Selasa, 25 Desember 2012

Bapak, Dengarkanlah Aku Ingin Berjumpa



Suatu pagi yang menggairahkan di Kendari, seorang kenalan baru menyarankan saya untuk menulis tentang bapak saya. Teman baru ini adalah Andreas Harsono, seorang journalis yang senang untuk berbagi ilmu menulis kepada penulis pemula. Saya sedang mengikuti pelatihan menulis yang dia berikan untuk wartawan dan aktivis lingkungan di Kendari saat itu. Saat itu tahun 2006, sepulang dari kami melakukan perjalanan menjelajahi kota wakatobi. Saya sedang berbulan madu sambil menemani suami bekerja dan Mas Andreas bersama Norman, anak laki-lakinya ikut dalam rombongan wartawan yang meliput kegiatan di wakatobi. 

“Mengapa kamu tidak menulis tentang ayahmu? Saya yakin ada banyak kenangan yang mengendap dan pasti banyak cerita yang bisa disampaikan. Cobalah” saya coba meraba mengingat kata-katanya.

Enam tahun setelah itu, saya baru mewujudkan saran itu. Saya ingin menulis kenangan tentang bapak saya. I Wayan Suteja. Sebenarnya, ada judul lain didepan namanya, Drs – Dokterandus. Menandakan dia telah menyelesaikan pendidikan sarjana. Di Banjar saya, seorang teman dekat bapak yang kemudian beralih menjadi ‘musuh’ ideologi bapak, masih awet menyandang BA (bachelor) karena dia tidak lulus sarjana.

Bapak, adalah seorang bapak yang hangat. Saat dia menyediakan waktu untuk anaknya, dia benar-benar melakukannya. Tidak seperti ibu. Ibu sering selalu ada dirumah, terlihat menemani main tetapi sambil memasak, mencuci, menyapu. Saya dan Diah, selalu menunggu saat bermain ombak ke pantai. pantai dari rumah kami berjarak 5 kilometer, saat itu terasa jauh karena radius bermain kami tidak sampai 1 kilometer dari rumah. Saat kecil, diajak kepantai adalah kemewahan tiada terkira. Sungguh sangat mewah, ketika satu hari bapak mengajak kami mandi di pantai Kuta. Saya ingat, kala itu kami naik Vespa dari Sukawati. Diah tidak berminat mandi di Kuta, jadi dia memilih membeli bibit pohon cemara untuk dipelihara dirumah. Bapak membeli kaca mata hitam, saya ingat harganya Rp. 3000 dan saya membeli celana dalam untuk ganti. Saat itu, kami harus parkir jauh sebelum masuk ke pantai Kuta. Pantai Kuta dalam ingatan saya tidak seperti sekarang. Agak jauh jalan dari tempat kami parkir Vespa untuk menyentuh bibir pantai berpasir. Dari bibir pantai agak jauh juga untuk menyentuh air laut. Sama seperti di pantai Purnama di Sukawati, pantainya yang saya kenali saat kecil sangat luas dan rimbun pohon kelapa. Sekarang terancam abrasi. Saat itu masih ada beberapa karang dipinggir pantai Kuta. Dua orang anak seumuran saya, 7 tahunan, ikut berenang. Bedanya mereka sudah pakai baju renang.

Bapak adalah seorang Pelukis. Bapak lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa di Ubud. Gaya lukisan bapak adalah gaya Ubud yang menggambarkan kehidupan tradisional masyarakat Bali. Temanya pasar, dan kehidupan pedesaan. Terkadang juga bapak membuat lukisan burung-burung dengan gaya Pengosekan. Bapak memulai ritual melukisnya dengan sketsa pensil. Pensil diorat oret untuk membuat tema dan membuat ruang. Setelah itu, dipercantik dengan tinta cina. Saya sering membantu bapak untuk membuat adonan tinta cina. Batangan tinta digosok dengan air sampai pekat. Satu hari bapak gembira luar biasa karena bisa membeli pulpen ‘Rotring’, penemuan hebat kala itu untuk menebalkan garis tepi lukisan. Sesekali bapak membiarkan saya dan Diah untuk mencorat coret sketsanya. Atau ketika suatu kali, kami asal mencoret kanvas tanpa izin, bapak tidak marah. Hanya menggosok-gosok rambut kami. Kata ibu, bapak ‘menitip’kan lukisan-lukisan itu pada seorang temannya di Ubud. Entah laris atau tidak, yang ada setiap hari kami makan dengan menu yang sama, pindang dan sayur bayam yang dipetik ibu setiap sore dipinggir kali.
Selain melukis, bapak adalah menguasai seni yang lain. bapak aktif membuat pementasan drama tari di Bale Banjar. Didalam drama tari itu, dia juga berperan sebagai raja manis. Raja manis adalah peran protagonis yang selalu dianiaya oleh raja buduh- peran antagonis. Ketika pementasan, bapak sebagai raja manis mau dibunuh oleh raja buduh, ditengah orang sedang terhanyut dalam emosi sedih, Diah adik saya berteriak: jangan bunuh bapak saya, bapak.. bapak.. Pecahlah tawa orang-orang sedari awalnya sedih tersayat sembilu. kami masih sangat kecil waktu itu, mungkin sekitar lima tahunan, diah mungkin empat tahun. Kami hanya beda setahun. Ibu dengan menahan malu, langsung mengajak kami pulang. Bahaya, kalau masih bertahan, bisa-bisa Diah lari ke tengah panggung untuk ‘menyelamatkan’ bapak dari raja buduh.

Bapak juga pintar membuat patung. Dimasa mudanya dia membuat puluhan patung yang dipajang dibeberapa tempat di Sukawati. Ketika dimutasi ke Singaraja, saya mendengar cerita bahwa dia juga membuat patung disekolah tempatnya mengajar. Setelah bapak dipindah ke sebuah SMP di Blahbatuh, saya beberapa kali diajak bapak untuk membuat patung di sekolahnya. Seingat saya, patung itu menghiasi kolam, pusat pemandangan disana. Ketika bapak sakit dan hanya bisa terbaring dirumah, bapak tetap membuat patung. Seringkali saya disuruh naik sepeda membeli semen biasa dan semen putih di sebuah toko kelontong milik orang China di Sukawati. Saya sering sebal harus membeli perlengkapan itu sebelum bermain bersama teman-teman. Kenapa harus selalu saya, kenapa tidak Diah?. Ah adikmu kan masih kecil, begitu sahut ibu berulang-ulang. Seperti membuat lukisan, bapak membuat sketsa patung terlebih dahulu. Setelah itu, dia membuat rangka dengan besi. Rangka utama dibuat dari besi yang agak tebal yang diplintir dan dijalin dengan kawat besi. Pak Ngurah, teman setia bapak, sering membantu bapak membuat rangka patung ini, ketika tangan bapak mulai tidak kuat melekuk-lekuk besi. Patung diri bapak dari leher ke atas, sekarang menjadi satu-satunya patung peninggalan bapak dirumah. Patung itu awal, ditempa sinar matahari dan hujan. Hanya ‘hidung’nya yang kurang mancung, copot.

Sebelum bapak sakit, bapak sempat belajar menari Topeng. Tarian Topeng sering kita lihat ketika ada upacara di Pura. Tarian Topeng tidak hanya sekadar bisa menari, tetapi juga harus bisa bertutur. Tarian Topeng adalah tarian yang mengisahkan perjalanan seorang raja disebuah kerajaan yang penuh dengan nasehat-nasehat kehidupan. Bapak adalah sebuah aktor, ketika dia keluar kamar, dia tidak sekedar berjalan menyingkap korden didepan pintu kamar, gayanya menyingkap korden bergaris merah itu seperti Topeng Tua yang berjalan tertatih-tatih. Dia selalu berhasil membuat kami tertawa.

Bapak suka puisi. Bapak suka puisi Chairil Anwar yang membara meledak, dahsyat. Sepertinya saya juga melihat bapak dalam puisi Chairil Anwar, dia begitu muda, ingin merdeka, bebas dan bersemangat. Sama seperti idolanya, bapakpun mati muda. Bapak bangga ketika tahu saya mewakili sekolah untuk lomba baca puisi. Bapak juga bangga ketika saya dan Iien, diminta para pemuda untuk membaca puisi kalau ada kegiatan di Banjar. Meski santai, bapak galak dalam beberapa hal terutama masalah belajar. Suatu ketika saya pindah sekolah, adaptasi sekolah memang mudah untuk anak-anak. Ada beberapa hal yang harus saya sesuaikan dengan sekolah baru. Salah satunya adalah menulis aksara Bali. Perbedaan gaya menulis ini membuat tulisan saya tidak dikirim ke sebuah lomba. Sesampai dirumah, saya lapor bahwa saya tidak dikirim lomba dan langsung menuju radio mencar gelombang kesayangan saya, Satria Kamandanu. Ah.. betapa saya cinta dengan drama radio ini, mengantarkan imajinasi saya pada sejarah dan kehidupan orang ‘besar’. Bapak langsung mendekat dan mematikan radio.

“Sudah tahu tulisan tidak dikirim, bukannya belajar memperbaiki tulisan. Sekarang belajar!”. Perintah Bapak.

Bapak aktif di pramuka. Kata ibu, dulu sebelum bapak dimutasi ke Singaraja, bapak mengajar di SMP Negeri 1 Sukawati. Disekolah ini bersama Bapak Badrawan, guru bahasa inggris, bapak menjadi Pembina pramuka. Kegiatan pramuka di tahun ini sangat menggairahkan. Bapak menrancang beragam kegiatan. Meme Made Swasti, adiknya ibu adalah murid bapak di SMP. Dia murid pertama yang diajak jalan mencari tanda jejak sampai kemah di Kintamani. Saya masih punya fotonya. Untuk kegiatan pramuka, bapak tidak tanggung-tanggung sampai rela berkorban uang padahal keadaan kami begitu miskin. Ibu mengingat pernah suatu hari siswa bapak ke rumah, mereka disuruh mengambil beras dirumah untuk dimasak dalam kegiatan pramuka padahal itu adalah satu kilo beras terakhir yang kami punya.

Bapak adalah seorang Guru, guru sekolah menengah pertama. Setelah lulus dari IKIP di singaraja, bapak mengajar di SMP N 1 Sukawati. Beliau mengajar berbagai mata pelajaran dari matematika, bahasa inggris, biologi dan menggambar. Beliau di mutasi ke Gerogak-Singaraja ketika saya masih umur 3-4 tahun. Saya juga tidak ingat. Kata ibu, setiap bapak pulang dari singaraja, saya tidak mau digendong. Bapak sedih sampai menangis. Ketika beliau dimutasi lagi ke Blahbatuh, lebih dekat dari rumah kira-kira 14 kilometer lah zaman itu karena belum ada bypass- beberapa kali bapak mengajak saya menemani dia mengajar. Saat itu bapak mengajar bahasa inggris, saya ingat, cara dia mengajar siswanya menghafal pembendaharaan kata (vocabulary) adalah dengan menggambar. Bapak menggambar tempat tidur, kursi dan meja, indah sekali, persis aslinya. Siswanya senang, saya ingat mereka mengangguk-angguk dan terkadang tertawa terbahak-bahak. Tidak ada siswa yang mengantuk apalagi lain-lain. saya suka mengintip dari bawah meja dibarisan belakang. Bapak juga menjadi guru kursus bahasa inggris di sebuah lembaga kursus di denpasar. Kadang-kadang saya juga sering diajak bapak ikut ketempat kursus. Saya tidak suka kesana, susah untuk pipis. Klosetnya tinggi, belakangan ketika besar saya tahu itu namanya kloset duduk, berbeda dengan kloset dirumah, kloset jongkok. Tetap saja saya jongkok diatas kloset duduk. Setelah besar, dan bepergian saya jadi geli membaca petunjuk yang ditempel di tutup kloset duduk yang memberikan informasi jangan jongkok diatas kloset duduk. Peringatan itu selalu membawa saya kembali ke kotak memori ditempat kursus ini.

Bapak adalah seorang wartawan. Bapak suka begadang, bergelut dengan mesin ketik manualnya. Bunyi tak tik tak tik.. trek tek tek tek… menjadi irama ditengah suara jangkrik dan kodok dimalam hari. mesin ketiknya bermerek brother. Seingat saya, dia pernah punya mesin ketik berwarna hitam, saya lupa mereknya. Setelah itu dia ganti dengan mesin ketik dengan bodi berwarna putih, pitanya pun berwarna hitam dan merah. Harus ada tombol yang dipencet dibawah untuk mengetik tulisan berwarna merah. Bapak tidak marah kalau saya sesekali memainkan tombol mesin ketiknya. mungkin dibanjar saya, hanya bapak yang suka menulis. Kata ibu, bapak suka mengirim tulisannya ke bali post. Inilah uang saku tambahan buat bapak, karena gajinya telah habis dibabat rentenir kampong.

Bapak suka merokok, rokoknya tetap sama dari dulu. Rokok cap bentoel. Ibu sebal dengan kebiasaan merokok bapak, dan membuat kerjasama dengan saya untuk menyembunyikan rokoknya.ada hubungan apa antara seniman dengan rokok.  Saya sampai hapal lagunya I love you blue of Indonesia yang dinyanyikan oleh Broeri Pesolima. Broeri adalah penyanyi idola bapak. Bapak hapal semua lagu Bung Broeri, dia menyanyikan lagu Broeri dari mandi, melukis, mengawali menulis, sampai ketika menidurkan saya didalam gendongannya. Berhembus angin malam.. mencekam…

Balik lagi ke urusan tulis menulis. Kata ibu, bapak selalu punya bahan untuk ditulis. Terang saja, gumam saya, bukunya bapak segudang. Itu perumpamaannya, berhubung kami tidak punya gudang, istilah tepatnya mungkin bertumpuk-tumpuk berserakan dari Bale Dauh sampai dengan Bale Dangin. Ibu saya adalah seorang guru dengan gaji ya samalah dengan bapak saya. Gajinya jangan ditanya lagi, sudah numpang lewat ditangan karena membayar rentenir. Saat itu, lagi ngetrend setiap rumah tangga punya lemari panjangan, ibu juga tertarik. Jadi dia mencicil beberapa kali untuk punya lemari itu. Biasanya rumah orang lain lemari pajangan dihiasi dengan piring keramik dan cangkir keramik. Karena ibu tidak punya piring keramik jadinya lemari pajangan untuk memajang koleksi bukunya bapak.

Di desa saya, kerap terjadi perkelahian antar banjar. Meski sebenarnya pelaku tawuran hanya banjar-banjar itu saja. Banjar Palak, Banjar Babakan dan Banjar Kebalian. Kalau tidak banjar palak vs banjar babakan, Palak vs kebalian atau kebalian vs babakan. Setiap tawuran, warga banjar masing-masing sudah siap dengan senjata tajam dan batu-batu. Sebagai anggota banjar, tentu bapak juga ikut keluar, hanya tidak membawa batu, dia membawa pulpen dan kertas.

Saya ingat, bapak juga merintis majalah pariwisata judulnya cakrawala pramuwisata. Majalah itu lahir tahun 1980an, sewaktu bapak belum tumbang oleh kanker. Bapak menjadi kepala redaksi dan berkantor di renon- sekarang kantor dinas pariwisata dan samsat terpadu Badung. Dikantor itu, ada bale kulkul kecil di pojok kanan. Kalau saya diajak ikut, saya main-main disana naik turun tangga, menunggu bapak sampai bosan. Dia sangat sibuk dan lama kalau sudah bertemu dengan mesin ketik. Saya suka melihat renon dari atas bale kulkul, masih pemandangan sawah.

Ketika menjadi kepala redaksi Majalah, bapak punya seorang sekretaris, namanya Mbak Tutik. Mbak Tutik ini baik dengan saya. Kalau saya diajak bapak main ke kantornya, saya suka dibuatkan minum dan diberi permen. Tetapi ternyata mbak tutik menjadi pemicu marah-marah ibu dirumah, ternyata ibu cemburu dengan mbak Tutik. Ah emak-emak, padahal menurut saya bapak biasa-biasa saja dengan mbak tutik, tidak ada yang special. Dan aah ternyata dari kecil saya sudah punya bibit sok tahu..

Untuk mengisi tulisan di majalah ini, selain bapak yang paling banyak menulis, ada juga Pak Latra, yang rajin ke rumah menjemput bapak untuk peliputan. Pak Latra juga seorang pemandu wisata. Suatu saat ketika beliau kerumah, kami (saya, bapak dan diah) tidur-tiduran nonton televise di ruangan tamu, saya main-main dengan pintu, tok tok tok.. ternyata ada yang ketak ketok dibalik pintu. Saya pikir bapak balik becanda dengan saya.. lama saya ketuk lagi pintunya, eh tahunya ada ketukan lagi dari luar. Lama-lama kami baru sadar kalau ada tamu. Kami selalu ketawa kalau mengingatnya.

Bapak juga seorang fotografer. Bapak suka memotret. Kameranya Pentax. Bapak punya banyak koleksi foto, hanya beberapa yang selamat sampai sekarang. Sisanya pasti kami sudah corat coret jadinya tercecer. Bapak memotret kehidupan desa, model lukisan, buah-buahan, lokasi tanah, orang penting, peristiwa dan banyak hal. Saya suka hasil fotonya. Fotonya seperti bercerita. Kalau bapak masih hidup sekarang, kami pasti kompak bercerita karena saya juga suka memotret.  Kamera Pentax punya bapak telah berpindah dari tangan ke tangan. Semua barang milik bapak adalah milik semua orang, bapak tidak pernah hitung-hitungan ketika orang meminjam buku, kamera, dan barang-barang lainnya. Andaipun bapak punya uang berlebih, pasti itu juga akan dipinjamkan untuk orang lain. Tanpa bunga.

“Sayang kamu tidak banyak punya kenangan bersama bapakmu. Anak-anak zamannya Pak Tut yang paling dekat dengan Pak Suteja”. Kenang Pak Tut Engku (45 tahun).

Pak Tut Engku, adalah anak seorang mantri (perawat desa) yang terkenal di Sukawati dan sekitarnya namanya Pak Mura. Pak Mura adalah termasuk deretan orang kaya di Desa Sukawati, dulunya.

“Pak Tut sering heran, kenapa orang-orang suka ngumpul di rumah ini (rumah bapak). Padahal tempat juga ga ada, makanan juga ga ada.” kenang Pak Tut tersenyum simpul.

Iya, dulu sewaktu bapak belum sakit, dan sakit hati. Anak-anak di banjar saya dan dari banjar sebelah sering berkumpul dirumah. Bapak memang suka ‘mengumpulkan’ orang dirumah. Satu kali bapak pulang membawa, Karambol- ah bagaimana menulisnya- ini adalah papan koin sodok. Bisa dimainkan oleh 2-4 orang, dengan cara menyentil sampai koin-koin ludes masuk kedalam lubang. Ketika datang, mainan ini diserbu banyak orang besar-besar, sampai kami anak-anaknya bapak bisa main kalau sudah malam. Kali lain, bapak pulang membawa scrable, permainan kotak katik huruf menjadi kata atau kalimat. Tidak terhitung lagi permainan lainnya, seperti kartu, harmonica, pianika dan lainnya.

Ternyata setelah besar, saya baru tahu ini adalah strategi bapak menjadi community organizer, pengorganisasian masyarakat. Saya baru tahu ketika saya memasuki pergaulan pengorganisasian masyarakat. Sekarang profesi community organizer adalah profesi yang membanggakan, seorang CO membantu masyarakat dampingannya untuk berdaya mengatur sumber daya yang mereka miliki untuk kesejahteraan mereka. Dari bapak, saya belajar bahwa community organizer bukan sebuah profesi tetapi panggilan jiwa. Memang lebih mudah menjadi mengorganisir masyarakat ditempat lain daripada di tempat kelahiran kita sendiri, tetapi bapak sekali lagi menunjukkan integritasnya, dia mengorganisir masyarakat di desanya. Ini yang menjadi semangatnya sekaligus menjadi akar penyakit yang menggerogotinya. Dia sakit hati.. melebihi sakit Kanker yang dideritanya.

Saya masih kecil untuk menyadari perjuangan bapak untuk masyarakatnya. Apa kondisi ideal yang diinginkannya. Setahu saya banyak orang yang tidak suka. Saya ingat suatu saat dia dikasih baju Golkar berwarna merah. Dari ibu saya tahu, dia marah dan terhina. Diambilnya kuas dan cat, baju kaos berwarna merah itu digambar wajah seorang lelaki, mirip wajah bapak. Sebagai anak kecil, seringkali saya haru hati-hati masuk ke rumah orang, takutnya bapak habis ‘berdebat’ panas dengan si empunya rumah.  
Bercerita tentang bapak, sepertinya belum mau saya habiskan sampai disini. Ada banyak cerita yang ingin saya tuliskan mengenang bapak. Ini nanti mau saya sambung lagi menjadi Bab II, judul ke II atau apapun versi saudara.

Hari ini, tanggal 25 Desember 2012, tepat 20 tahun bapak meninggal. 20 tahun saya benar-benar kehilangan sosok seorang bapak, seorang panutan, seorang pahlawan dimata saya. Saya benar-benar rindu padanya. Saya ingin bicara dengannya, berkeluh kesah, menyandarkan kepala dipundaknya, didadanya yang berbulu. Berdiskusi dengannya yang selalu punya celah solusi. Malam ini, saya ingin mengunduh lagu, Ayah- Rinto Harahap, untuk menemani saya menghabiskan malam bernostalgia denganmu Bapak, Semoga Bapak tersenyum malam ini melihatku..

Dimana… akan ku cari..
Aku menangis, seorang diri.
Hatiku, slalu ingin bertemu..
Untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta, aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi

Kamis, 22 November 2012

Nasib Bunga Jepun di Sukawati


Sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Rasa malas mengalahkan keinginan menulis lagi, kenapa saya harus mengalah dengan malas. Baiklah, malam ini, aku akan mengalahkanmu…


Saya senang dengan kegairahan ini. Di Sukawati, begitu juga beberapa tempat lainnya di Bali, semua orang, tua muda, laki-laki perempuan, sibuk mengumpulkan bunga kamboja – jepun bahasa balinya – untuk dikeringkan dan dijual. Per tanggal saya menulis ini, sekilo harganya 100 ribu rupiah. Minggu lalu sempat tinggi mencapai harga 110 ribu rupiah.

Bunga jepun adalah bunga bermahkota lima helai, namun ada juga yang empat bahkan ada sepuluh helai dengan berbagai warna. Umumnya warna putih, putih ini bergradasi dari putih terang, putih tulang putih kekuningan tetapi selain putih ada juga berwarna merah hati, merah pink, merah kuning dalam satu bunga (jepun sudamala- istilah balinya), versi terbaru putih agak kecoklatan (yang ini saya belum punya dirumah). Tentu saja, kalau sudah kering menjadi satu warna, coklat!.

Dalam ingatan saya, dalam 2 tahun terakhir ini, permintaan pasar begitu tinggi terhadap bunga jepun di Bali. Kemajuan pariwisata di Bali, merambah pada semakin kreatifnya para pelaku wisata membuat paket wisata untuk memanjakan turis. Tentu tidak gratis, demi dollar. Salah satunya adalah wisata spa. Bunga-bunga jepun ini dibuat ekstrak untuk ramuan lulur, maupun produk spa lainnya. Pabrik-pabrik produk spa di Bali semakin membutuhkan lebih banyak pasokan bahan baku, karena produk mereka dipasarkan di luar negeri. Kabarnya, bunga jepun kering ini juga diekspor ke China.

Sebelum diolah menjadi produk spa, dulunya jepun kering ini diolah menjadi dupa. Dupa memang produk unggulan di Bali. Hampir setiap rumah tangga di Bali, khususnya di Bali bagian selatan menggunakan dupa untuk sesajen harian. Setiap hari sebuah rumah tangga di Bali menggunakan minimal 20 batang dupa, apabila ada taruhlah 500.000 rumah tangga menggunakannya, tentu ini merupakan pasar yang besar.

Satu kilo jepun kering, kira-kira sebanyak 1 plastik ukuran 10”, atau plastic warna merah yang biasa diecer 500rupiah di pasar. Tergantung seberapa banyak pohon yang kita andalkan, untuk mendapatkan bunganya. Kalau menunggu bunga rontok ‘normal’ dari pohon. Untuk tiga pohon, bisa sekitar 3-4 hari untuk mengumpulkannya. Kenapa saya bilang rontok normal? Karena sekarang kecenderungannya, orang-orang membuatnya rontok lebih cepat, ada yang membawa galah panjang atau dengan menggoyang-goyang batang untuk ‘memukul’ jatuh bunga.

Sepertinya semua orang larut dalam kemeriahan mengumpulkan bunga kering, cara cepat untuk mendapat uang kontan. Tinggal kumpulkan, jemur kering lalu jual. Untuk menjualnya, juga tidak perlu usaha. Ada pengepul yang setiap hari mendatangi rumah, bertanya apa sudah ada yang kering? Tidak hanya ada satu dua tiga orang pengepul. Setiap menjual bunga, ibu tidak punya langganan alhasil selalu ada muka berbeda yang membawa timbangan untuk bertransaksi. Timbangannya yang dipegang tangan, ada berbentuk bulat ada yang segi empat persegi. Harusnya untuk timbangan bunga kering, tidak perlu yang untuk ukuran kilo yang besar. Bayangan saya, cukup maksimal untuk 2 kg atau 5 kg. tetapi ternyata tidak, para pengepul itu umumnya membawa timbangan yang skalanya bisa untuk 10,15 atau 20 kg. belakangan saya baru tahu, ternyata semakin besar skala timbangan membuat tidak presisi untuk menimbang diangka kecil. Biasanya untuk kelebihan beberapa ons, tidak terbaca. Taktik dagang.

Nenek saya, yang seorang pedagang. Tidak mau terkecoh dengan taktik ini. Bahasa gaulnya, buaya dikadalin. Dia tidak mau bunganya ditimbang di timbangan pengepul, dia menimbangnya ditimbangan sendiri diwarungnya. Timbangan kuno, yang ada piringan bentuk mulut bebek ketika menimbang harus mendudukkan ‘batu-batu’ besi untuk membuatnya seimbang. Hasilnya dia selalu puas setiap transaksi.
Nenek saya, namanya Dadong Rarud. Dia nenek dari garis ibu. Dadong adalah sebutan untuk nenek dalam bahasa Bali. Namun sebagian besar orang Bali, sekarang malu menyebut dadong karena terkesan udik dan miskin. Beberapa keluarga sekarang memanggil dadong-nya dengan sebutan ‘Nek’, ‘Nini’, ‘Mbah’ atau ‘Odah’.

Dadong Rarud, perawakannya tidak proporsional, dari pinggang keatas besar dan pinggang kebawah mengecil. Kalau membaca majalah wanita, saya menangkap ini yang dimaksud dengan badan berbentuk buah pir. Betis yang kecil, membuat dia jalan kadang-kadang seperti orang oleng. Dadong Rarud usianya saya perkirakan sekitar 70 tahunan. Dadong Rarud, tidak suka saya memanggil dia lengkap dengan namanya, cukup dadong saja. Tidak sopan katanya menyebut nama orang yang lebih tua. Saya selalu melawan, saya bilang kalau kita diculik orang ditinggal dijalan kalau tidak tahu nama orang yang lebih tua bagaimana, ketika saya kecil, dia selalu mengejar saya dengan sapu lidi setelah saya melawan. Tetapi, setelah beranjak besar, Dadong hanya bilang ya.. nanti kena Karma kalau ngomong begitu. Mungkin Dadong berhitung, tenaganya tidak kuat lagi untuk mengejar saya dengan sapu lidinya.

Seperti umumnya orang Bali seusianya, jarang yang tahu tahun kelahiran. Dadong adalah pedagang di pasar Sukawati, dulu. Dia menjual bumbu-bumbu masakan, seperti bawang merah, bawang putih. Kios-nya kecil, 2x2 meter, dibawah tangga. Letaknya strategis. Namun sayang, pembeli sekarang tidak ada seusianya lagi. Orang-orang muda, lebih suka belanja di pedagang yang lebih muda. Mungkin dari bahan pembicaraan lebih ‘nyambung’. Anak-anaknya Dadong, mewanti-wanti agar Dadong berhenti kepasar daripada di pasar hanya bengong. Tapi bagi Dadong kepasar adalah panggilan jiwanya, dia senang ngobrol dengan orang. Setiap hari baru, seperti ada agenda baru. Setelah menyapu, memasak, dia mandi dan berangkat ke pasar. Dia bahagia.
Beberapa tahun lalu, Kaki – untuk sebutan kakek dalam Bahasa Bali- Muja, sakit keras. Sepertinya ada yang salah dengan saluran usus besarnya. Setelah sakit itu, dia seperti bayi lagi. Semua harus dibantu. Dadong terpaksa berhenti kepasar, khusus dirumah merawat Kaki. Beberapa tahun, ini mukanya drastic terlihat lebih tua dari sebelumnya. Dia tidak lagi rapi dan ‘dandan’. Menjadi ringkih, tua dan hampir pengangguran.

Untuk menghidupi dirinya, Dadong mengambil alih warung Pak Tut, anak lelaki satu-satunya yang lelah mengadu nasib berjualan dan tidak beruntung. Namun penghasilan warung tidak seberapa. Untuk sekarang musim jepun kering. Dadong menjual jepun kering. Dirumah Dadong ada sekitar 9 pohon jepun berbunga lebat. Kalau cuaca cerah, dalam dua hari dia bisa mengumpulkan sekilo jepun kering. Untuk membuat jepun kering lebih cepat, ada saja akal-akalan orang-orang. Mulai dari menjemurnya ditempat terbuka (sepanjang hari bertemu sinar matahari), ada diatas atap kamar mandi, ada juga diatas seng. Sepertinya menjemur diatas seng, membuat jepun lebih cepat kering.  Ibu saya bilang, jepunnya tidak usah terlalu kering, nanti ringan ketika ditimbang.

Seminggu sekali, Dadong biasanya menjual ke pengepul, hasilnya 3-4 lembar uang seratus ribuan berpindah tangan ke dadong. Dari situlah dia hidup. Pernah dia mendapat 600 ribu menjual jepun kering, entah stok berapa hari. Ada banyak Dadong-dadong dan Kaki-Kaki juga seperti Dadong Rarud. Ketika saya mengantar Ryan sekolah TK, banyak pemandangan manula (manusia lanjut usia) berkeliling membawa kresek untuk mengumpulkan bunga jepun yang jatuh. Jepun ini adalah uang kontan mereka, membuat mereka mandiri dan percaya diri.

Kalau ibu-ibu muda jangan ditanya, lebih banyak lagi jumlahnya. Anak-anak kecil seumuran SD, juga banyak yang berkeliling mengumpulkan jepun kering. Tadi sore, saya melihat dua orang anak laki-laki, satunya membawa sepeda dengan tas kresek hitam sudah penuh dengan bunga jepun. Satunya lagi berjalan kaki sedang mengambil bunga yang jatuh di selokan. Beberapa hari lalu, ketika mengunjungi ipar di Kesambi, 8 km dari Sukawati, ada 3 anak perempuan seumuran SD, satunya lagi mungkin dibawah 5 tahun. Mereka berhenti menanyai saya, apa boleh mengambil jepun yang jatuh. Dengan berat hati saya bilang, jangan karena pembantunya ipar juga mengumpulkan jepun kering untuk dijual. Lumayan kata ipar, dia sudah bisa membeli rice cooker akan dikirim pulang ke Jawa untuk keluarganya.

Ngomong-ngomong tentang hasil dari menjual jepun kering. Ibu saya mempunyai kebiasaan baru, membeli sekarung beras “Puteri Sejati” yang 25 kg setelah penjualan. Beras ini termasuk mahal karena nasinya pulen dan enak. Biar kelihatan hasilnya, alasan ibu. Sebulan kami mendapat gratis 2 karung beras dari jepun. Ibu mertua Diah, adik saya juga sangat bersyukur dengan 6 pohon jepun yang ada dirumahnya. Dia tidak lagi merogoh saku dalam-dalam untuk membiayai uang SPP dan uang bulanan anak perempuannya yang masih kuliah. Lumayan untuk pensiunan guru seperti dia.

Berkah jepun kering ini, seperti oase dipadang pasir bagi sebagian ibu-ibu rumah tangga. Uang jepun adalah uang ekstra untuk membeli kebaya, sandal, peralatan rumah tangga, jaja anak dan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga serta upacara adat. 

Namun di balik gemerlapnya kerincing uang jepun untuk manusia, ada kisah sedih untuk pohon jepun itu sendiri. Awalnya orang-orang mengumpulkan bunga yang rontok dari pohon, lama-lama karena permintaan bertambah, menyebabkan harga meningkat. Pohon jepun semakin tereksploitasi. Orang-orang mengumpulkan bunga jepun bukan hanya dari pekarangannya sendiri, tetapi sudah merambah- kalau tidak boleh dibilang ‘menjajah’ pohon milik orang lain. Orang-orang ini berkeliaran dimalam hari membawa galah untuk memetik bunga jepun. Saya menandai orang-orang ini berkeliaran sekitar jam 11 sampai jam 2 malam. Lagi lelap-lelapnya orang tidur, tapi bukan saya. Saya mendengar anjing-anjing menggonggong dan orang-orang memulai memetik bunga, mencuri. 5 pohon jepun di luar pekarangan rumah saya selalu amblas bunganya dimalam hari oleh orang-orang ini. Sudah tipis sekali rasa malu di Negara ini, digilas dengan kehausan akan rupiah dan rupiah..

Di kala sore hari, ketika anda jalan-jalan di Sukawati dan sekitar Guwang- desa disebelahnya, anda akan melihat pemandangan seragam, ibu-ibu yang membawa galah untuk memukul jatuh bunga jepunnya. Bunga yang seharusnya belum rontok, dibuat rontok, sebelum diambil orang lain. Seperti mengandaikan, anak perempuan yang lagi gadis-gadisnya dibunuh untuk dikeringkan. Ahh.. terlalu pakai hati saya menggambarkannya. Tapi begitulah, kasihan pohon jepun yang semakin tereksploitasi untuk ditukar dengan beberapa lembar 100ribuan. Tidak ada lagi pemandangan indah Bali yang sangat identik dengan jepunnya. Barang kali masih ada dibeberapa hotel, tentu karena karyawan bisa dipecat kalau memaksa memetik bunga jepun di pekarangan hotelnya.

Bunga Jepun memang identik dengan Bali, atau kebalik malahan. Orang Bali identik dengan jepun. Di beberapa brosur pariwisata, sering kita jumpai gadis Bali yang cantik dengan bunga jepun ditelinga mencakupkan tangan didepan dada, salam selamat datang di Bali. Tempat tidur dibeberapa hotel juga ditaburi bunga jepun, ketika tamu datang. Hiasan bunga untuk para penari juga adalah bunga jepun. Bunga jepun di pakai sembahyang, digunakan untuk menghiasi canangsari (sesajen), dan banyak lagi. Orang Bali umumnya memang suka menanam bunga yang bisa dipakai untuk upacara. Jepun adalah bunga yang tidak cepat layu. Bunga lain yang umumnya ada dipekarangan orang Bali adalah jepun, bunga nusa indah, bunga mawar, bunga cempaka, bunga sandat dan bunga tunjung (lotus). Itu dulu. Sekarang dengan perkembangan arsitektur minimalis, bunga jepun lebih cocok dan mewakili kepraktisan itu, karena pohonnya tumbuh tinggi sehingga bisa membuat teduh, dan yang pasti tidak banyak sampah.

Kenapa saya bilang bunga jepun itu lebih disukai karena tidak banyak sampah? Umumnya rumah orang Bali yang masih didesa, halamannya luas. Dulu, halaman luas ini dihiasi dengan berbagai macam pohon yang berbuah, paling banyak adalah mangga dan rambutan. Panennya bisa dipakai untuk membuat aturan (sesajen). Namun pohon buah adalah pohon yang paling banyak memakan ruang, karena batangnya yang kemana-mana, membuat rumah jadi terlihat sempit dan teduh (kalau terlalu lebat jadi lembab). Tetapi yang paling menyebalkan adalah pohon buah itu sampahnya banyak!. Karena daunnya kecil-kecil jadi terlihat berserakan, dan rumah terlihat kotor.

Saya menandai sekitar awal tahun 2000-an, setiap keluarga mulai menebang pohon buah yang ada dirumahnya untuk menanam pohon jepun. Halaman rumah orangpun, jarang yang masih ada ‘tanah’nya, ditutupi dengan paving block kalau tidak disemen permanen, yang berlebih uangnya menambah hiasan dengan memasang batu sikat berbagai motif.

Saya memang suka melihat desain rumah minimalis, tentu saya ragukan harganya juga minimalis, tapi maksimalis. Dengan hiasan taman, pohon jepun didepan pintu rumah, menggiring khayalan seperti berada di sebuah resort. Ketika mengunjungi mertua ke Surabaya, saya melihat berbagai macam desain rumah. Kebetulan rumah mertua dekat dengan perumahan mewah Galaxy di Surabaya. Tetapi desain itu, tidak memuaskan mata saya. Sampai kemudian, mata saya tertuju pada sekumpulan pohon jepun. Aha, ini pasti rumah minimalis, batin saya. Ternyata setelah mendekat, areal kuburan. Berbeda dengan di Bali, bunga jepun di Jawa identik dengan kuburan. Betapa kutub yang jauh sekali berseberangan.

Bunga jepun tumbuh bersama saya. Ketika kecil, saya sering bermain rumah-rumahan dibawah pohon jepun didepan pintu masuk rumahnya Iien. Ada dua pohon jepun tua, rantingnya memeluk satu sama lain. Dibawah pohon jepun itu, seperti ada gua. Saya senang bermain disitu dan menandainya sebagai ‘rumah saya’. Bunga jepun biasa kami ikat dengan karet gelang menjadi semacam ‘bola berumbai’. Bola ini kami mainkan dengan kaki sambil dihitung. Peraturannya hanya satu, bola tidak boleh jatuh ke tanah, dan semakin banyak kita bisa menendangnya, dialah pemenangnya. Bunga jepun, adalah bahan baku ketika kami main masak-masakan. Bunganya kami pisahkan per helai, pura-puranya menjadi ‘ayam sisit’ atau kami potong-potong dicampur dengan daun-daun lain untuk menjadi ‘lawar’. Bunga jepun menjadi hiasan kepala ketika kami bermain pura-pura ‘mepeed’. Kami menata bunga jepun diatas kepala, dijepit dengan penjepit. Mepeed adalah idaman kami, anak-anak perempuan pada masa itu. Karena itulah saat kita didandani dengan memakai baju adat lengkap, memakai make up dan perhiasan emas dan kemudian berjalan di jalan raya Sukawati, mengiringi rangkaian upacara di Pura. Saat itu, keluarga saya terlalu miskin untuk saya bisa mepeed.

Kenangan selalu membawa hawa hangat didalam hati. Tidak seperti masa sekarang dimana sepertinya setiap mahluk hidup terjebak dalam kerangka pasar. Bunga jepun yang tidak bersalahpun harus masuk perangkap pasar. Bunga jepun dipetik paksa, untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita. Alam terlalu terekploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita manusia, yang katanya berada dalam piramida puncak mahkluk hidup di bumi ini. Ah.. seandainya tidak ada manusia, mungkin binatang, tumbuh-tumbuhan akan hidup baik-baik saja di dunia. Mereka tumbuh, hidup, layu, dan bertunas lagi. Sampai kapan kita begini.. ah.. hari semakin merambat malam.

Heey.. saya berhasil melawan kemalasan saya menulis malam ini.. selamat. Saya harus memberi penghargaan kepada diri saya, segelas susu coklat hangat dan… malam yang gerimis, perpaduan yang pas.  Selamat datang gerimis.. mudah-mudahan si pencuri jepun enggan keluar dan lebih memilih untuk memeluk bantal. 

Selasa, 20 November 2012

Selamat Ulang Tahun yang ke 5, Rakryan.



Tanggal 20 November kemarin ini, anakku Rakryan Teja Abhimata genap berusia 5 tahun. Pernyataan klise seseorang yang mulai beranjak tua, ah.. tidak terasa waktu berjalan dengan cepat.

Hari itu, saya membawa dua kresek besar berwarna merah. Didalam kresek ada beberapa bingkisan snack untuk teman-teman Ryan di Sekolah, PAUD Sari Mekar di Sukawati. Di PAUD ini, Ryan sudah masuk di tahun kedua bersekolah. Selain snack, kami membawa sekotak kue ulang tahun bulan dengan hiasan berwarna biru, diatasnya tertulis: Selamat Ulang Tahun Ryan, dari Bapak, Ibu, Nara dan Runa. Kami yang membawanya itu adalah, Saya, Diah, Nara dan Runa, minus Bapaknya Ryan. Dia masih ada di Wanci untuk menyambut tamu VVIP kantornya. Kabarnya, rombongan donor yang akan memberi sinyal kelanjutan ‘nasib’ dapur kami.

Sibuk-sibuk ulang tahun sudah dari kemarin, saya dan Ryan pergi kepasar untuk membeli snack. Ryan sendiri yang memilih snack yang akan dijadikan bingkisan, ternyata dia sudah besar, sudah punya pilihan sendiri. Ryan membantu saya memasukkan snack kedalam bingkisan snack ulang tahun yang siap jadi. Ya.. meskipun berulang kali saya rapikan lagi, karena tulisan snacknya tidak tegak lurus dan seragam. Well, at least he was helping me.

Malamnya, Ryan tidur lebih awal karena capek seharian main. Saya pergi ke Denpasar membeli kue bersama Nara. Entah Nara sudah paham apa belum, dia berada dalam ‘aura’ persiapan pesta. Sebuah kue terbeli, tulisan ucapannya ditulis melingkar karena terlalu panjang hehe..

Teman-temannya Ryan dikelas ada sekitar 17 orang. Saya sudah tidak hapal lagi nama teman-temannya. Dulu ketika tahun pertama di Sekolah, saya ingat semua nama teman sekelasnya: ada Prasetya, Mang Bagus, Gus De, Angga, Ken, Wayan, Aditya, Raditya, Tu Eka, Krishna, Parama (kembarannya Ryan, mukanya nyaris sama), Reza, Gung Gek, Diah, Dita, Chelsea, Pashya, Jorani, Dek Ari, Dayu. Sekarang yang saya tahu nama teman sekelasnya Ryan adalah: Mang Ming, Cok Wid, Wisnu, Santa, Robi (yang paling nakal), teman ceweknya: Jorani, Dek Ari eh.. itu aja yang lainnya tidak tahu dan tidak kenal.

Semenjak Runa lahir, konsentrasi saya banyak terpecah. Rutinitas di pagi hari yang paling padat. Memasak, menemani makan, memandikan ketiga bocah, menyiapkan Ryan masuk sekolah, mengantarkannya, menyusui Runa, menidurkannya, main dengan Nara, menjemput Ryan lagi di sekolah, hampir tidak ada jeda. Jarang saya bisa menunggui Ryan di sekolah, tidak seperti ditahun pertama. Di pagi hari, saya mengantarkan dia ke sekolah. Kalau anak-anak belum berbaris, Ryan masih mau ke kelas untuk menaruh tas yang dibawa. Kalau terlambat, Ryan minta saya menaruh tasnya di kelas, sehingga dia bisa langsung masuk barisan. Naik motor dengan tiga anak, sangat merepotkan. Nara di depan memegang stang motor, Runa didalam gendongan kain, dan Ryan di belakang. Sudah tidak ada tempat untuk anak ke empat di motor saya, mungkin di ban?

Ryan sudah besar, sering kali dia yang malah menyuruh saya pulang, jangan menunggui dia disekolah. Sebenarnya saya khawatir dia di bully teman, karena pernah suatu hari dia pulang dengan tangan sobek, katanya dicubit temannya. Ryan itu lugu, dia senang diajak bermain sama temannya. Sampai uang sakunya pun dibagikan temannya. Sebenarnya, saya khawatir, ketika dia disekolah apakah dia bermain di ayunan atau perosotan dengan aman, bagaimana dia disekolah, apakah dia bisa menangkap pelajaran dengan baik. Sekolah itu bagaikan medan perang, dia tidak selalu ada dalam lindungan kita. Suami saya bilang, hilangkan perasaan itu, biarkan dia tumbuh dengan hidupnya. Beginilah hidup. Ryan harus belajar.

Hari kemarin, sudah tepat lima tahun saya melahirkan Ryan. Peringatan ulang tahun anak-anak, adalah peristiwa menarik balik kenangan yang saya alami ketika melahirkan mereka. Ketika melahirkan Ryan, saya berusia 27 tahun. Saya menikah di usia 26 tahun, 10 bulan kemudian belum hamil. Hamil pertama keguguran di usia kandungan dua bulan. Kata dokter, janinnya tidak berkembang dengan baik. Ryan adalah kehamilan kedua dan anak pertama saya.

Saya memeriksakan kandungan saya (ketika mengandung Ryan) pada seorang Ginekolog terkenal di kota Denpasar, dan mempunyai spesialisasi fertilitas dibelakang embel-embel SPOG-nya. Dokter itu, ramah dipermukaan dia mempersilahkan pasiennya hanya 5-10 menit di ruangan. Tidak heran juga, Karena setiap malam pasiennya mencapai 70 orang. Kalau booking antrean di hari yang sama untuk periksa, saya sering mendapat nomor antri berkepala 6 mewakili 60an.

Saya nyaman dan percaya dengan pemeriksaan dokter itu, dan berencana hendak melahirkan dibantu olehnya. Namun belakangan, dokter ini menganjurkan saya untuk operasi Caesar ketika melahirkan, saya kehilangan kepercayaan terhadap dokter ini. Saya memilih untuk melahirkan normal, senormal-normalnya. Hasilnya sebulan sebelum melahirkan saya ‘melarikan’ diri untuk konsultasi diseorang bidan di kota Denpasar. Bidan itu punya klinik bersalin di rumahnya. Setiap minggu juga dia mengadakan senam hamil gratis untuk para ibu hamil. Belakangan saya menyadari, ini merupakan strategi marketingnya juga, agar ibu-ibu percaya diri melahirkan normal sehingga bisa dibantu di klinik bersalin mereka. Pada bidan ini tidak berhak untuk membantu persalinan dengan operasi. Semaksimal mungkin mereka membantu ibu-ibu untuk melahirkan normal, karena itu ‘dapur’ mereka juga.

Perkiraan lahir dari bulan ke bulan berubah, saya menandai Ryan kemungkinan lahir antara tanggal 5 – 10 November 2007. Karena anak pertama, Bapaknya Ryan sudah mulai stand by menjadi suami siaga (siap antar jaga) sejak tanggal 5. Beberapa hari kemudian, ibu mertua datang dari Surabaya untuk ikut menemani melahirkan. Hari demi hari berlalu, saya semakin rajin jalan-jalan. Kami mulai menghitung hari namun menunggu memang pekerjaan yang membosankan dan menegangkan. Dua minggu sudah Bapaknya Ryan di Bali sementara tugasnya di Wakatobi. Dia memberi ultimatum, kalau didalam minggu ini tidak lahir, maka dia harus ke Jakarta dulu dua hari. Hari itu hari Minggu, sehabis senam hamil saya mengalami Flek, siang itu saya periksakan. Katanya sudah bukaan dua, perawat yang usianya baru awal duapuluhan dan pastinya belum menikah – mengatakan mungkin masih lama melahirkannya bisa jadi 3-4 hari lagi.

Sesampai dirumah, kontraksi ini semakin menjadi-jadi. Perut saya sudah mulai kontraksi palsu sejak sebulan yang lalu. Saya mengeluh sakit perut terus kepada Bapaknya Ryan. Ketika kontraksi asli keluar, dia malah bilang ahh.. acting ibunya .. sial! Hari senin siangnya kami kembali periksakan ke klinik. Sakit perut semakin hebat, rasanya seperti sakit perut ketika menstruasi, perih teriris-iris. Hebatnya, sakitnya semakin dekat jaraknya. Siang itu, perawat masih mengatakan bahwa baru bukaan dua. Saya disuruh pulang dulu. Kami pulang, tapi keadaan tidak lebih baik. Sakit perutnya semakin menghebat. Duduk salah berdiri salah. Suami malah sibuk mengambil foto saya ketika saya sedang kesakitan. Begitulah para lelaki yang tidak pernah merasakan sakit melahirkan..hehe..masih bisa cengangas cengenges.

Malamnya, saya tidak bisa menahan lagi. Ibu mertua menyarankan mendingan menunggu sakitnya di klinik saja. Jam 10 malam kami kembali ke klinik, untung jarak rumah dan klinik tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 5-6 km. kembali saya diperiksa dalam, ditusuk dengan jari, saya paling benci pemeriksaan model begini. Perawat mengatakan saya sudah bukaan empat, mungkin sebentar lagi melahirkan. Saya langsung dibawa ke lantai dua, karena saya memilih kamar yang dilantai dua. Saya langsung ganti kain dan baju, dan bersiap-siap untuk melahirkan. Saya pikir dalam waktu dua jam akan melahirkan, ternyata penantian saya harus lebih panjang lagi. Setelah berjuang melawan kantuk, karena dua hari tidak tidur nyenyak, akhirnya saya berhasil melahirkan Ryan jam 4.30 pagi. Dia lahir ditengah teriakan saya yang membahana membelah pagi. Ditengah kesakitan, saya teringat bapak yang telah meninggal, saya berteriak.. Bapaaakkk.. Ibu mertua teriris lirih mendengarnya, jangan ditanya ibu saya. Matanya banjir airmata. Ryan lahir putih bersih berselimut lemak, ibu saya pikir seperti dilapisi cat. Ryan lahir dengan panjang 52 dan berat 3,1 gram. Pagi itu hari selasa.

Veda sangat gembira, Ryan anak pertama kami. Mungkin karena alasan itu, atau karena alasan akhirnya dia bisa potong rambut, setelah puasa potong rambut selama 9 bulan. Orang Bali percaya bahwa pamali para suami potong rambut ketika istri lagi hamil. Ibu-Ibu kami juga senang. Saking senangnya mereka semua pergi meninggalkanku sendiri diruang melahirkan sementara mereka mengikuti bayi ke ruangan bayi.. tidak mungkin tertukar karena dia satu-satunya bayi di Klinik hari itu.

Lima tahun telah berlalu, hari ini Ryan semakin hari semakin… NAKAL. Dia suka sekali menggoda adiknya Nara, sampai Nara dibuat mengangis. Ada saja kelakukan kelakukan Ryan yang membuat berdiri rambut saya. Ryan sekarang mulai belajar berhitung. Ketika saya sodorkan tiga jari ditangan kiri ditambah lima jari kanan, dia selalu menghitung mulai dari satu. Saya bilang tidak usah dihitung lagi yang tiga, langsung saja ke empat ditangan kanan. Namun begitulah, Ryan dia selalu menyelesaikan dengan caranya dan memang menghasilkan angka delapan. Saya selalu mempunyai sudut pandang dari cara saya, bahwa ini yang terbaik dan ini yang ‘seharus’nya dilakukan Ryan.

Mungkin Tuhan menitipkan anak kepada orang tua, agar kita sebagai orang tua harus selalu belajar. Dari ini saya belajar banyak dengan Ryan, bahwa saya harus melebarkan ruang empati saya untuk lebih memahami dia dari persepktif seorang anak yang sedang belajar. Terkadang saya tidak sabar dengan proses ini. Sebagaimana orang tua lainnya, mungkin, saya selalu merujuk dengan pengalaman masa lalu. Ketika kecil, saya menjadi ‘pemimpin’ diantara teman-teman saya. Saya merencanakan kegiatan yang akan kami lakukan hari itu, main masak-masakan, bermain dibawah tanaman bambu, bermain rumah-rumahan dan lainnya. Saya mengatur, ini menjadi ini dan rumahnya disini dan lainnya. Sekarang saya berhadapan pada Ryan yang menjadi pengikut. Dia senang bermain dengan temannya, tapi dia bukan pemimpin. Dia hanya ikut-ikutan, terkadang di-bullying oleh temannya.

Suatu hari dia pulang dengan tangan kiri yang lecet, dia bilang dicubit temannya. Ketika ditanya lebih lanjut nama temannya, dia tidak mau bilang. Dari ibu-ibu yang menunggui anaknya disekolah, saya dapat berita kalau Robi yang mencubit Ryan. Robi ini anaknya kecil, tubuhnya lebih pendek dari Ryan, berkulit hitam seperti orang India berkulit hitam, hitamnya mengkilap. Mukanya hampir tidak tersenyum dengan alis yang hampir menyentuh satu dengan lainnya. Ketika melihat ibunya, saya menyadari Robi ini mirip ibunya, minus senyum. Saya tidak mau intervensi Robi dan menanyainya kenapa mencubit Ryan. Hanya saya bilang kepada Ryan, kalau ada orang yang pukul Ryan, Ryan harus balas pukul. Kalau ada yang cubit Ryan, Ryan harus balas cubit. Kalau tidak, temannya Ryan akan terus-terus mukul Ryan. Ketut, pengasuhnya Ryan terkejut. Saya melarang untuk membunuh binatang, nanti ibunya menangis. Ryan menyanggah: ‘bagaimana kalau yang mati ibunya?’. Saya menjawab: ‘ya anaknya yang menangis’. Meskipun menyanggah Ryan biasanya menurut.
Sebagai seorang ibu, mengasuh anak membawa saya seperti berkaca pada masa lalu. Ada beberapa hal dimasa lalu yang ingin kita perbaiki, kita dapatkan, kita tularkan pada anak sehingga anak tidak mengalami masa yang buruk. Namun seperti yang ditampilkan disebuah iklan, tidak mungkin kita ‘membungkus’ anak didalam plastic agar tidak kena ‘debu-debu’ dunia. Kadang saya mengurut dada dan mengendurkan saraf, bahwa Ryan harus ‘tumbuh’ dengan hidupnya. Saya menyadari Sekolah adalah medan perangnya yang pertama.

Ryan, selamat ulang tahun.. Semoga Ryan sehat selalu dan tumbuh dengan baik.. Nama Ryan selalu ada dalam doa ibu..