Selamat Ulang Tahun yang ke 5, Rakryan.
Tanggal 20 November kemarin ini, anakku Rakryan Teja
Abhimata genap berusia 5 tahun. Pernyataan klise seseorang yang mulai beranjak
tua, ah.. tidak terasa waktu berjalan dengan cepat.
Hari itu, saya membawa dua kresek besar berwarna merah.
Didalam kresek ada beberapa bingkisan snack untuk teman-teman Ryan di Sekolah,
PAUD Sari Mekar di Sukawati. Di PAUD ini, Ryan sudah masuk di tahun kedua
bersekolah. Selain snack, kami membawa sekotak kue ulang tahun bulan dengan
hiasan berwarna biru, diatasnya tertulis: Selamat Ulang Tahun Ryan, dari Bapak,
Ibu, Nara dan Runa. Kami yang membawanya itu adalah, Saya, Diah, Nara dan Runa,
minus Bapaknya Ryan. Dia masih ada di Wanci untuk menyambut tamu VVIP
kantornya. Kabarnya, rombongan donor yang akan memberi sinyal kelanjutan
‘nasib’ dapur kami.
Sibuk-sibuk ulang tahun sudah dari kemarin, saya dan
Ryan pergi kepasar untuk membeli snack. Ryan sendiri yang memilih snack yang
akan dijadikan bingkisan, ternyata dia sudah besar, sudah punya pilihan
sendiri. Ryan membantu saya memasukkan snack kedalam bingkisan snack ulang
tahun yang siap jadi. Ya.. meskipun berulang kali saya rapikan lagi, karena
tulisan snacknya tidak tegak lurus dan seragam. Well, at least he was helping
me.
Malamnya, Ryan tidur lebih awal karena capek seharian main.
Saya pergi ke Denpasar membeli kue bersama Nara. Entah Nara sudah paham apa
belum, dia berada dalam ‘aura’ persiapan pesta. Sebuah kue terbeli, tulisan
ucapannya ditulis melingkar karena terlalu panjang hehe..
Teman-temannya Ryan dikelas ada sekitar 17 orang. Saya sudah
tidak hapal lagi nama teman-temannya. Dulu ketika tahun pertama di Sekolah,
saya ingat semua nama teman sekelasnya: ada Prasetya, Mang Bagus, Gus De, Angga,
Ken, Wayan, Aditya, Raditya, Tu Eka, Krishna, Parama (kembarannya Ryan, mukanya
nyaris sama), Reza, Gung Gek, Diah, Dita, Chelsea, Pashya, Jorani, Dek Ari,
Dayu. Sekarang yang saya tahu nama teman sekelasnya Ryan adalah: Mang Ming, Cok
Wid, Wisnu, Santa, Robi (yang paling nakal), teman ceweknya: Jorani, Dek Ari
eh.. itu aja yang lainnya tidak tahu dan tidak kenal.
Semenjak Runa lahir, konsentrasi saya banyak terpecah.
Rutinitas di pagi hari yang paling padat. Memasak, menemani makan, memandikan
ketiga bocah, menyiapkan Ryan masuk sekolah, mengantarkannya, menyusui Runa,
menidurkannya, main dengan Nara, menjemput Ryan lagi di sekolah, hampir tidak
ada jeda. Jarang saya bisa menunggui Ryan di sekolah, tidak seperti ditahun
pertama. Di pagi hari, saya mengantarkan dia ke sekolah. Kalau anak-anak belum
berbaris, Ryan masih mau ke kelas untuk menaruh tas yang dibawa. Kalau
terlambat, Ryan minta saya menaruh tasnya di kelas, sehingga dia bisa langsung
masuk barisan. Naik motor dengan tiga anak, sangat merepotkan. Nara di depan
memegang stang motor, Runa didalam gendongan kain, dan Ryan di belakang. Sudah
tidak ada tempat untuk anak ke empat di motor saya, mungkin di ban?
Ryan sudah besar, sering kali dia yang malah menyuruh saya
pulang, jangan menunggui dia disekolah. Sebenarnya saya khawatir dia di bully
teman, karena pernah suatu hari dia pulang dengan tangan sobek, katanya dicubit
temannya. Ryan itu lugu, dia senang diajak bermain sama temannya. Sampai uang
sakunya pun dibagikan temannya. Sebenarnya, saya khawatir, ketika dia disekolah
apakah dia bermain di ayunan atau perosotan dengan aman, bagaimana dia
disekolah, apakah dia bisa menangkap pelajaran dengan baik. Sekolah itu
bagaikan medan perang, dia tidak selalu ada dalam lindungan kita. Suami saya
bilang, hilangkan perasaan itu, biarkan dia tumbuh dengan hidupnya. Beginilah
hidup. Ryan harus belajar.
Hari kemarin, sudah tepat lima tahun saya melahirkan Ryan.
Peringatan ulang tahun anak-anak, adalah peristiwa menarik balik kenangan yang
saya alami ketika melahirkan mereka. Ketika melahirkan Ryan, saya berusia 27
tahun. Saya menikah di usia 26 tahun, 10 bulan kemudian belum hamil. Hamil
pertama keguguran di usia kandungan dua bulan. Kata dokter, janinnya tidak
berkembang dengan baik. Ryan adalah kehamilan kedua dan anak pertama saya.
Saya memeriksakan kandungan saya (ketika mengandung Ryan)
pada seorang Ginekolog terkenal di kota Denpasar, dan mempunyai spesialisasi
fertilitas dibelakang embel-embel SPOG-nya. Dokter itu, ramah dipermukaan dia
mempersilahkan pasiennya hanya 5-10 menit di ruangan. Tidak heran juga, Karena
setiap malam pasiennya mencapai 70 orang. Kalau booking antrean di hari yang
sama untuk periksa, saya sering mendapat nomor antri berkepala 6 mewakili 60an.
Saya nyaman dan percaya dengan pemeriksaan dokter itu, dan
berencana hendak melahirkan dibantu olehnya. Namun belakangan, dokter ini
menganjurkan saya untuk operasi Caesar ketika melahirkan, saya kehilangan
kepercayaan terhadap dokter ini. Saya memilih untuk melahirkan normal,
senormal-normalnya. Hasilnya sebulan sebelum melahirkan saya ‘melarikan’ diri
untuk konsultasi diseorang bidan di kota Denpasar. Bidan itu punya klinik
bersalin di rumahnya. Setiap minggu juga dia mengadakan senam hamil gratis
untuk para ibu hamil. Belakangan saya menyadari, ini merupakan strategi
marketingnya juga, agar ibu-ibu percaya diri melahirkan normal sehingga bisa
dibantu di klinik bersalin mereka. Pada bidan ini tidak berhak untuk membantu
persalinan dengan operasi. Semaksimal mungkin mereka membantu ibu-ibu untuk
melahirkan normal, karena itu ‘dapur’ mereka juga.
Perkiraan lahir dari bulan ke bulan berubah, saya menandai
Ryan kemungkinan lahir antara tanggal 5 – 10 November 2007. Karena anak
pertama, Bapaknya Ryan sudah mulai stand by menjadi suami siaga (siap antar
jaga) sejak tanggal 5. Beberapa hari kemudian, ibu mertua datang dari Surabaya
untuk ikut menemani melahirkan. Hari demi hari berlalu, saya semakin rajin
jalan-jalan. Kami mulai menghitung hari namun menunggu memang pekerjaan yang
membosankan dan menegangkan. Dua minggu sudah Bapaknya Ryan di Bali sementara
tugasnya di Wakatobi. Dia memberi ultimatum, kalau didalam minggu ini tidak
lahir, maka dia harus ke Jakarta dulu dua hari. Hari itu hari Minggu, sehabis
senam hamil saya mengalami Flek, siang itu saya periksakan. Katanya sudah
bukaan dua, perawat yang usianya baru awal duapuluhan dan pastinya belum
menikah – mengatakan mungkin masih lama melahirkannya bisa jadi 3-4 hari lagi.
Sesampai dirumah, kontraksi ini semakin menjadi-jadi. Perut
saya sudah mulai kontraksi palsu sejak sebulan yang lalu. Saya mengeluh sakit
perut terus kepada Bapaknya Ryan. Ketika kontraksi asli keluar, dia malah
bilang ahh.. acting ibunya .. sial! Hari senin siangnya kami kembali periksakan
ke klinik. Sakit perut semakin hebat, rasanya seperti sakit perut ketika
menstruasi, perih teriris-iris. Hebatnya, sakitnya semakin dekat jaraknya.
Siang itu, perawat masih mengatakan bahwa baru bukaan dua. Saya disuruh pulang
dulu. Kami pulang, tapi keadaan tidak lebih baik. Sakit perutnya semakin
menghebat. Duduk salah berdiri salah. Suami malah sibuk mengambil foto saya
ketika saya sedang kesakitan. Begitulah para lelaki yang tidak pernah merasakan
sakit melahirkan..hehe..masih bisa cengangas cengenges.
Malamnya, saya tidak bisa menahan lagi. Ibu mertua
menyarankan mendingan menunggu sakitnya di klinik saja. Jam 10 malam kami
kembali ke klinik, untung jarak rumah dan klinik tidak terlalu jauh, mungkin
sekitar 5-6 km. kembali saya diperiksa dalam, ditusuk dengan jari, saya paling
benci pemeriksaan model begini. Perawat mengatakan saya sudah bukaan empat,
mungkin sebentar lagi melahirkan. Saya langsung dibawa ke lantai dua, karena
saya memilih kamar yang dilantai dua. Saya langsung ganti kain dan baju, dan
bersiap-siap untuk melahirkan. Saya pikir dalam waktu dua jam akan melahirkan,
ternyata penantian saya harus lebih panjang lagi. Setelah berjuang melawan
kantuk, karena dua hari tidak tidur nyenyak, akhirnya saya berhasil melahirkan
Ryan jam 4.30 pagi. Dia lahir ditengah teriakan saya yang membahana membelah
pagi. Ditengah kesakitan, saya teringat bapak yang telah meninggal, saya
berteriak.. Bapaaakkk.. Ibu mertua teriris lirih mendengarnya, jangan ditanya
ibu saya. Matanya banjir airmata. Ryan lahir putih bersih berselimut lemak, ibu
saya pikir seperti dilapisi cat. Ryan lahir dengan panjang 52 dan berat 3,1
gram. Pagi itu hari selasa.
Veda sangat gembira, Ryan anak pertama kami. Mungkin karena
alasan itu, atau karena alasan akhirnya dia bisa potong rambut, setelah puasa
potong rambut selama 9 bulan. Orang Bali percaya bahwa pamali para suami potong
rambut ketika istri lagi hamil. Ibu-Ibu kami juga senang. Saking senangnya
mereka semua pergi meninggalkanku sendiri diruang melahirkan sementara mereka
mengikuti bayi ke ruangan bayi.. tidak mungkin tertukar karena dia satu-satunya
bayi di Klinik hari itu.
Lima tahun telah berlalu, hari ini Ryan semakin hari
semakin… NAKAL. Dia suka sekali menggoda adiknya Nara, sampai Nara dibuat
mengangis. Ada saja kelakukan kelakukan Ryan yang membuat berdiri rambut saya. Ryan
sekarang mulai belajar berhitung. Ketika saya sodorkan tiga jari ditangan kiri
ditambah lima jari kanan, dia selalu menghitung mulai dari satu. Saya bilang
tidak usah dihitung lagi yang tiga, langsung saja ke empat ditangan kanan.
Namun begitulah, Ryan dia selalu menyelesaikan dengan caranya dan memang
menghasilkan angka delapan. Saya selalu mempunyai sudut pandang dari cara saya,
bahwa ini yang terbaik dan ini yang ‘seharus’nya dilakukan Ryan.
Mungkin Tuhan menitipkan anak kepada orang tua, agar kita
sebagai orang tua harus selalu belajar. Dari ini saya belajar banyak dengan
Ryan, bahwa saya harus melebarkan ruang empati saya untuk lebih memahami dia
dari persepktif seorang anak yang sedang belajar. Terkadang saya tidak sabar
dengan proses ini. Sebagaimana orang tua lainnya, mungkin, saya selalu merujuk
dengan pengalaman masa lalu. Ketika kecil, saya menjadi ‘pemimpin’ diantara
teman-teman saya. Saya merencanakan kegiatan yang akan kami lakukan hari itu,
main masak-masakan, bermain dibawah tanaman bambu, bermain rumah-rumahan dan
lainnya. Saya mengatur, ini menjadi ini dan rumahnya disini dan lainnya. Sekarang
saya berhadapan pada Ryan yang menjadi pengikut. Dia senang bermain dengan
temannya, tapi dia bukan pemimpin. Dia hanya ikut-ikutan, terkadang di-bullying oleh temannya.
Suatu hari dia pulang dengan tangan kiri yang lecet, dia
bilang dicubit temannya. Ketika ditanya lebih lanjut nama temannya, dia tidak
mau bilang. Dari ibu-ibu yang menunggui anaknya disekolah, saya dapat berita
kalau Robi yang mencubit Ryan. Robi ini anaknya kecil, tubuhnya lebih pendek
dari Ryan, berkulit hitam seperti orang India berkulit hitam, hitamnya
mengkilap. Mukanya hampir tidak tersenyum dengan alis yang hampir menyentuh
satu dengan lainnya. Ketika melihat ibunya, saya menyadari Robi ini mirip
ibunya, minus senyum. Saya tidak mau intervensi Robi dan menanyainya kenapa
mencubit Ryan. Hanya saya bilang kepada Ryan, kalau ada orang yang pukul Ryan,
Ryan harus balas pukul. Kalau ada yang cubit Ryan, Ryan harus balas cubit. Kalau
tidak, temannya Ryan akan terus-terus mukul Ryan. Ketut, pengasuhnya Ryan
terkejut. Saya melarang untuk membunuh binatang, nanti ibunya menangis. Ryan menyanggah:
‘bagaimana kalau yang mati ibunya?’. Saya menjawab: ‘ya anaknya yang menangis’.
Meskipun menyanggah Ryan biasanya menurut.
Sebagai seorang ibu, mengasuh anak membawa saya seperti
berkaca pada masa lalu. Ada beberapa hal dimasa lalu yang ingin kita perbaiki,
kita dapatkan, kita tularkan pada anak sehingga anak tidak mengalami masa yang
buruk. Namun seperti yang ditampilkan disebuah iklan, tidak mungkin kita ‘membungkus’
anak didalam plastic agar tidak kena ‘debu-debu’ dunia. Kadang saya mengurut
dada dan mengendurkan saraf, bahwa Ryan harus ‘tumbuh’ dengan hidupnya. Saya
menyadari Sekolah adalah medan perangnya yang pertama.
Ryan, selamat ulang tahun.. Semoga Ryan sehat selalu dan
tumbuh dengan baik.. Nama Ryan selalu ada dalam doa ibu..
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda