Bapak, Dengarkanlah Aku Ingin Berjumpa
Suatu pagi yang menggairahkan di Kendari, seorang kenalan
baru menyarankan saya untuk menulis tentang bapak saya. Teman baru ini adalah
Andreas Harsono, seorang journalis yang senang untuk berbagi ilmu menulis
kepada penulis pemula. Saya sedang mengikuti pelatihan menulis yang dia berikan
untuk wartawan dan aktivis lingkungan di Kendari saat itu. Saat itu tahun 2006,
sepulang dari kami melakukan perjalanan menjelajahi kota wakatobi. Saya sedang
berbulan madu sambil menemani suami bekerja dan Mas Andreas bersama Norman, anak
laki-lakinya ikut dalam rombongan wartawan yang meliput kegiatan di wakatobi.
“Mengapa kamu tidak menulis tentang ayahmu? Saya yakin ada
banyak kenangan yang mengendap dan pasti banyak cerita yang bisa disampaikan.
Cobalah” saya coba meraba mengingat kata-katanya.
Enam tahun setelah itu, saya baru mewujudkan saran itu. Saya
ingin menulis kenangan tentang bapak saya. I Wayan Suteja. Sebenarnya, ada
judul lain didepan namanya, Drs – Dokterandus. Menandakan dia telah
menyelesaikan pendidikan sarjana. Di Banjar saya, seorang teman dekat bapak
yang kemudian beralih menjadi ‘musuh’ ideologi bapak, masih awet menyandang BA
(bachelor) karena dia tidak lulus sarjana.
Bapak, adalah seorang bapak yang hangat. Saat dia
menyediakan waktu untuk anaknya, dia benar-benar melakukannya. Tidak seperti
ibu. Ibu sering selalu ada dirumah, terlihat menemani main tetapi sambil
memasak, mencuci, menyapu. Saya dan Diah, selalu menunggu saat bermain ombak ke
pantai. pantai dari rumah kami berjarak 5 kilometer, saat itu terasa jauh
karena radius bermain kami tidak sampai 1 kilometer dari rumah. Saat kecil,
diajak kepantai adalah kemewahan tiada terkira. Sungguh sangat mewah, ketika
satu hari bapak mengajak kami mandi di pantai Kuta. Saya ingat, kala itu kami
naik Vespa dari Sukawati. Diah tidak berminat mandi di Kuta, jadi dia memilih
membeli bibit pohon cemara untuk dipelihara dirumah. Bapak membeli kaca mata
hitam, saya ingat harganya Rp. 3000 dan saya membeli celana dalam untuk ganti. Saat
itu, kami harus parkir jauh sebelum masuk ke pantai Kuta. Pantai Kuta dalam
ingatan saya tidak seperti sekarang. Agak jauh jalan dari tempat kami parkir
Vespa untuk menyentuh bibir pantai berpasir. Dari bibir pantai agak jauh juga
untuk menyentuh air laut. Sama seperti di pantai Purnama di Sukawati, pantainya
yang saya kenali saat kecil sangat luas dan rimbun pohon kelapa. Sekarang terancam
abrasi. Saat itu masih ada beberapa karang dipinggir pantai Kuta. Dua orang
anak seumuran saya, 7 tahunan, ikut berenang. Bedanya mereka sudah pakai baju
renang.
Bapak adalah seorang Pelukis. Bapak lulusan Sekolah Menengah
Seni Rupa di Ubud. Gaya lukisan bapak adalah gaya Ubud yang menggambarkan
kehidupan tradisional masyarakat Bali. Temanya pasar, dan kehidupan pedesaan. Terkadang
juga bapak membuat lukisan burung-burung dengan gaya Pengosekan. Bapak memulai
ritual melukisnya dengan sketsa pensil. Pensil diorat oret untuk membuat tema
dan membuat ruang. Setelah itu, dipercantik dengan tinta cina. Saya sering
membantu bapak untuk membuat adonan tinta cina. Batangan tinta digosok dengan
air sampai pekat. Satu hari bapak gembira luar biasa karena bisa membeli pulpen
‘Rotring’, penemuan hebat kala itu untuk menebalkan garis tepi lukisan. Sesekali
bapak membiarkan saya dan Diah untuk mencorat coret sketsanya. Atau ketika
suatu kali, kami asal mencoret kanvas tanpa izin, bapak tidak marah. Hanya menggosok-gosok
rambut kami. Kata ibu, bapak ‘menitip’kan lukisan-lukisan itu pada seorang
temannya di Ubud. Entah laris atau tidak, yang ada setiap hari kami makan
dengan menu yang sama, pindang dan sayur bayam yang dipetik ibu setiap sore
dipinggir kali.
Selain melukis, bapak adalah menguasai seni yang lain. bapak
aktif membuat pementasan drama tari di Bale Banjar. Didalam drama tari itu, dia
juga berperan sebagai raja manis. Raja manis adalah peran protagonis yang
selalu dianiaya oleh raja buduh- peran antagonis. Ketika pementasan, bapak
sebagai raja manis mau dibunuh oleh raja buduh, ditengah orang sedang terhanyut
dalam emosi sedih, Diah adik saya berteriak: jangan bunuh bapak saya, bapak..
bapak.. Pecahlah tawa orang-orang sedari awalnya sedih tersayat sembilu. kami
masih sangat kecil waktu itu, mungkin sekitar lima tahunan, diah mungkin empat
tahun. Kami hanya beda setahun. Ibu dengan menahan malu, langsung mengajak kami
pulang. Bahaya, kalau masih bertahan, bisa-bisa Diah lari ke tengah panggung
untuk ‘menyelamatkan’ bapak dari raja buduh.
Bapak juga pintar membuat patung. Dimasa mudanya dia membuat
puluhan patung yang dipajang dibeberapa tempat di Sukawati. Ketika dimutasi ke
Singaraja, saya mendengar cerita bahwa dia juga membuat patung disekolah
tempatnya mengajar. Setelah bapak dipindah ke sebuah SMP di Blahbatuh, saya
beberapa kali diajak bapak untuk membuat patung di sekolahnya. Seingat saya,
patung itu menghiasi kolam, pusat pemandangan disana. Ketika bapak sakit dan
hanya bisa terbaring dirumah, bapak tetap membuat patung. Seringkali saya
disuruh naik sepeda membeli semen biasa dan semen putih di sebuah toko
kelontong milik orang China di Sukawati. Saya sering sebal harus membeli
perlengkapan itu sebelum bermain bersama teman-teman. Kenapa harus selalu saya,
kenapa tidak Diah?. Ah adikmu kan masih kecil, begitu sahut ibu berulang-ulang.
Seperti membuat lukisan, bapak membuat sketsa patung terlebih dahulu. Setelah itu,
dia membuat rangka dengan besi. Rangka utama dibuat dari besi yang agak tebal
yang diplintir dan dijalin dengan kawat besi. Pak Ngurah, teman setia bapak,
sering membantu bapak membuat rangka patung ini, ketika tangan bapak mulai
tidak kuat melekuk-lekuk besi. Patung diri bapak dari leher ke atas, sekarang
menjadi satu-satunya patung peninggalan bapak dirumah. Patung itu awal, ditempa
sinar matahari dan hujan. Hanya ‘hidung’nya yang kurang mancung, copot.
Sebelum bapak sakit, bapak sempat belajar menari Topeng.
Tarian Topeng sering kita lihat ketika ada upacara di Pura. Tarian Topeng tidak
hanya sekadar bisa menari, tetapi juga harus bisa bertutur. Tarian Topeng
adalah tarian yang mengisahkan perjalanan seorang raja disebuah kerajaan yang
penuh dengan nasehat-nasehat kehidupan. Bapak adalah sebuah aktor, ketika dia
keluar kamar, dia tidak sekedar berjalan menyingkap korden didepan pintu kamar,
gayanya menyingkap korden bergaris merah itu seperti Topeng Tua yang berjalan
tertatih-tatih. Dia selalu berhasil membuat kami tertawa.
Bapak suka puisi. Bapak suka puisi Chairil Anwar yang
membara meledak, dahsyat. Sepertinya saya juga melihat bapak dalam puisi
Chairil Anwar, dia begitu muda, ingin merdeka, bebas dan bersemangat. Sama
seperti idolanya, bapakpun mati muda. Bapak bangga ketika tahu saya mewakili
sekolah untuk lomba baca puisi. Bapak juga bangga ketika saya dan Iien, diminta
para pemuda untuk membaca puisi kalau ada kegiatan di Banjar. Meski santai,
bapak galak dalam beberapa hal terutama masalah belajar. Suatu ketika saya
pindah sekolah, adaptasi sekolah memang mudah untuk anak-anak. Ada beberapa hal
yang harus saya sesuaikan dengan sekolah baru. Salah satunya adalah menulis
aksara Bali. Perbedaan gaya menulis ini membuat tulisan saya tidak dikirim ke
sebuah lomba. Sesampai dirumah, saya lapor bahwa saya tidak dikirim lomba dan
langsung menuju radio mencar gelombang kesayangan saya, Satria Kamandanu. Ah..
betapa saya cinta dengan drama radio ini, mengantarkan imajinasi saya pada
sejarah dan kehidupan orang ‘besar’. Bapak langsung mendekat dan mematikan
radio.
“Sudah tahu tulisan tidak dikirim, bukannya belajar
memperbaiki tulisan. Sekarang belajar!”. Perintah Bapak.
Bapak aktif di pramuka. Kata ibu, dulu sebelum bapak dimutasi
ke Singaraja, bapak mengajar di SMP Negeri 1 Sukawati. Disekolah ini bersama
Bapak Badrawan, guru bahasa inggris, bapak menjadi Pembina pramuka. Kegiatan
pramuka di tahun ini sangat menggairahkan. Bapak menrancang beragam kegiatan.
Meme Made Swasti, adiknya ibu adalah murid bapak di SMP. Dia murid pertama yang
diajak jalan mencari tanda jejak sampai kemah di Kintamani. Saya masih punya
fotonya. Untuk kegiatan pramuka, bapak tidak tanggung-tanggung sampai rela
berkorban uang padahal keadaan kami begitu miskin. Ibu mengingat pernah suatu
hari siswa bapak ke rumah, mereka disuruh mengambil beras dirumah untuk dimasak
dalam kegiatan pramuka padahal itu adalah satu kilo beras terakhir yang kami
punya.
Bapak adalah seorang Guru, guru sekolah menengah pertama.
Setelah lulus dari IKIP di singaraja, bapak mengajar di SMP N 1 Sukawati.
Beliau mengajar berbagai mata pelajaran dari matematika, bahasa inggris,
biologi dan menggambar. Beliau di mutasi ke Gerogak-Singaraja ketika saya masih
umur 3-4 tahun. Saya juga tidak ingat. Kata ibu, setiap bapak pulang dari
singaraja, saya tidak mau digendong. Bapak sedih sampai menangis. Ketika beliau
dimutasi lagi ke Blahbatuh, lebih dekat dari rumah kira-kira 14 kilometer lah
zaman itu karena belum ada bypass- beberapa kali bapak mengajak saya menemani
dia mengajar. Saat itu bapak mengajar bahasa inggris, saya ingat, cara dia
mengajar siswanya menghafal pembendaharaan kata (vocabulary) adalah dengan
menggambar. Bapak menggambar tempat tidur, kursi dan meja, indah sekali, persis
aslinya. Siswanya senang, saya ingat mereka mengangguk-angguk dan terkadang tertawa
terbahak-bahak. Tidak ada siswa yang mengantuk apalagi lain-lain. saya suka
mengintip dari bawah meja dibarisan belakang. Bapak juga menjadi guru kursus
bahasa inggris di sebuah lembaga kursus di denpasar. Kadang-kadang saya juga
sering diajak bapak ikut ketempat kursus. Saya tidak suka kesana, susah untuk
pipis. Klosetnya tinggi, belakangan ketika besar saya tahu itu namanya kloset
duduk, berbeda dengan kloset dirumah, kloset jongkok. Tetap saja saya jongkok
diatas kloset duduk. Setelah besar, dan bepergian saya jadi geli membaca
petunjuk yang ditempel di tutup kloset duduk yang memberikan informasi jangan
jongkok diatas kloset duduk. Peringatan itu selalu membawa saya kembali ke
kotak memori ditempat kursus ini.
Bapak adalah seorang wartawan. Bapak suka begadang, bergelut
dengan mesin ketik manualnya. Bunyi tak tik tak tik.. trek tek tek tek… menjadi
irama ditengah suara jangkrik dan kodok dimalam hari. mesin ketiknya bermerek
brother. Seingat saya, dia pernah punya mesin ketik berwarna hitam, saya lupa
mereknya. Setelah itu dia ganti dengan mesin ketik dengan bodi berwarna putih,
pitanya pun berwarna hitam dan merah. Harus ada tombol yang dipencet dibawah
untuk mengetik tulisan berwarna merah. Bapak tidak marah kalau saya sesekali
memainkan tombol mesin ketiknya. mungkin dibanjar saya, hanya bapak yang suka
menulis. Kata ibu, bapak suka mengirim tulisannya ke bali post. Inilah uang
saku tambahan buat bapak, karena gajinya telah habis dibabat rentenir kampong.
Bapak suka merokok, rokoknya tetap sama dari dulu. Rokok cap
bentoel. Ibu sebal dengan kebiasaan merokok bapak, dan membuat kerjasama dengan
saya untuk menyembunyikan rokoknya.ada hubungan apa antara seniman dengan
rokok. Saya sampai hapal lagunya I love
you blue of Indonesia yang dinyanyikan oleh Broeri Pesolima. Broeri adalah
penyanyi idola bapak. Bapak hapal semua lagu Bung Broeri, dia menyanyikan lagu
Broeri dari mandi, melukis, mengawali menulis, sampai ketika menidurkan saya
didalam gendongannya. Berhembus angin malam.. mencekam…
Balik lagi ke urusan tulis menulis. Kata ibu, bapak selalu
punya bahan untuk ditulis. Terang saja, gumam saya, bukunya bapak segudang. Itu
perumpamaannya, berhubung kami tidak punya gudang, istilah tepatnya mungkin
bertumpuk-tumpuk berserakan dari Bale Dauh sampai dengan Bale Dangin. Ibu saya
adalah seorang guru dengan gaji ya samalah dengan bapak saya. Gajinya jangan
ditanya lagi, sudah numpang lewat ditangan karena membayar rentenir. Saat itu,
lagi ngetrend setiap rumah tangga punya lemari panjangan, ibu juga tertarik.
Jadi dia mencicil beberapa kali untuk punya lemari itu. Biasanya rumah orang
lain lemari pajangan dihiasi dengan piring keramik dan cangkir keramik. Karena
ibu tidak punya piring keramik jadinya lemari pajangan untuk memajang koleksi
bukunya bapak.
Di desa saya, kerap terjadi perkelahian antar banjar. Meski
sebenarnya pelaku tawuran hanya banjar-banjar itu saja. Banjar Palak, Banjar
Babakan dan Banjar Kebalian. Kalau tidak banjar palak vs banjar babakan, Palak
vs kebalian atau kebalian vs babakan. Setiap tawuran, warga banjar
masing-masing sudah siap dengan senjata tajam dan batu-batu. Sebagai anggota
banjar, tentu bapak juga ikut keluar, hanya tidak membawa batu, dia membawa
pulpen dan kertas.
Saya ingat, bapak juga merintis majalah pariwisata judulnya
cakrawala pramuwisata. Majalah itu lahir tahun 1980an, sewaktu bapak belum
tumbang oleh kanker. Bapak menjadi kepala redaksi dan berkantor di renon-
sekarang kantor dinas pariwisata dan samsat terpadu Badung. Dikantor itu, ada
bale kulkul kecil di pojok kanan. Kalau saya diajak ikut, saya main-main disana
naik turun tangga, menunggu bapak sampai bosan. Dia sangat sibuk dan lama kalau
sudah bertemu dengan mesin ketik. Saya suka melihat renon dari atas bale
kulkul, masih pemandangan sawah.
Ketika menjadi kepala redaksi Majalah, bapak punya seorang
sekretaris, namanya Mbak Tutik. Mbak Tutik ini baik dengan saya. Kalau saya
diajak bapak main ke kantornya, saya suka dibuatkan minum dan diberi permen.
Tetapi ternyata mbak tutik menjadi pemicu marah-marah ibu dirumah, ternyata ibu
cemburu dengan mbak Tutik. Ah emak-emak, padahal menurut saya bapak biasa-biasa
saja dengan mbak tutik, tidak ada yang special. Dan aah ternyata dari kecil
saya sudah punya bibit sok tahu..
Untuk mengisi tulisan di majalah ini, selain bapak yang
paling banyak menulis, ada juga Pak Latra, yang rajin ke rumah menjemput bapak
untuk peliputan. Pak Latra juga seorang pemandu wisata. Suatu saat ketika
beliau kerumah, kami (saya, bapak dan diah) tidur-tiduran nonton televise di
ruangan tamu, saya main-main dengan pintu, tok tok tok.. ternyata ada yang
ketak ketok dibalik pintu. Saya pikir bapak balik becanda dengan saya.. lama
saya ketuk lagi pintunya, eh tahunya ada ketukan lagi dari luar. Lama-lama kami
baru sadar kalau ada tamu. Kami selalu ketawa kalau mengingatnya.
Bapak juga seorang fotografer. Bapak suka memotret.
Kameranya Pentax. Bapak punya banyak koleksi foto, hanya beberapa yang selamat
sampai sekarang. Sisanya pasti kami sudah corat coret jadinya tercecer. Bapak
memotret kehidupan desa, model lukisan, buah-buahan, lokasi tanah, orang
penting, peristiwa dan banyak hal. Saya suka hasil fotonya. Fotonya seperti
bercerita. Kalau bapak masih hidup sekarang, kami pasti kompak bercerita karena
saya juga suka memotret. Kamera Pentax
punya bapak telah berpindah dari tangan ke tangan. Semua barang milik bapak
adalah milik semua orang, bapak tidak pernah hitung-hitungan ketika orang
meminjam buku, kamera, dan barang-barang lainnya. Andaipun bapak punya uang
berlebih, pasti itu juga akan dipinjamkan untuk orang lain. Tanpa bunga.
“Sayang kamu tidak banyak punya kenangan bersama bapakmu. Anak-anak
zamannya Pak Tut yang paling dekat dengan Pak Suteja”. Kenang Pak Tut Engku (45
tahun).
Pak Tut Engku, adalah anak seorang mantri (perawat desa)
yang terkenal di Sukawati dan sekitarnya namanya Pak Mura. Pak Mura adalah termasuk
deretan orang kaya di Desa Sukawati, dulunya.
“Pak Tut sering heran, kenapa orang-orang suka ngumpul di
rumah ini (rumah bapak). Padahal tempat juga ga ada, makanan juga ga ada.”
kenang Pak Tut tersenyum simpul.
Iya, dulu sewaktu bapak belum sakit, dan sakit hati. Anak-anak
di banjar saya dan dari banjar sebelah sering berkumpul dirumah. Bapak memang
suka ‘mengumpulkan’ orang dirumah. Satu kali bapak pulang membawa, Karambol- ah
bagaimana menulisnya- ini adalah papan koin sodok. Bisa dimainkan oleh 2-4
orang, dengan cara menyentil sampai koin-koin ludes masuk kedalam lubang. Ketika
datang, mainan ini diserbu banyak orang besar-besar, sampai kami anak-anaknya
bapak bisa main kalau sudah malam. Kali lain, bapak pulang membawa scrable,
permainan kotak katik huruf menjadi kata atau kalimat. Tidak terhitung lagi
permainan lainnya, seperti kartu, harmonica, pianika dan lainnya.
Ternyata setelah besar, saya baru tahu ini adalah strategi
bapak menjadi community organizer, pengorganisasian masyarakat. Saya baru tahu
ketika saya memasuki pergaulan pengorganisasian masyarakat. Sekarang profesi
community organizer adalah profesi yang membanggakan, seorang CO membantu
masyarakat dampingannya untuk berdaya mengatur sumber daya yang mereka miliki
untuk kesejahteraan mereka. Dari bapak, saya belajar bahwa community organizer
bukan sebuah profesi tetapi panggilan jiwa. Memang lebih mudah menjadi
mengorganisir masyarakat ditempat lain daripada di tempat kelahiran kita
sendiri, tetapi bapak sekali lagi menunjukkan integritasnya, dia mengorganisir
masyarakat di desanya. Ini yang menjadi semangatnya sekaligus menjadi akar
penyakit yang menggerogotinya. Dia sakit hati.. melebihi sakit Kanker yang
dideritanya.
Saya masih kecil untuk menyadari perjuangan bapak untuk masyarakatnya.
Apa kondisi ideal yang diinginkannya. Setahu saya banyak orang yang tidak suka.
Saya ingat suatu saat dia dikasih baju Golkar berwarna merah. Dari ibu saya
tahu, dia marah dan terhina. Diambilnya kuas dan cat, baju kaos berwarna merah
itu digambar wajah seorang lelaki, mirip wajah bapak. Sebagai anak kecil, seringkali
saya haru hati-hati masuk ke rumah orang, takutnya bapak habis ‘berdebat’ panas
dengan si empunya rumah.
Bercerita tentang bapak, sepertinya belum mau saya habiskan
sampai disini. Ada banyak cerita yang ingin saya tuliskan mengenang bapak. Ini nanti
mau saya sambung lagi menjadi Bab II, judul ke II atau apapun versi saudara.
Hari ini, tanggal 25 Desember 2012, tepat 20 tahun bapak
meninggal. 20 tahun saya benar-benar kehilangan sosok seorang bapak, seorang
panutan, seorang pahlawan dimata saya. Saya benar-benar rindu padanya. Saya ingin
bicara dengannya, berkeluh kesah, menyandarkan kepala dipundaknya, didadanya
yang berbulu. Berdiskusi dengannya yang selalu punya celah solusi. Malam ini,
saya ingin mengunduh lagu, Ayah- Rinto Harahap, untuk menemani saya
menghabiskan malam bernostalgia denganmu Bapak, Semoga Bapak tersenyum malam
ini melihatku..
Dimana… akan ku cari..
Aku menangis, seorang diri.
Hatiku, slalu ingin bertemu..
Untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta, aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi