Selasa, 13 November 2012

Bapak Nyoman Sukerena Bayumurti, In Memoriam



Ruangan itu begitu dingin, mungkin karena dipasang pendingin ruangan. Tetapi lebih dari itu, siapapun yang masuk ke ruangan itu pasti menyiapkan air dikantong mata, dan segera akan tumpah begitu melihat sosok yang disayang. Selintas aku melihat beberapa lelaki terbaring dihiasi dengan berbagai selang terhubung dengan monitor berbagai fungsi. Masing-masing tempat tidur dibatasi dengan korden disisi kiri kanan.

Siang itu, pertama kali aku menengoknya di Rumah Sakit Sanglah. Bapak mertuaku, Pak Bayu, beberapa hari lalu dipindahkan dari sebuah rumah sakit di Surabaya dengan ambulance. Sejak tiba di Sanglah tanggal 19 Oktober lalu, bapak langsung masuk ICU- dirawat dengan intensive. Beberapa Dokter jaga dan perawat menjaga dan monitor dengan seksama kondisi pasien. Aku mengalami dejavu, perasaan yang pernah kurasakan ketikan Fika, almarhum keponakan juga pernah dirawat di ICU anak. Diruangan ini, keluarga dan penunggu pasien dilarang masuk kedalam kecuali memang kalau dipanggil.

Kata Wira, adik ipar yang kebetulan tugas belajar mendalami spesialis bedah di Sanglah mengatakan kondisi bapak sudah drop sejak dari Surabaya sehingga diputuskan untuk sementara “mengistirahat”kan bapak dengan mengganti fungsi paru-parunya dengan ventilator. Dengan ventilator ini, nafas bapak mulai teratur dan bapak seperti sedang tidur, kaku.

Perasaan sedih datang mendera, mengingat peristiwa lalu ketika bapakku dulu sakit dan terbaring lemah. Aku melihat sosok seorang bapak yang telah berjuang untuk keluarganya sekian tahun dan sekarang berjuang melawan sakit. Sakit bapak semakin parah. Aku teringat ketika pulang ke Surabaya di hari Lebaran, bapak masih bisa jalan meski sempoyongan. Setiap orang yang mengenal Pak Bayumurti pasti menandai beliau adalah sosok yang suka senyum, ramah, berbadan tegap, kemana-mana membawa sikat gigi. Sehabis makan bapak selalu sikat gigi, tidak heran di usianya yang mencapai 78 tahun giginya putih berjejer rapi. Asli semua, satupun tidak ada gigi palsu. Suatu anugerah karena masih bisa mampu mengunyah dengan baik. Sebuah disiplin yang harus aku teladani.

Tidak biasanya bapak mengeluh sakit. Bapak merasa kepalanya pusing dan pandangannya kabur, padahal baru ganti kacamata. Karena pusing, bapak lebih banyak tidur. Sesekali bangun untuk menyapa cucu-cucunya dan duduk menonton TV diruang keluarga. Bapak menggoda Raya, cucu kesayangannya.  Tidak sampai setengah jam, balik ke kamar tidur lagi. Pipit, adik iparku yang berani cerewet dengan bapaknya mengingatkan bapak jangan tidur terus, nanti gulanya naik. Bapak mertua memang punya riwayat kadar gula yang agak tinggi. Beliau tahu ketika hendak operasi katarak setahun yang lalu.

Di hari ketiga kami di Surabaya, saya menyarankan suami untuk mengajak bapak jalan-jalan disekitar kompleks perumahan. Kami jalan-jalan dengan anak-anak. Bapak jalan sempoyongan, bahunya turun. Bapak mengeluh tangan kanan susah diangkat ketika makan, bapak curiga beliau kena stroke. Suami mengajak bapak ke rumah sakit. Siang itu bapak langsung opname untuk pertama kalinya dalam sejarah. Bapak dirawat dirumah sakit Dr. Soetomo di Surabaya, rumah sakit itu dilengkapi khusus dengan unit stroke. Ada pendarahan di otak sebelah kirinya. Suami yang menunggui dirumah sakit. Saya dan ipar menyiapkan ada upacara Mlaspas (membersihkan rumah) setelah renovasi bagian belakang. Saya baru sempat menengok bapak sekaligus pamitan mau pulang ke Bali beberapa hari setelahnya. Kala itu, bapak terlihat kikuk. Bapak tidak biasa sakit dan ditengokin di rumah sakit, mungkin beliau malu pikir saya. Itu terakhir kali saya bisa komunikasi dengan beliau. Beliau bilang hati-hati dijalan, salam dengan ibu (saya) dirumah.

Bapak sempat pulang dari rumah sakit dan rawat jalan. Setelah sampai rumah, kondisi bapak sudah tidak seperti dulu lagi. Bapak sudah mulai tidak bisa mengontrol pipisnya, sehingga ibu mertua harus lebih ekstra perhatian merawat bapak. Sempat saya diskusikan dengan suami untuk mengajak bapak ke Bali. Lebih banyak tenaga yang bisa merawat bapak di Bali, ada ipar-ipar dan saya di Bali. Saya kepikiran dengan ibu mertua yang juga sudah sepuh merawat bapak sendirian di Surabaya. Sebelum ide memindahkan bapak ke Bali terwujud, ada sebuah peristiwa yang memicu tensi baik melonjak naik. Malam itu juga kena serangan stroke, bukan gejala lagi. Setelah peristiwa marah-marah itu, kata ibu, bapak masih bisa jalan kembali ke rumah. Sampai diteras bapak duduk dikursi, setelah itu ibu mengamati bibir bapak mulai jatuh, seperti orang stroke. Beberapa saat bapak duduk di kursi, ibu menyarankan bapak untuk masuk ke dalam rumah, nah saat itu bapak sudah tidak bisa bangun lagi dan dibantu tetangga untuk mengangkat bapak kembali ke kamar. Setelah kejadian itu, keadaan bapak tidak bisa lebih baik lagi.

Suami yang ikut menjaga bapak di rumah sakit. Bersama ibu, dia dengan telaten mendampingi bapak. Suami jarang bercerita tentang keadaan bapak, nada berceritanya sama seperti tidak terjadi apa-apa. Saya yang di Bali tidak merasa ada aura kesedihan yang mendalam sewaktu bapak diopname. Kehidupan berjalan sebagaimana biasanya. Mungkin saya bukan “tong sampah” yang cocok diajak curhat oleh suami mengenai kondisi bapaknya. Saya sempat mengantar teman mencoba spa (untuk pertama kali hehe) di kawasan sunset road!.

Saat saya bercerita tentang sensasi spa, suami menanggapi dengan biasa. Seperti biasa juga dia lebih banyak menanyakan kabar anak-anak. Tidak lama, masuk gambar MMS di handphone saya. Ada bapak terbaring diranjang dengan berbagai selang masuk lewat hidung dan mulut. Saya baru sadar, keadaan beliau memburuk. Terbersit ide untuk mengajak, Pak Yan- adik bapak terkecil untuk menengok beliau di Surabaya, siapa tahu bapak mau ber’semangat’ berjuang dengan penyakitnya.

Jadilah kami terbang ke Surabaya. Bersama Pak Yan, dan salah seorang anaknya, kami hanya tertegun kaku melihat bapak yang berusaha menyapa ditengah berjuang mengatur nafas, agak tersengal-sengal seperti orang yang kecapekan lari marathon. Saya baru sadar sekarang beliau terlihat tua dan lemah. Seingat saya bapak tidak mau terlihat tidak berdaya. Ketika kakek dari ibu saya sakit (perkiraan saya kakek hanya lebih tua 5-8 tahun dari Bapak). Bapak mengatakan, jangan focus dengan penyakit. Hidup itu harus dibawa santai dan senang. Pasti penyakit enggan datang.

Memang bapak adalah salah satu orang yang bagus mengendalikan emosi dari beberapa orang yang saya kenal. Jarang saya melihat bapak marah, padahal bapak itu orangnya sangat berprinsip. Bapak jarang mau merepotkan orang. Semasih bisa dilakukannya sendiri, beliau lakukan. Terlihat dari urusan reparasi alat elektronik, atau peralatan rumah tangga. Saya sampai malu hati dengan bapak, yang telaten membersihkan kipas angin berdebu tebal dirumah. Ketika saya menawari mau makan siang atau nyemil, bapak selalu menolak dengan halus. Sampai kemudian saya menemukan cara untuk membuatnya tidak bisa menolak. Saya langsung ambil piring dan menyodorkan ke beliau. Haha!

Bapak mengajari saya, jangan terlalu lembek mendidik Ryan. Nanti dia terlalu cengeng jadi anak laki. Saya sering tidak enak hati dengan bapak, ketika Ryan jatuh dan saya panik, beliau dengan enteng bilang santai. Bapak begitu bahagia ketika Ryan lahir, Ryan adalah cucu pertamanya. Beberapa kali bapak menengok Ryan ke Sukawati, padahal saya saja mengunjungi bapak di Kesambi. Tetapi saya terlalu malas untuk mengepak barang dan  membawa bayi, sebuah kerepotan yang luar biasa. Bapak sering menelpon kerumah, hanya untuk mendengar suara Ryan meskipun Nara juga sudah lahir. Saya justru merasa bersalah, sering kali anak-anak tidak mau menjawab telpon kakeknya, meski sudah dipaksa.

Saya sebenarnya ingin melihat anak-anak akrab dengan kakeknya. Melihat mereka melakukan kegiatan bersama, seperti mancing, berenang dipantai, mengantar ke sekolah sesekali, bersama-sama ke pura, makan bersama dengan kakeknya. Ahh…

Sejak SMP bapak sudah merantau ke Yogyakarta, Pak De, kakak laki-lakinya mengajak bapak untuk disekolahkan disana. Bapak belajar lulusan guru olah raga. Sebelum kemudian berkarir menjadi Marinir (Angkatan Laut) bapak pernah menjadi Guru Olah Raga di Taman Siswa, tempat ini menjadi saksi pertemuan Ibu dan bapak mertua. Kebiasaan merantau membentuk karakter bapak yang mandiri ditambah tempaan ketika menjadi marinir membuat beliau menerapkan disiplin tubuh yang bagus.

“Bapak terbiasa melakukan semuanya sendiri, sampai aku tidak menyadari bahwa bapakku sudah semakin tua. Sering aku tanya dengan bapak, tapi bapak selalu bilang ah segitu aja, bapak bisa kerjain sendiri.” kenang suami suatu malam ketika kami bernostalgia tentang bapak.

Aku teringat pertemuan pertama dengan Bapak di rumah keluarga di Klungkung. Kebetulan aku duluan kenal dengan Pak Yan-nya suami sebelum bertemu bapak. Aku ingat bapak waktu itu pakai celana kain coklat dengan baju polo bercorak dengan warna senada. Pak Yan bilang, sana kamu ketemu dengan calon mertua untuk fit and proper test. Huaha.. seperti calon DPR, canda Pak Yan. Pertemuan pertama sangat cair, beliau menanyakan pertanyaan standard, tentang kerjaan, keluarga dan beliau bercerita tentang keluarganya.

Siapapun yang kenal bapak, pasti menandai bahwa bapak selalu bercerita tentang keluarganya, 
anak-anaknya. Cerita itu selalu diceritakan berulang-ulang. Alasannya, mendingan menceritakan keluarga sendiri ketimbang menggosipkan orang lain.

Bapak, orangnya sangat tepat waktu. Setiap janjian dengannya harus tepat waktu. Berbanding terbalik dengan kebiasaanku. Janjian jam 8, biasanya aku baru berangkat jam 8 dari rumah. Sepertinya bapak sudah menandai kebiasaan burukku, sehingga kalau janjian selalu telat, bapak tidak pernah tanya-tanya, dan beliau selalu menunggu dengan keadaan sudah siap berangkat. Kebiasaan beliau tepat waktu ini, sangat menyentuh hatiku ketika sore itu, hari Rabu dibulan Januari 2006. Suami bilang bahwa bapaknya akan datang kerumah melamar. Keadaan kami yang sepertinya sulit untuk disetujui menikah, menyebabkanku resah dengan hasil dari pembicaraan yang akan dihasilkan. Ibuku sudah memberitahu paman-pamannya untuk ikut dalam proses ‘negosiasi’. Suami bilang keluarganya akan datang jam 4 sore. Jam 4 sore, saya masih ngobrol ditempat tetangga disebelah rumah-hanya perlu naik tembok untuk menyeberang. Dari tembok tetangga saya melihat mobil kijang parkir didepan rumah. Bapak dan Pak De sudah datang, tepat jam 16.00 sore.

Saya dulu sering diskusi spiritual dengan bapak. Salah satu topiknya adalah ketakutan saya terhadap kematian. Bapak pernah bilang tidak usah takut karena orang mati seperti orang tidur. Saya bilang ke beliau saya selalu khawatir apa yang akan kita hadapi ketika sudah gelap, mata tertutup selamanya. Saya mengenalkan ke bapak sebuah buku, karya Anand Krishna: Menghadapi kematian dengan senyuman. Saya bilang pada bapak, saya sangat mempercayai apa yang ada dalam buku ini. Bahwa ada beberapa proses (bardo) yang dilewati roh sebelum bereinkarnasi. Ini merupakan buku panduan meninggal orang Tibet yang menjadi panduan Pak Anand. Bapak menimbang, saya yakin beliau punya referensi tersendiri tentang kehidupan setelah kematian. Bapak meminjam buku itu untuk dibaca dirumah.

Bapak orang yang tekun dan aktif dalam kegiatan spiritual. Di Surabaya, bapak bahkan menjadi mangku di sebuah pura. Di Bali, bapak aktif dalam organisasi meditasi angka. Beliau beberapa kali keluar kota mengikuti guru spiritualnya untuk memberi ceramah. Kegiatan yang belakangan diprotes ibu mengingat bapak tidak muda lagi untuk ikutan safari seperti itu.

Bapak mertua adalah cerminan orang Indonesia. Beliau tidak mempermasalahkan istrinya yang mempunyai keyakinan berbeda dengan agamanya, mereka saling menghormati satu sama lain. Suatu hubungan yang mungkin dianggap aneh bagi sebagian besar orang dan keluarga besar bapak.
Tubuh bapak tidur terbujur kaku. Selintas kutarik selimut zebra yang menutupi badannya hingga dada. Badan, tangan dan kakinya bengkak. Telapak kaki kiri bahkan terlihat hitam. Kata Wira pertanda darahnya sudah mati, tidak ada oksigen yang masuk ke bagian itu. Kulitnya menguning. Ah setidaknya nafasnya teratur. Tidak terasa air mata mulai mengalir, sekeras mungkin kutahan untuk tidak keluar. Semakin keras kutahan tidak terasa tubuhku semakin terguncang. Ibu mertua yang sebelumnya tabah disebelahku, memegang lenganku. Airmatanya mulai menggantung. Saya tidak ingin membuat ibu lebih sedih, segera saya keluar.

Pagi hari, Senin 29 Oktober 2012, hari itu bulan purnama. Ritual mengurus tiga anak dipagi hari dimulai, menyiapkan sarapan, memandikan anak-anak dan menyiapkan Ryan berangkat ke sekolah. Adik ipar memberi kabar, keadaan bapak semakin kritis. Jantung bapak mulai melemah. Suami segera berangkat ke rumah sakit. melanjutkan mengantar Ryan ke sekolah. Berita duka saya dengar melalui telepon. Bapak meninggal dunia. Tepat dihari adik saya, Diah, ulang tahun yang ke 31 tahun.

Selamat jalan bapak, semoga bapak beristirahat dengan tenang.. Maafkan saya yang banyak bersalah dengan bapak.. sekali lagi maaf pak..

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda