Kamis, 22 November 2012

Nasib Bunga Jepun di Sukawati


Sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Rasa malas mengalahkan keinginan menulis lagi, kenapa saya harus mengalah dengan malas. Baiklah, malam ini, aku akan mengalahkanmu…


Saya senang dengan kegairahan ini. Di Sukawati, begitu juga beberapa tempat lainnya di Bali, semua orang, tua muda, laki-laki perempuan, sibuk mengumpulkan bunga kamboja – jepun bahasa balinya – untuk dikeringkan dan dijual. Per tanggal saya menulis ini, sekilo harganya 100 ribu rupiah. Minggu lalu sempat tinggi mencapai harga 110 ribu rupiah.

Bunga jepun adalah bunga bermahkota lima helai, namun ada juga yang empat bahkan ada sepuluh helai dengan berbagai warna. Umumnya warna putih, putih ini bergradasi dari putih terang, putih tulang putih kekuningan tetapi selain putih ada juga berwarna merah hati, merah pink, merah kuning dalam satu bunga (jepun sudamala- istilah balinya), versi terbaru putih agak kecoklatan (yang ini saya belum punya dirumah). Tentu saja, kalau sudah kering menjadi satu warna, coklat!.

Dalam ingatan saya, dalam 2 tahun terakhir ini, permintaan pasar begitu tinggi terhadap bunga jepun di Bali. Kemajuan pariwisata di Bali, merambah pada semakin kreatifnya para pelaku wisata membuat paket wisata untuk memanjakan turis. Tentu tidak gratis, demi dollar. Salah satunya adalah wisata spa. Bunga-bunga jepun ini dibuat ekstrak untuk ramuan lulur, maupun produk spa lainnya. Pabrik-pabrik produk spa di Bali semakin membutuhkan lebih banyak pasokan bahan baku, karena produk mereka dipasarkan di luar negeri. Kabarnya, bunga jepun kering ini juga diekspor ke China.

Sebelum diolah menjadi produk spa, dulunya jepun kering ini diolah menjadi dupa. Dupa memang produk unggulan di Bali. Hampir setiap rumah tangga di Bali, khususnya di Bali bagian selatan menggunakan dupa untuk sesajen harian. Setiap hari sebuah rumah tangga di Bali menggunakan minimal 20 batang dupa, apabila ada taruhlah 500.000 rumah tangga menggunakannya, tentu ini merupakan pasar yang besar.

Satu kilo jepun kering, kira-kira sebanyak 1 plastik ukuran 10”, atau plastic warna merah yang biasa diecer 500rupiah di pasar. Tergantung seberapa banyak pohon yang kita andalkan, untuk mendapatkan bunganya. Kalau menunggu bunga rontok ‘normal’ dari pohon. Untuk tiga pohon, bisa sekitar 3-4 hari untuk mengumpulkannya. Kenapa saya bilang rontok normal? Karena sekarang kecenderungannya, orang-orang membuatnya rontok lebih cepat, ada yang membawa galah panjang atau dengan menggoyang-goyang batang untuk ‘memukul’ jatuh bunga.

Sepertinya semua orang larut dalam kemeriahan mengumpulkan bunga kering, cara cepat untuk mendapat uang kontan. Tinggal kumpulkan, jemur kering lalu jual. Untuk menjualnya, juga tidak perlu usaha. Ada pengepul yang setiap hari mendatangi rumah, bertanya apa sudah ada yang kering? Tidak hanya ada satu dua tiga orang pengepul. Setiap menjual bunga, ibu tidak punya langganan alhasil selalu ada muka berbeda yang membawa timbangan untuk bertransaksi. Timbangannya yang dipegang tangan, ada berbentuk bulat ada yang segi empat persegi. Harusnya untuk timbangan bunga kering, tidak perlu yang untuk ukuran kilo yang besar. Bayangan saya, cukup maksimal untuk 2 kg atau 5 kg. tetapi ternyata tidak, para pengepul itu umumnya membawa timbangan yang skalanya bisa untuk 10,15 atau 20 kg. belakangan saya baru tahu, ternyata semakin besar skala timbangan membuat tidak presisi untuk menimbang diangka kecil. Biasanya untuk kelebihan beberapa ons, tidak terbaca. Taktik dagang.

Nenek saya, yang seorang pedagang. Tidak mau terkecoh dengan taktik ini. Bahasa gaulnya, buaya dikadalin. Dia tidak mau bunganya ditimbang di timbangan pengepul, dia menimbangnya ditimbangan sendiri diwarungnya. Timbangan kuno, yang ada piringan bentuk mulut bebek ketika menimbang harus mendudukkan ‘batu-batu’ besi untuk membuatnya seimbang. Hasilnya dia selalu puas setiap transaksi.
Nenek saya, namanya Dadong Rarud. Dia nenek dari garis ibu. Dadong adalah sebutan untuk nenek dalam bahasa Bali. Namun sebagian besar orang Bali, sekarang malu menyebut dadong karena terkesan udik dan miskin. Beberapa keluarga sekarang memanggil dadong-nya dengan sebutan ‘Nek’, ‘Nini’, ‘Mbah’ atau ‘Odah’.

Dadong Rarud, perawakannya tidak proporsional, dari pinggang keatas besar dan pinggang kebawah mengecil. Kalau membaca majalah wanita, saya menangkap ini yang dimaksud dengan badan berbentuk buah pir. Betis yang kecil, membuat dia jalan kadang-kadang seperti orang oleng. Dadong Rarud usianya saya perkirakan sekitar 70 tahunan. Dadong Rarud, tidak suka saya memanggil dia lengkap dengan namanya, cukup dadong saja. Tidak sopan katanya menyebut nama orang yang lebih tua. Saya selalu melawan, saya bilang kalau kita diculik orang ditinggal dijalan kalau tidak tahu nama orang yang lebih tua bagaimana, ketika saya kecil, dia selalu mengejar saya dengan sapu lidi setelah saya melawan. Tetapi, setelah beranjak besar, Dadong hanya bilang ya.. nanti kena Karma kalau ngomong begitu. Mungkin Dadong berhitung, tenaganya tidak kuat lagi untuk mengejar saya dengan sapu lidinya.

Seperti umumnya orang Bali seusianya, jarang yang tahu tahun kelahiran. Dadong adalah pedagang di pasar Sukawati, dulu. Dia menjual bumbu-bumbu masakan, seperti bawang merah, bawang putih. Kios-nya kecil, 2x2 meter, dibawah tangga. Letaknya strategis. Namun sayang, pembeli sekarang tidak ada seusianya lagi. Orang-orang muda, lebih suka belanja di pedagang yang lebih muda. Mungkin dari bahan pembicaraan lebih ‘nyambung’. Anak-anaknya Dadong, mewanti-wanti agar Dadong berhenti kepasar daripada di pasar hanya bengong. Tapi bagi Dadong kepasar adalah panggilan jiwanya, dia senang ngobrol dengan orang. Setiap hari baru, seperti ada agenda baru. Setelah menyapu, memasak, dia mandi dan berangkat ke pasar. Dia bahagia.
Beberapa tahun lalu, Kaki – untuk sebutan kakek dalam Bahasa Bali- Muja, sakit keras. Sepertinya ada yang salah dengan saluran usus besarnya. Setelah sakit itu, dia seperti bayi lagi. Semua harus dibantu. Dadong terpaksa berhenti kepasar, khusus dirumah merawat Kaki. Beberapa tahun, ini mukanya drastic terlihat lebih tua dari sebelumnya. Dia tidak lagi rapi dan ‘dandan’. Menjadi ringkih, tua dan hampir pengangguran.

Untuk menghidupi dirinya, Dadong mengambil alih warung Pak Tut, anak lelaki satu-satunya yang lelah mengadu nasib berjualan dan tidak beruntung. Namun penghasilan warung tidak seberapa. Untuk sekarang musim jepun kering. Dadong menjual jepun kering. Dirumah Dadong ada sekitar 9 pohon jepun berbunga lebat. Kalau cuaca cerah, dalam dua hari dia bisa mengumpulkan sekilo jepun kering. Untuk membuat jepun kering lebih cepat, ada saja akal-akalan orang-orang. Mulai dari menjemurnya ditempat terbuka (sepanjang hari bertemu sinar matahari), ada diatas atap kamar mandi, ada juga diatas seng. Sepertinya menjemur diatas seng, membuat jepun lebih cepat kering.  Ibu saya bilang, jepunnya tidak usah terlalu kering, nanti ringan ketika ditimbang.

Seminggu sekali, Dadong biasanya menjual ke pengepul, hasilnya 3-4 lembar uang seratus ribuan berpindah tangan ke dadong. Dari situlah dia hidup. Pernah dia mendapat 600 ribu menjual jepun kering, entah stok berapa hari. Ada banyak Dadong-dadong dan Kaki-Kaki juga seperti Dadong Rarud. Ketika saya mengantar Ryan sekolah TK, banyak pemandangan manula (manusia lanjut usia) berkeliling membawa kresek untuk mengumpulkan bunga jepun yang jatuh. Jepun ini adalah uang kontan mereka, membuat mereka mandiri dan percaya diri.

Kalau ibu-ibu muda jangan ditanya, lebih banyak lagi jumlahnya. Anak-anak kecil seumuran SD, juga banyak yang berkeliling mengumpulkan jepun kering. Tadi sore, saya melihat dua orang anak laki-laki, satunya membawa sepeda dengan tas kresek hitam sudah penuh dengan bunga jepun. Satunya lagi berjalan kaki sedang mengambil bunga yang jatuh di selokan. Beberapa hari lalu, ketika mengunjungi ipar di Kesambi, 8 km dari Sukawati, ada 3 anak perempuan seumuran SD, satunya lagi mungkin dibawah 5 tahun. Mereka berhenti menanyai saya, apa boleh mengambil jepun yang jatuh. Dengan berat hati saya bilang, jangan karena pembantunya ipar juga mengumpulkan jepun kering untuk dijual. Lumayan kata ipar, dia sudah bisa membeli rice cooker akan dikirim pulang ke Jawa untuk keluarganya.

Ngomong-ngomong tentang hasil dari menjual jepun kering. Ibu saya mempunyai kebiasaan baru, membeli sekarung beras “Puteri Sejati” yang 25 kg setelah penjualan. Beras ini termasuk mahal karena nasinya pulen dan enak. Biar kelihatan hasilnya, alasan ibu. Sebulan kami mendapat gratis 2 karung beras dari jepun. Ibu mertua Diah, adik saya juga sangat bersyukur dengan 6 pohon jepun yang ada dirumahnya. Dia tidak lagi merogoh saku dalam-dalam untuk membiayai uang SPP dan uang bulanan anak perempuannya yang masih kuliah. Lumayan untuk pensiunan guru seperti dia.

Berkah jepun kering ini, seperti oase dipadang pasir bagi sebagian ibu-ibu rumah tangga. Uang jepun adalah uang ekstra untuk membeli kebaya, sandal, peralatan rumah tangga, jaja anak dan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga serta upacara adat. 

Namun di balik gemerlapnya kerincing uang jepun untuk manusia, ada kisah sedih untuk pohon jepun itu sendiri. Awalnya orang-orang mengumpulkan bunga yang rontok dari pohon, lama-lama karena permintaan bertambah, menyebabkan harga meningkat. Pohon jepun semakin tereksploitasi. Orang-orang mengumpulkan bunga jepun bukan hanya dari pekarangannya sendiri, tetapi sudah merambah- kalau tidak boleh dibilang ‘menjajah’ pohon milik orang lain. Orang-orang ini berkeliaran dimalam hari membawa galah untuk memetik bunga jepun. Saya menandai orang-orang ini berkeliaran sekitar jam 11 sampai jam 2 malam. Lagi lelap-lelapnya orang tidur, tapi bukan saya. Saya mendengar anjing-anjing menggonggong dan orang-orang memulai memetik bunga, mencuri. 5 pohon jepun di luar pekarangan rumah saya selalu amblas bunganya dimalam hari oleh orang-orang ini. Sudah tipis sekali rasa malu di Negara ini, digilas dengan kehausan akan rupiah dan rupiah..

Di kala sore hari, ketika anda jalan-jalan di Sukawati dan sekitar Guwang- desa disebelahnya, anda akan melihat pemandangan seragam, ibu-ibu yang membawa galah untuk memukul jatuh bunga jepunnya. Bunga yang seharusnya belum rontok, dibuat rontok, sebelum diambil orang lain. Seperti mengandaikan, anak perempuan yang lagi gadis-gadisnya dibunuh untuk dikeringkan. Ahh.. terlalu pakai hati saya menggambarkannya. Tapi begitulah, kasihan pohon jepun yang semakin tereksploitasi untuk ditukar dengan beberapa lembar 100ribuan. Tidak ada lagi pemandangan indah Bali yang sangat identik dengan jepunnya. Barang kali masih ada dibeberapa hotel, tentu karena karyawan bisa dipecat kalau memaksa memetik bunga jepun di pekarangan hotelnya.

Bunga Jepun memang identik dengan Bali, atau kebalik malahan. Orang Bali identik dengan jepun. Di beberapa brosur pariwisata, sering kita jumpai gadis Bali yang cantik dengan bunga jepun ditelinga mencakupkan tangan didepan dada, salam selamat datang di Bali. Tempat tidur dibeberapa hotel juga ditaburi bunga jepun, ketika tamu datang. Hiasan bunga untuk para penari juga adalah bunga jepun. Bunga jepun di pakai sembahyang, digunakan untuk menghiasi canangsari (sesajen), dan banyak lagi. Orang Bali umumnya memang suka menanam bunga yang bisa dipakai untuk upacara. Jepun adalah bunga yang tidak cepat layu. Bunga lain yang umumnya ada dipekarangan orang Bali adalah jepun, bunga nusa indah, bunga mawar, bunga cempaka, bunga sandat dan bunga tunjung (lotus). Itu dulu. Sekarang dengan perkembangan arsitektur minimalis, bunga jepun lebih cocok dan mewakili kepraktisan itu, karena pohonnya tumbuh tinggi sehingga bisa membuat teduh, dan yang pasti tidak banyak sampah.

Kenapa saya bilang bunga jepun itu lebih disukai karena tidak banyak sampah? Umumnya rumah orang Bali yang masih didesa, halamannya luas. Dulu, halaman luas ini dihiasi dengan berbagai macam pohon yang berbuah, paling banyak adalah mangga dan rambutan. Panennya bisa dipakai untuk membuat aturan (sesajen). Namun pohon buah adalah pohon yang paling banyak memakan ruang, karena batangnya yang kemana-mana, membuat rumah jadi terlihat sempit dan teduh (kalau terlalu lebat jadi lembab). Tetapi yang paling menyebalkan adalah pohon buah itu sampahnya banyak!. Karena daunnya kecil-kecil jadi terlihat berserakan, dan rumah terlihat kotor.

Saya menandai sekitar awal tahun 2000-an, setiap keluarga mulai menebang pohon buah yang ada dirumahnya untuk menanam pohon jepun. Halaman rumah orangpun, jarang yang masih ada ‘tanah’nya, ditutupi dengan paving block kalau tidak disemen permanen, yang berlebih uangnya menambah hiasan dengan memasang batu sikat berbagai motif.

Saya memang suka melihat desain rumah minimalis, tentu saya ragukan harganya juga minimalis, tapi maksimalis. Dengan hiasan taman, pohon jepun didepan pintu rumah, menggiring khayalan seperti berada di sebuah resort. Ketika mengunjungi mertua ke Surabaya, saya melihat berbagai macam desain rumah. Kebetulan rumah mertua dekat dengan perumahan mewah Galaxy di Surabaya. Tetapi desain itu, tidak memuaskan mata saya. Sampai kemudian, mata saya tertuju pada sekumpulan pohon jepun. Aha, ini pasti rumah minimalis, batin saya. Ternyata setelah mendekat, areal kuburan. Berbeda dengan di Bali, bunga jepun di Jawa identik dengan kuburan. Betapa kutub yang jauh sekali berseberangan.

Bunga jepun tumbuh bersama saya. Ketika kecil, saya sering bermain rumah-rumahan dibawah pohon jepun didepan pintu masuk rumahnya Iien. Ada dua pohon jepun tua, rantingnya memeluk satu sama lain. Dibawah pohon jepun itu, seperti ada gua. Saya senang bermain disitu dan menandainya sebagai ‘rumah saya’. Bunga jepun biasa kami ikat dengan karet gelang menjadi semacam ‘bola berumbai’. Bola ini kami mainkan dengan kaki sambil dihitung. Peraturannya hanya satu, bola tidak boleh jatuh ke tanah, dan semakin banyak kita bisa menendangnya, dialah pemenangnya. Bunga jepun, adalah bahan baku ketika kami main masak-masakan. Bunganya kami pisahkan per helai, pura-puranya menjadi ‘ayam sisit’ atau kami potong-potong dicampur dengan daun-daun lain untuk menjadi ‘lawar’. Bunga jepun menjadi hiasan kepala ketika kami bermain pura-pura ‘mepeed’. Kami menata bunga jepun diatas kepala, dijepit dengan penjepit. Mepeed adalah idaman kami, anak-anak perempuan pada masa itu. Karena itulah saat kita didandani dengan memakai baju adat lengkap, memakai make up dan perhiasan emas dan kemudian berjalan di jalan raya Sukawati, mengiringi rangkaian upacara di Pura. Saat itu, keluarga saya terlalu miskin untuk saya bisa mepeed.

Kenangan selalu membawa hawa hangat didalam hati. Tidak seperti masa sekarang dimana sepertinya setiap mahluk hidup terjebak dalam kerangka pasar. Bunga jepun yang tidak bersalahpun harus masuk perangkap pasar. Bunga jepun dipetik paksa, untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita. Alam terlalu terekploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita manusia, yang katanya berada dalam piramida puncak mahkluk hidup di bumi ini. Ah.. seandainya tidak ada manusia, mungkin binatang, tumbuh-tumbuhan akan hidup baik-baik saja di dunia. Mereka tumbuh, hidup, layu, dan bertunas lagi. Sampai kapan kita begini.. ah.. hari semakin merambat malam.

Heey.. saya berhasil melawan kemalasan saya menulis malam ini.. selamat. Saya harus memberi penghargaan kepada diri saya, segelas susu coklat hangat dan… malam yang gerimis, perpaduan yang pas.  Selamat datang gerimis.. mudah-mudahan si pencuri jepun enggan keluar dan lebih memilih untuk memeluk bantal. 

2 Komentar:

Pada 5 Februari 2013 pukul 01.24 , Blogger BisnisKamboja mengatakan...

Sekedar berbagi informasi seputar bunga kamboja kering
Jika berkenan silahkan mampir :
http://bisniskamboja.blogspot.com/

 
Pada 27 Juni 2015 pukul 12.43 , Blogger adiseo mengatakan...

Makasih ya atas infromasi yang diberikan sangat bermanfaat sekali
salam kenal dari Manfaat Kolang kaling

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda