Selasa, 29 November 2011

Ironi Berdesak-desakan


Beberapa waktu lalu, saya melihat iklan satu halaman penuh di Kompas, sebuah surat kabar harian nasional. Sebuah produk handphone membuat promosi yang mencengangkan, potongan setengah harga untuk produk HP tersebut untuk 1000 pembeli pertama. Syaratnya pembelian harus menggunakan kartu kredit. Promo ini dilakukan disebuah pusat perbelanjaan di Jakarta.

Namun bukan promo ini yang mencengangkan tetapi pelaksanaan promo ini. banyak korban berjatuhkan akibat berdesak-desakan antri membeli HP terlaris buatan Amerika Serikat ini. awalnya pengunjung antri dengan teratur, akan tetapi saking banyaknya orang yang tertarik membeli akhirnya berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang, yang lain berjatuhan bahkan ada yang terinjak.

Yang menarik di Indonesia adalah fenomena desak-desakan ini terjadi dari masa ke masa, sekarang trendnya membeli HP. Kemarin-kemarin trennya adalah pembagian sembako untuk zakat, pembelian minyak tanah, dan yang belakangan terjadi adalah desak-desakan yang memakan korban dua orang penonton pertandingan bola timnas Indonesia melawan Malaysia pada waktu SEA GAMES di Gelora Bung Karno.

Beberapa waktu lalu, saya membaca di surat kabar yang sama bahwa ketika terjadi Tsunami mahadahsyat di Jepang yang diikuti oleh meledaknya sebuah pembangkit listrik bertenaga nuklir, orang-orang masih antri dengan tertib untuk membeli bahan makanan pokok ataupun bensin di Jepang. Bayangkan untuk kepentingan yang lebih genting yaitu bertahan hidup, orang masih sabar untuk antri. Bandingkan di Indonesia, orang berdesak-desakan untuk mendapatkan pembagian sembako atau uang yang tidak lebih dari 30 ribu per kepala. Orang rela terancam keselamatannya, apakah mereka sadar dengan resiko ini. diantara para pengantri ini yang sebagian besar adalah ibu-ibu ikut juga membawa anak-anak mereka. Kontradiksi yang sangat ironis. Apakah ini akibat budaya dan tingkat peradaban masyarakat Indonesia yang bisa dibilang masih purba di bandingkan orang Jepang.

Tidak hanya saya, semua orang dari anda pasti pernah menjadi korban penyerobotan antrian yang dilakukan oleh orang dibelakang anda. seperti waktu kita bayar di kasir, antri beli bensin di SPBU, antri menarik uang di ATM, antri pelayanan kesehatan di rumah sakit negeri  dan lainnya. orang yang menyerobot memasang muka datar seolah-olah mereka tidak merasa bersalah dengan kelakuannya.

Kejadian ini tidak hanya terjadi didaerah lain, disekitar kita di Bali. kita sering berdesak-desakan menuju pura sewaktu odalan. Ditengah kepulan asap dupa yang menyesakkan, hawa panas yang mendera karena kita berebut oksigen, tangisan anak-anak yang terjepit, rintihan lucu para pria iseng yang mengatakan hati-hati bahwa dirinya sedang hamil, masih bisakah kita berkonsentrasi memuja Hyang Widi?.

Pembelajaran tentang antri bukan hanya sekedar membuat garis, berdiri beraturan dan menunggu giliran. Tetapi tentang sebuah pelajaran bagaimana menghargai keberadaan orang lain, belajar bahwa derajat kita sama dengan yang lain, bahwa kepentingan kita tidak lebih mendesak dari orang lain, dan pertimbangan kemanusiaan lainnya.

Barangkali hanya satu antrian yang tidak mau kita serobot, antrian menunggu ajal menjemput. Kalau bisa yang lain maju dulu deh, kita yang belakangan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda