Nasib Bunga Jepun di Sukawati
Sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Rasa malas mengalahkan keinginan menulis lagi, kenapa saya harus mengalah dengan malas. Baiklah, malam ini, aku akan mengalahkanmu…
Saya senang dengan kegairahan ini. Di Sukawati, begitu juga
beberapa tempat lainnya di Bali, semua orang, tua muda, laki-laki perempuan,
sibuk mengumpulkan bunga kamboja – jepun
bahasa balinya – untuk dikeringkan dan dijual. Per tanggal saya menulis ini,
sekilo harganya 100 ribu rupiah. Minggu lalu sempat tinggi mencapai harga 110
ribu rupiah.
Bunga jepun adalah bunga bermahkota lima helai, namun ada
juga yang empat bahkan ada sepuluh helai dengan berbagai warna. Umumnya warna
putih, putih ini bergradasi dari putih terang, putih tulang putih kekuningan tetapi
selain putih ada juga berwarna merah hati, merah pink, merah kuning dalam satu
bunga (jepun sudamala- istilah balinya), versi terbaru putih agak kecoklatan
(yang ini saya belum punya dirumah). Tentu saja, kalau sudah kering menjadi
satu warna, coklat!.
Dalam ingatan saya, dalam 2 tahun
terakhir ini, permintaan pasar begitu tinggi terhadap bunga jepun di Bali.
Kemajuan pariwisata di Bali, merambah pada semakin kreatifnya para pelaku
wisata membuat paket wisata untuk memanjakan turis. Tentu tidak gratis, demi
dollar. Salah satunya adalah wisata spa. Bunga-bunga jepun ini dibuat ekstrak
untuk ramuan lulur, maupun produk spa lainnya. Pabrik-pabrik produk spa di Bali
semakin membutuhkan lebih banyak pasokan bahan baku, karena produk mereka
dipasarkan di luar negeri. Kabarnya, bunga jepun kering ini juga diekspor ke
China.
Sebelum diolah menjadi produk spa,
dulunya jepun kering ini diolah menjadi dupa. Dupa memang produk unggulan di
Bali. Hampir setiap rumah tangga di Bali, khususnya di Bali bagian selatan menggunakan
dupa untuk sesajen harian. Setiap hari sebuah rumah tangga di Bali menggunakan
minimal 20 batang dupa, apabila ada taruhlah 500.000 rumah tangga
menggunakannya, tentu ini merupakan pasar yang besar.
Satu kilo jepun kering, kira-kira sebanyak 1 plastik ukuran
10”, atau plastic warna merah yang biasa diecer 500rupiah di pasar. Tergantung
seberapa banyak pohon yang kita andalkan, untuk mendapatkan bunganya. Kalau
menunggu bunga rontok ‘normal’ dari pohon. Untuk tiga pohon, bisa sekitar 3-4
hari untuk mengumpulkannya. Kenapa saya bilang rontok normal? Karena sekarang
kecenderungannya, orang-orang membuatnya rontok lebih cepat, ada yang membawa
galah panjang atau dengan menggoyang-goyang batang untuk ‘memukul’ jatuh bunga.
Sepertinya semua orang larut dalam kemeriahan mengumpulkan
bunga kering, cara cepat untuk mendapat uang kontan. Tinggal kumpulkan, jemur
kering lalu jual. Untuk menjualnya, juga tidak perlu usaha. Ada pengepul yang
setiap hari mendatangi rumah, bertanya apa sudah ada yang kering? Tidak hanya
ada satu dua tiga orang pengepul. Setiap menjual bunga, ibu tidak punya
langganan alhasil selalu ada muka berbeda yang membawa timbangan untuk
bertransaksi. Timbangannya yang dipegang tangan, ada berbentuk bulat ada yang
segi empat persegi. Harusnya untuk timbangan bunga kering, tidak perlu yang
untuk ukuran kilo yang besar. Bayangan saya, cukup maksimal untuk 2 kg atau 5
kg. tetapi ternyata tidak, para pengepul itu umumnya membawa timbangan yang
skalanya bisa untuk 10,15 atau 20 kg. belakangan saya baru tahu, ternyata semakin
besar skala timbangan membuat tidak presisi untuk menimbang diangka kecil.
Biasanya untuk kelebihan beberapa ons, tidak terbaca. Taktik dagang.
Nenek saya, yang seorang pedagang. Tidak mau terkecoh dengan
taktik ini. Bahasa gaulnya, buaya dikadalin. Dia tidak mau bunganya ditimbang
di timbangan pengepul, dia menimbangnya ditimbangan sendiri diwarungnya.
Timbangan kuno, yang ada piringan bentuk mulut bebek ketika menimbang harus
mendudukkan ‘batu-batu’ besi untuk membuatnya seimbang. Hasilnya dia selalu
puas setiap transaksi.
Nenek saya, namanya Dadong Rarud. Dia nenek dari garis ibu.
Dadong adalah sebutan untuk nenek dalam bahasa Bali. Namun sebagian besar orang
Bali, sekarang malu menyebut dadong karena terkesan udik dan miskin. Beberapa
keluarga sekarang memanggil dadong-nya dengan sebutan ‘Nek’, ‘Nini’, ‘Mbah’
atau ‘Odah’.
Dadong Rarud, perawakannya tidak
proporsional, dari pinggang keatas besar dan pinggang kebawah mengecil. Kalau
membaca majalah wanita, saya menangkap ini yang dimaksud dengan badan berbentuk
buah pir. Betis yang kecil, membuat dia jalan kadang-kadang seperti orang
oleng. Dadong Rarud usianya saya perkirakan sekitar 70 tahunan. Dadong Rarud,
tidak suka saya memanggil dia lengkap dengan namanya, cukup dadong saja. Tidak
sopan katanya menyebut nama orang yang lebih tua. Saya selalu melawan, saya
bilang kalau kita diculik orang ditinggal dijalan kalau tidak tahu nama orang
yang lebih tua bagaimana, ketika saya kecil, dia selalu mengejar saya dengan
sapu lidi setelah saya melawan. Tetapi, setelah beranjak besar, Dadong hanya
bilang ya.. nanti kena Karma kalau ngomong begitu. Mungkin Dadong berhitung,
tenaganya tidak kuat lagi untuk mengejar saya dengan sapu lidinya.
Seperti umumnya orang Bali
seusianya, jarang yang tahu tahun kelahiran. Dadong adalah pedagang di pasar
Sukawati, dulu. Dia menjual bumbu-bumbu masakan, seperti bawang merah, bawang
putih. Kios-nya kecil, 2x2 meter, dibawah tangga. Letaknya strategis. Namun
sayang, pembeli sekarang tidak ada seusianya lagi. Orang-orang muda, lebih suka
belanja di pedagang yang lebih muda. Mungkin dari bahan pembicaraan lebih
‘nyambung’. Anak-anaknya Dadong, mewanti-wanti agar Dadong berhenti kepasar
daripada di pasar hanya bengong. Tapi bagi Dadong kepasar adalah panggilan
jiwanya, dia senang ngobrol dengan orang. Setiap hari baru, seperti ada agenda
baru. Setelah menyapu, memasak, dia mandi dan berangkat ke pasar. Dia bahagia.
Beberapa tahun lalu, Kaki – untuk
sebutan kakek dalam Bahasa Bali- Muja, sakit keras. Sepertinya ada yang salah
dengan saluran usus besarnya. Setelah sakit itu, dia seperti bayi lagi. Semua
harus dibantu. Dadong terpaksa berhenti kepasar, khusus dirumah merawat Kaki.
Beberapa tahun, ini mukanya drastic terlihat lebih tua dari sebelumnya. Dia
tidak lagi rapi dan ‘dandan’. Menjadi ringkih, tua dan hampir pengangguran.
Untuk menghidupi dirinya, Dadong
mengambil alih warung Pak Tut, anak lelaki satu-satunya yang lelah mengadu
nasib berjualan dan tidak beruntung. Namun penghasilan warung tidak seberapa.
Untuk sekarang musim jepun kering. Dadong menjual jepun kering. Dirumah Dadong
ada sekitar 9 pohon jepun berbunga lebat. Kalau cuaca cerah, dalam dua hari dia
bisa mengumpulkan sekilo jepun kering. Untuk membuat jepun kering lebih cepat,
ada saja akal-akalan orang-orang. Mulai dari menjemurnya ditempat terbuka
(sepanjang hari bertemu sinar matahari), ada diatas atap kamar mandi, ada juga
diatas seng. Sepertinya menjemur diatas seng, membuat jepun lebih cepat
kering. Ibu saya bilang, jepunnya tidak
usah terlalu kering, nanti ringan ketika ditimbang.
Seminggu sekali, Dadong biasanya
menjual ke pengepul, hasilnya 3-4 lembar uang seratus ribuan berpindah tangan
ke dadong. Dari situlah dia hidup. Pernah dia mendapat 600 ribu menjual jepun
kering, entah stok berapa hari. Ada banyak Dadong-dadong dan Kaki-Kaki juga
seperti Dadong Rarud. Ketika saya mengantar Ryan sekolah TK, banyak pemandangan
manula (manusia lanjut usia) berkeliling membawa kresek untuk mengumpulkan
bunga jepun yang jatuh. Jepun ini adalah uang kontan mereka, membuat mereka
mandiri dan percaya diri.
Kalau ibu-ibu muda jangan ditanya,
lebih banyak lagi jumlahnya. Anak-anak kecil seumuran SD, juga banyak yang
berkeliling mengumpulkan jepun kering. Tadi sore, saya melihat dua orang anak
laki-laki, satunya membawa sepeda dengan tas kresek hitam sudah penuh dengan
bunga jepun. Satunya lagi berjalan kaki sedang mengambil bunga yang jatuh di
selokan. Beberapa hari lalu, ketika mengunjungi ipar di Kesambi, 8 km dari
Sukawati, ada 3 anak perempuan seumuran SD, satunya lagi mungkin dibawah 5
tahun. Mereka berhenti menanyai saya, apa boleh mengambil jepun yang jatuh.
Dengan berat hati saya bilang, jangan karena pembantunya ipar juga mengumpulkan
jepun kering untuk dijual. Lumayan kata ipar, dia sudah bisa membeli rice
cooker akan dikirim pulang ke Jawa untuk keluarganya.
Ngomong-ngomong tentang hasil dari
menjual jepun kering. Ibu saya mempunyai kebiasaan baru, membeli sekarung beras
“Puteri Sejati” yang 25 kg setelah penjualan. Beras ini termasuk mahal karena
nasinya pulen dan enak. Biar kelihatan hasilnya, alasan ibu. Sebulan kami
mendapat gratis 2 karung beras dari jepun. Ibu mertua Diah, adik saya juga
sangat bersyukur dengan 6 pohon jepun yang ada dirumahnya. Dia tidak lagi
merogoh saku dalam-dalam untuk membiayai uang SPP dan uang bulanan anak
perempuannya yang masih kuliah. Lumayan untuk pensiunan guru seperti dia.
Berkah jepun kering ini, seperti
oase dipadang pasir bagi sebagian ibu-ibu rumah tangga. Uang jepun adalah uang
ekstra untuk membeli kebaya, sandal, peralatan rumah tangga, jaja anak dan
untuk menutupi kebutuhan rumah tangga serta upacara adat.
Namun di balik gemerlapnya
kerincing uang jepun untuk manusia, ada kisah sedih untuk pohon jepun itu
sendiri. Awalnya orang-orang mengumpulkan bunga yang rontok dari pohon,
lama-lama karena permintaan bertambah, menyebabkan harga meningkat. Pohon jepun
semakin tereksploitasi. Orang-orang mengumpulkan bunga jepun bukan hanya dari
pekarangannya sendiri, tetapi sudah merambah- kalau tidak boleh dibilang ‘menjajah’
pohon milik orang lain. Orang-orang ini berkeliaran dimalam hari membawa galah
untuk memetik bunga jepun. Saya menandai orang-orang ini berkeliaran sekitar
jam 11 sampai jam 2 malam. Lagi lelap-lelapnya orang tidur, tapi bukan saya.
Saya mendengar anjing-anjing menggonggong dan orang-orang memulai memetik
bunga, mencuri. 5 pohon jepun di luar pekarangan rumah saya selalu amblas
bunganya dimalam hari oleh orang-orang ini. Sudah tipis sekali rasa malu di
Negara ini, digilas dengan kehausan akan rupiah dan rupiah..
Di kala sore hari, ketika anda
jalan-jalan di Sukawati dan sekitar Guwang- desa disebelahnya, anda akan
melihat pemandangan seragam, ibu-ibu yang membawa galah untuk memukul jatuh
bunga jepunnya. Bunga yang seharusnya belum rontok, dibuat rontok, sebelum
diambil orang lain. Seperti mengandaikan, anak perempuan yang lagi
gadis-gadisnya dibunuh untuk dikeringkan. Ahh.. terlalu pakai hati saya
menggambarkannya. Tapi begitulah, kasihan pohon jepun yang semakin
tereksploitasi untuk ditukar dengan beberapa lembar 100ribuan. Tidak ada lagi
pemandangan indah Bali yang sangat identik dengan jepunnya. Barang kali masih
ada dibeberapa hotel, tentu karena karyawan bisa dipecat kalau memaksa memetik
bunga jepun di pekarangan hotelnya.
Bunga Jepun memang identik dengan
Bali, atau kebalik malahan. Orang Bali identik dengan jepun. Di beberapa brosur
pariwisata, sering kita jumpai gadis Bali yang cantik dengan bunga jepun
ditelinga mencakupkan tangan didepan dada, salam selamat datang di Bali. Tempat
tidur dibeberapa hotel juga ditaburi bunga jepun, ketika tamu datang. Hiasan
bunga untuk para penari juga adalah bunga jepun. Bunga jepun di pakai
sembahyang, digunakan untuk menghiasi canangsari (sesajen), dan banyak lagi.
Orang Bali umumnya memang suka menanam bunga yang bisa dipakai untuk upacara.
Jepun adalah bunga yang tidak cepat layu. Bunga lain yang umumnya ada
dipekarangan orang Bali adalah jepun, bunga nusa indah, bunga mawar, bunga
cempaka, bunga sandat dan bunga tunjung (lotus). Itu dulu. Sekarang dengan
perkembangan arsitektur minimalis, bunga jepun lebih cocok dan mewakili
kepraktisan itu, karena pohonnya tumbuh tinggi sehingga bisa membuat teduh, dan
yang pasti tidak banyak sampah.
Kenapa saya bilang bunga jepun itu
lebih disukai karena tidak banyak sampah? Umumnya rumah orang Bali yang masih
didesa, halamannya luas. Dulu, halaman luas ini dihiasi dengan berbagai macam
pohon yang berbuah, paling banyak adalah mangga dan rambutan. Panennya bisa
dipakai untuk membuat aturan
(sesajen). Namun pohon buah adalah pohon yang paling banyak memakan ruang,
karena batangnya yang kemana-mana, membuat rumah jadi terlihat sempit dan teduh
(kalau terlalu lebat jadi lembab). Tetapi yang paling menyebalkan adalah pohon
buah itu sampahnya banyak!. Karena daunnya kecil-kecil jadi terlihat
berserakan, dan rumah terlihat kotor.
Saya menandai sekitar awal tahun
2000-an, setiap keluarga mulai menebang pohon buah yang ada dirumahnya untuk
menanam pohon jepun. Halaman rumah orangpun, jarang yang masih ada ‘tanah’nya,
ditutupi dengan paving block kalau tidak disemen permanen, yang berlebih
uangnya menambah hiasan dengan memasang batu sikat berbagai motif.
Saya memang suka melihat desain
rumah minimalis, tentu saya ragukan harganya juga minimalis, tapi maksimalis. Dengan
hiasan taman, pohon jepun didepan pintu rumah, menggiring khayalan seperti
berada di sebuah resort. Ketika mengunjungi mertua ke Surabaya, saya melihat
berbagai macam desain rumah. Kebetulan rumah mertua dekat dengan perumahan
mewah Galaxy di Surabaya. Tetapi desain itu, tidak memuaskan mata saya. Sampai
kemudian, mata saya tertuju pada sekumpulan pohon jepun. Aha, ini pasti rumah
minimalis, batin saya. Ternyata setelah mendekat, areal kuburan. Berbeda dengan
di Bali, bunga jepun di Jawa identik dengan kuburan. Betapa kutub yang jauh
sekali berseberangan.
Bunga jepun tumbuh bersama saya.
Ketika kecil, saya sering bermain rumah-rumahan dibawah pohon jepun didepan
pintu masuk rumahnya Iien. Ada dua pohon jepun tua, rantingnya memeluk satu
sama lain. Dibawah pohon jepun itu, seperti ada gua. Saya senang bermain disitu
dan menandainya sebagai ‘rumah saya’. Bunga jepun biasa kami ikat dengan karet
gelang menjadi semacam ‘bola berumbai’. Bola ini kami mainkan dengan kaki
sambil dihitung. Peraturannya hanya satu, bola tidak boleh jatuh ke tanah, dan
semakin banyak kita bisa menendangnya, dialah pemenangnya. Bunga jepun, adalah
bahan baku ketika kami main masak-masakan. Bunganya kami pisahkan per helai,
pura-puranya menjadi ‘ayam sisit’ atau kami potong-potong dicampur dengan
daun-daun lain untuk menjadi ‘lawar’. Bunga jepun menjadi hiasan kepala ketika
kami bermain pura-pura ‘mepeed’. Kami menata bunga jepun diatas kepala, dijepit
dengan penjepit. Mepeed adalah idaman kami, anak-anak perempuan pada masa itu.
Karena itulah saat kita didandani dengan memakai baju adat lengkap, memakai
make up dan perhiasan emas dan kemudian berjalan di jalan raya Sukawati,
mengiringi rangkaian upacara di Pura. Saat itu, keluarga saya terlalu miskin
untuk saya bisa mepeed.
Kenangan selalu membawa hawa hangat
didalam hati. Tidak seperti masa sekarang dimana sepertinya setiap mahluk hidup
terjebak dalam kerangka pasar. Bunga jepun yang tidak bersalahpun harus masuk perangkap
pasar. Bunga jepun dipetik paksa, untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita.
Alam terlalu terekploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita manusia, yang
katanya berada dalam piramida puncak mahkluk hidup di bumi ini. Ah.. seandainya
tidak ada manusia, mungkin binatang, tumbuh-tumbuhan akan hidup baik-baik saja
di dunia. Mereka tumbuh, hidup, layu, dan bertunas lagi. Sampai kapan kita
begini.. ah.. hari semakin merambat malam.
Heey.. saya berhasil melawan
kemalasan saya menulis malam ini.. selamat. Saya harus memberi penghargaan
kepada diri saya, segelas susu coklat hangat dan… malam yang gerimis, perpaduan
yang pas. Selamat datang gerimis..
mudah-mudahan si pencuri jepun enggan keluar dan lebih memilih untuk memeluk
bantal.
2 Komentar:
Sekedar berbagi informasi seputar bunga kamboja kering
Jika berkenan silahkan mampir :
http://bisniskamboja.blogspot.com/
Makasih ya atas infromasi yang diberikan sangat bermanfaat sekali
salam kenal dari Manfaat Kolang kaling
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda