serta Ryan dan Nara akhirnya menjejakkan kaki di Bentara Budaya. Merindukan pikiran dan wawasan yang segar. Hari itu ada pameran fotografi, tapi bukan itu yang menggiurkan. Petang hari yaitu jam 18.00 akan ada diskusi tentang Resistensi Perempuan Bali terhadap Patriarki: mengupas 3 novel yang dibuat oleh Panji Tisna, Putu Wijaya dan Oka Rusmini. Pembicaranya adalah seorang dosen Universitas Pendidikan Ganesha Bali.

Sore hari kembali saya datang ke Bentara Budaya Bali. Ada rasa ingin tahu berlebih bagaimana seorang lelaki Bali yang tinggal di Bali memandang patriarki dan perempuan. Saya tahu bahwa Putu Wijaya dan Oka Rusmini adalah sastrawan Bali yang terkenal, saya pernah membaca novel Tarian Bumi dan satu lagi saya lupa judulnya,- namun mereka ini tidak tinggal di Bali, tidak bergaul dengan adat dan bergesekan dengan perilaku-perilaku partriarkisme dalam kehidupan sehari-hari. Apakah orang Bali yang tinggal di Bali, bisa memelihara kesadaran untuk lepas dari jerat keberpihakan terhadap patriarki? Dan itu dari sudut pandang seorang laki-laki?. Pertanyaan-pertanyaan ini menari-nari di kepala saya, menggoda saya untuk datang mendengar diskusi. Ini pasti menarik.

Jam 18.15 saya sampai di Bentara Budaya Bali. Dari luar, saya sudah melihat banyak anak-anak muda bergerombol bersenda gurau. Saya pikir acara akan segera dimulai, tapi saya keliru. Acara belum lagi mulai, pembicaranya belum datang. Peserta diskusi digiring untuk menonton sebuah film documenter terkait dengan pameran fotografi yang saya lihat tadi sore. Pemandangan yang menyesakkan hati tentang perang Vietnam dan penderitaan pengungsi ke pulau Galang, Indonesia akibat perang. Belum 30 menit duduk, saya keluar. Saya tidak tahan melihat gambar anak-anak yang terjepit diantara banyak orang yang panik minta diangkut. Pemandangan mayat-mayat berserakan, sungguh meneror.

Seseorang yang bekerja di Bentara Budaya mengatakan bahwa pembicara sebentar lagi akan datang, dia sedang dalam perjalanan. Saya mengangguk memaklumi. Saya mengambil gelas plastic yang disediakan untuk meminum teh. Teh manis yang hangat itu sangat pas menemani hembusan angin yang kencang dari selatan, maklum gedung ini berada dekat dengan laut tidak sampai 1 kilometer. 30 menit demi 30 menit berlalu. Belum ada tanda-tanda, pembicara akan segera datang. Tidak terasa saya sudah meminum 3 gelas teh hangat. Saya teringat Ryan yang sedang batuk-batuk di rumah. saya gelisah. Saya tanya panitia, katanya pembicara itu sudah masuk ke jalan Bypass Prof. Mantra. Siapa bisa mengira lokasinya dimana, jalan itu panjangnya hampir 20km.

Pembicara akhirnya datang jam 20.00-an. Molor dua jam dari waktu yang dijadwalkan. Dia mengawali berbicara tanpa sepatah katapun minta maaf atas keterlambatannya. Ternyata, sebagian besar anak muda yang datang adalah mahasiswanya dari Undiksha Singaraja, sekitar 60km dari Denpasar. Pembicara  mulai mengupas tentang novel-novel yang ditulis oleh penulis Bali yang mewakili 3 zaman. Panji Tisna, seorang Raja Buleleng yang pindah agama dari Hindu ke Kristen pada tahun 1930-an, Putu Wijaya seorang penulis novel, pemain teater, dan lainnya yang mewakili generasi tahun 1970-an dan Oka Rusmini, seorang bangsawan yang turun derajat karena menikah dengan orang sudra di tahun 200-an. Panji Tisna yang terkenal lewat novelnya Sukreni Gadis Bali mengisahkan ketertindasan seorang perempuan bernama Sukreni yang diperkosa oleh Tusan sehingga melahirkan anak haram. Untuk ulasan tentang novel Putu Wijaya, saya tidak terlalu konsentrasi mendengarnya, sehingga tidak bisa saya tuliskan disini. bodohnya lagi, saya lupa membawa pulpen!. Oka Rusmini juga membuat novel menyorot tentang hubungan antar kasta. Oka rusmini dengan lantang menggambarkan tidak ada masalah dengan status “Nyerod” (turun kasta), tetapi masih pengecut untuk upacara “pati wangi” (pamitan kepada leluhur karena Nyerod) begitu penilaian pembicara. Pembicara mengatakan karya sastra sekarang tidak lagi sekedar anggur dan rembulan, tetapi mengangkat masalah-masalah sosial.

Selanjutnya pembicara mengupas bagaimana kondisi kekinian perempuan Bali. dia langsung mencontohkan bahwa dia geram belakangan membaca berita tentang seorang ibu yang tega menggorok leher anaknya kemudian bunuh diri. Daripada bunuh diri, menurutnya lebih baik ibu itu menjadi pengemis atau pelacur untuk menyambung hidup.  Teng, otak saya tersengat. Semangat saya menurun, ternyata pembicara belum mampu melepaskan jerat patriarki dalam dirinya sehingga dia tidak jernih melihat isu perempuan. Tapi mudah-mudahan saya salah, saya baru mengenalnya 30 menit. masih terlalu awal untuk menilai.

Pembicara mengatakan perempuan sekarang mulai sadar akan hak dan kewajibannya, bahkan kalangan tertentu perempuan tidak percaya lagi dengan institusi pernikahan.

“Tapi para mahasiswa jangan sampai tidak percaya pada lembaga pernikahan. Itu berbahaya, bisa stress para laki-laki karena tidak bisa ‘begitu’. Katanya sambil bercanda. Sedikit tertawa terdengar.

“tapi itu pilihan, kalau saya, saya memilih menikah karena ada yang merawat ketika sakit, ada yang membuatkan kopi setiap pagi”.

Beberapa kalimat diatas seakan-akan menampar pipi saya. Tidak sadar saya bergumam, bagaimana kalau istri bapak sakit, kenapa bukan bapak yang sesekali membuatkan kopi. Ternyata kegelisahan saya, ditangkap oleh seorang mahasiswa yang duduk di sebelah kiri saya, saya lupa namanya, dia seorang mahasiswa Seni Rupa di IKIP PGRI, asal Karangasem tetapi tinggal di Lombok. dia bercita-cita menjadi guru setamat kuliah. Badannya mendekati saya, dan berbisik:

“sepertinya bapak ini ngomongnya ngawur ya, seperti tidak sesuai dengan judul. Saya merasa begitu, tapi saya tidak tahu” katanya.

“Bapak ini berbicara tentang hegemoni patriarki terhadap perempuan Bali, tapi sikapnya sangat patriarki sekali.” Saya menimpali sambil berbisik juga.

“Patriarki itu apa?” bisiknya lagi.

Mampus saya!. Saya ingin menjelaskan banyak kepadanya, tetapi saya sangat penasaran dengan kalimat-kalimat berikut yang akan disampaikan oleh pembicara.

“kamu simpan dulu pertanyaannya ya, nanti aku cerita. Sekarang mending kita dengar diskusinya dulu”. Bisik saya.

Dia mengangguk, tapi saya melihat ada roman tidak puas dari wajahnya. Tapi saya juga tidak mau terganggu konsentrasi mendengarkan diskusi lebih lanjut.

Pembicara mengatakan secara kodrat memang perempuan itu lebih banyak beban daripada laki-laki. Misalnya anak perempuan lebih dekat dengan keluarga daripada anak laki-laki. Ketika orang tua sakit, anak perempuan meskipun dia telah menikah akan lebih memperhatikan dan merawat orang tua. Seperti misalnya ketika pembicara mengisahkan orang tuanya ketika masuk rumah sakit dan harus memakai popok sekali pakai.

“saya tidak mau berpura-pura, tetapi kalau saya mengganti popok ibu, bagaimana rasanya. Bisa langsung pingsan saya disitu. Daripada saya pingsan.” Kata pembicara.

Kemudian dia berbicara betapa di Bali sekarang rentan sekali dengan pertikaian sesama orang Bali. seperti kasus di Songan Kintamani - Kasus ini bermula ketika ada perkelahian pelajar antara orang Songan dan Bangli yang sekolah di Bangli. Hanya dua orang, siswa laki-laki. Setelah itu ada pengeroyokan terhadap beberapa siswa yang berasal dari Songan. Tidak terima dengan kejadian itu, anggota banjar Songan, turun ke Bangli sehingga terjadi pertikain masal -. Kasus lainnya, pembicara mengungkapkan terjadi perselisihan antar warga juga terjadi di Desa Kemuning, Klungkung. Tetapi kasus-kasus yang dibicarakan adalah pertikaian komunal yang dilakukan oleh para lelaki, dengan korban lelaki. Meskipun secara tidak langsung perempuan pasti dikorban juga, siapa yang sanggup melihat anaknya pulang dengan badan luka-luka?.

Setelah pemamparan materi, ada sesi tanya jawab. Ada seorang mahasiswa perempuan bertanya ada pernikahan dengan cara Nyentana yang membela hak perempuan, tetapi mengapa dianggap rendah oleh masyarakat. Pembicara mengatakan memang ada beberapa tradisi Nyentana (pernikahan dimana pengantin laki-laki dipinang oleh pengantin perempuan kemudian tinggal dirumah pihak perempuan) dilakukan dibeberapa daerah, terutama di Bali selatan. Kabupaten Tabanan merupakan pemegang kasus terbanyak pernikahan dengan Nyentana. Tetapi di daerah lain seperti misalnya Klungkung, Karangasem, Buleleng, tidak ada pernikahan dengan Nyentana karena para lelaki biasanya dianggap Paid Bangkung (diseret babi betina – istilah untuk suami yang dibawah kuasa istri), atau PTT.. anda tahu.. Pentil ……?. Pembicara tidak melanjutkan mungkin dia malu menyebut istilah Pentil Titik (disentil kliktoris). Saya heran kenapa bapak itu malu menyebut alat reproduksi perempuan. Ya begitulah dimasyarakat, banyak lelaki yang Nyentana di bilang tunduk sama istri.

Seorang penanya lain dipersilahkan. Sebenarnya penanya kedua bukan menanyakan. Dia adalah seorang lelaki dengan perkiraan usia akhir 40-an, seorang dosen yang menyayangkan kealpaannya memberitahu acara diskusi ini kepada mahasiswanya. Sehingga mahasiswa dapat mendengar uraian yang bagus ini (?). setelah uraian yang panjang pak dosen mengatakan bahwa sebenarnya dalam masyarakat tidak ada yang namanya penindasan terhadap perempuan, hanya para penulis novel yang tiga orang ini saja yang mengatakan perempuan Bali tertindas, padahal kenyataannya banyak perempuan yang merokok, duduk sambil mengangkat kaki ke atas. Saya berharap tidak mendengar pendapat ini dari seorang dosen, seorang pengajar. Mungkin lebih bisa dimaklumi kalau seandainya yang berpendapat adalah orang yang tidak bisa membaca, tuli dan buta.  

Pembicara mungkin enggan menjatuhkan pendapat penanya kedua karena sama-sama dosen. Tetapi pembicara mengatakan kenyataannya banyak kasus di Bali dimana perempuan masih tidak mendapatkan hak-haknya. Pembicara tidak secara spesifik menempatkan posisi atau keberpihakannya disini. Mengambang.
Penanya selanjutnya adalah seorang praktisi yoga, saya tahu orangnya sangat santun karena suami saya pada masanya pernah menjadi teman akrab. seorang laki-laki mungkin diawal usia 40-an. Dia mengatakan setiap orang harus menghormati perempuan. Perempuan adalah seorang ibu, yang melahirkan , membesarkan dan dengan tangguh mencari makan buat anak-anaknya. Penghormatan terhadap perempuan harus dimulai dari rumah tangga. Penanya membagi kisah caranya membagi kerja dengan istrinya. Bahwa tidak ada pekerjaan perempuan dan pekerjaan laki-laki, semua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban berdasarkan kompromi. Pembicara mengamini pernyataan penanya ketiga.

Sesi tanya jawab kedua di buka. Saya tidak sabar untuk mengacungkan tangan. Saya melirik, ada saya, dan seorang bapak mungkin usianya sekitar pertengahan 60-an yang tertarik untuk bertanya. Mahasiswa lain tidak berniat angkat tangan, atau mereka mempunyai kesulitan merumuskan kata-kata untuk bertanya. Ataukah karena memikirkan malam minggu akan segera berlalu, karena jam sudah menunjukkan 21.30.
Moderator, seorang perempuan cantik berpenampilan rapi saya mengira usianya akhir 20-an. Dia mempersilahkan bapak tua itu sebagai penanya keempat. Bapak itu mengatakan pengalamannya berumah tangga bersama istri. Bahwa dia biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sementara istrinya masih aktif mengajar di sebuah sekolah di Tabanan. Dia tidak malu, tidak masalah.

Setelah itu moderator memberi kesempatan saya untuk bertanya. Inilah yang saya bilang:
“terima kasih atas kesempatannya, nama saya Dewi, saya dari Sukawati dan saya seorang ibu rumah tangga. Saya tertarik dengan judulnya. Pertama-tama saya salut dengan dua bapak-bapak penanya yang sudah mau berbagi peran dengan istri secara kompromis, mudah-mudahan tindakan bapak menjadi contoh untuk generasi muda, dan menulari ke masyarakat yang lebih besar.  Saya ingin mulai dengan mengambil satu kata dari judul, Hegemoni dalam pemahaman awam saya artinya adalah penjajahan tetapi yang terjajah tidak merasa dijajah, sehingga ini menyebabkan sang penjajahpun tidak merasa menjajah. Inilah kemudian sulitnya membuat keberpihakan. Ketika kita dibesarkan dalam budaya patriarki, sedari kecil melihat pendidikan di keluarga yang patriarki, bermasyarakat didalam masyarakat yang patriarki, menyebabkan kita susah untuk menerima ide bahwa perempuan itu sama dengan laki-laki. Tidak peduli, tingkat pendidikan. Ketika ideology kita kuat, maka keberpihakan kita juga tidak nyata. Seolah-olah berpihak padahal tidak.  

Perempuan Bali mengambil peran yang banyak, tidak sekedar ganda, sebagai ibu mengurusi pekerjaan domestik, sebagai anggota masyarakat dengan berbagai kegiatan adat dan upacara agama, belum lagi mencari nafkah. Ketika orang belum bisa melepaskan keberpihakannya terhadap patriarki, pasti menganggap bahwa tidak ada yang namanya penindasan terhadap perempuan. Tidak ada masalah dengan perempuan di Bali, mereka bahkan disanjung. Maka dari itu contoh-contoh yang timbulpun merupakan contoh kekerasan yang dilakukan oleh patriarki seperti misalnya perang antar warga.

Padahal masih banyak contoh kekerasan yang dialami oleh perempuan, misalnya pelebelan “bisa ngeleak” yang sebagian korbannya adalah perempuan. Pelebelan ini biasanya diikuti dengan tindakan pengucilan, tapi apakah benar orang tersebut bisa ngeleak? Jangan-jangan menilaian itu hanya mebriuk siu (ikut-ikutan saja).
Ketika misalnya kita membaca bahwa seorang ibu rela membunuh anaknya, terus bunuh diri karena tidak sanggup menanggung beban hidup, maka orang hanya menyalahkan ibu itu. lalu kenapa tidak menyalahkan lelaki yang diajak membuat anak oleh ibu itu, kemana dia? Kemana keluarga besar laki-laki? Kemana masyarakat yang tidak peduli dengan penderitaan ibu itu? kemana kita? Saya harap ini merupakan tanggung jawab bersama kita sebagai orang Bali.

Mengenai patriarki, saya rasa kita generasi yang dilahirkan dari pola pikir demikian akan sulit untuk melepaskan diri. namun kita bisa memutus rantai itu sampai dengan generasi kita, dan mulai mengajarkan pandangan baru terhadap generasi kita yang baru. Pandangan yang lebih memihak kemanusiaan, tidak memandang dikotomis laki-laki dan perempuan.

Saya pikir berbahaya sekali, jika kita yang belum jelas keberpihakannya terhadap isu perempuan melemparkan isu ini diruang publik, karena apa yang kita diskusikan akan mempengaruhi cara pandang sekian puluh orang di ruangan ini. hendaknya kita lebih kritis dan dewasa dan menyikapi ini.
Demikian, saya ucapkan terima kasih atas waktu dan kesempatannya. Terima kasih.

Feedback yang saya dapatkan dari pembicara adalah terima kasih atas masukan yang diberikan oleh saudari Dewi. Nah disini, teman-teman mahasiswa harus belajar dari adik dewi ini bagaimana merumuskan dan mengartikulasikan saran, atau pertanyaan. Sangat kritis dan berstruktur. Saya sangat setuju bahwa didalam masyarakat kita masih banyak terjadi ketidak adilan terhadap perempuan. Salah satunya dengan fenomena “bisa ngeleak” ini. Namun dalam prakteknya, ternyata saya sendiri menemukan keanehan. Misalnya ada orang yang tidak bekerja, namun bisa membeli ini dan itu, dan uangnya banyak sekali. Darimana dia dapatkan ini? sehingga banyak guyonan yang beredar di daerah buleleng itu bilang ”gak ada blerong bekas?”

Malam itu saya pulang dengan ganjalan besar dihati. Bahwa itulah yang berlaku dimasyarakat. Bukan masalah benar dan salah, bahwa pendapat saya lebih baik dari orang lain, tetapi ini masalah ideology mana yang lebih mendominasi untuk kepentingan siapa?. Mau kemana Bali?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda