Bapak Nyoman Sukerena Bayumurti, In Memoriam
Ruangan itu begitu dingin, mungkin karena dipasang pendingin
ruangan. Tetapi lebih dari itu, siapapun yang masuk ke ruangan itu pasti
menyiapkan air dikantong mata, dan segera akan tumpah begitu melihat sosok yang
disayang. Selintas aku melihat beberapa lelaki terbaring dihiasi dengan
berbagai selang terhubung dengan monitor berbagai fungsi. Masing-masing tempat
tidur dibatasi dengan korden disisi kiri kanan.
Siang itu, pertama kali aku menengoknya di Rumah Sakit
Sanglah. Bapak mertuaku, Pak Bayu, beberapa hari lalu dipindahkan dari sebuah
rumah sakit di Surabaya dengan ambulance. Sejak tiba di Sanglah tanggal 19
Oktober lalu, bapak langsung masuk ICU- dirawat dengan intensive. Beberapa
Dokter jaga dan perawat menjaga dan monitor dengan seksama kondisi pasien. Aku
mengalami dejavu, perasaan yang pernah kurasakan ketikan Fika, almarhum
keponakan juga pernah dirawat di ICU anak. Diruangan ini, keluarga dan penunggu
pasien dilarang masuk kedalam kecuali memang kalau dipanggil.
Kata Wira, adik ipar yang kebetulan tugas belajar mendalami
spesialis bedah di Sanglah mengatakan kondisi bapak sudah drop sejak dari
Surabaya sehingga diputuskan untuk sementara “mengistirahat”kan bapak dengan
mengganti fungsi paru-parunya dengan ventilator. Dengan ventilator ini, nafas bapak
mulai teratur dan bapak seperti sedang tidur, kaku.
Perasaan sedih datang mendera, mengingat peristiwa lalu
ketika bapakku dulu sakit dan terbaring lemah. Aku melihat sosok seorang bapak
yang telah berjuang untuk keluarganya sekian tahun dan sekarang berjuang
melawan sakit. Sakit bapak semakin parah. Aku teringat ketika pulang ke
Surabaya di hari Lebaran, bapak masih bisa jalan meski sempoyongan. Setiap
orang yang mengenal Pak Bayumurti pasti menandai beliau adalah sosok yang suka
senyum, ramah, berbadan tegap, kemana-mana membawa sikat gigi. Sehabis makan
bapak selalu sikat gigi, tidak heran di usianya yang mencapai 78 tahun giginya
putih berjejer rapi. Asli semua, satupun tidak ada gigi palsu. Suatu anugerah
karena masih bisa mampu mengunyah dengan baik. Sebuah disiplin yang harus aku
teladani.
Tidak biasanya bapak mengeluh sakit. Bapak merasa kepalanya
pusing dan pandangannya kabur, padahal baru ganti kacamata. Karena pusing,
bapak lebih banyak tidur. Sesekali bangun untuk menyapa cucu-cucunya dan duduk
menonton TV diruang keluarga. Bapak menggoda Raya, cucu kesayangannya. Tidak sampai setengah jam, balik ke kamar
tidur lagi. Pipit, adik iparku yang berani cerewet dengan bapaknya mengingatkan
bapak jangan tidur terus, nanti gulanya naik. Bapak mertua memang punya riwayat
kadar gula yang agak tinggi. Beliau tahu ketika hendak operasi katarak setahun
yang lalu.
Di hari ketiga kami di Surabaya, saya menyarankan suami
untuk mengajak bapak jalan-jalan disekitar kompleks perumahan. Kami jalan-jalan
dengan anak-anak. Bapak jalan sempoyongan, bahunya turun. Bapak mengeluh tangan
kanan susah diangkat ketika makan, bapak curiga beliau kena stroke. Suami
mengajak bapak ke rumah sakit. Siang itu bapak langsung opname untuk pertama
kalinya dalam sejarah. Bapak dirawat dirumah sakit Dr. Soetomo di Surabaya,
rumah sakit itu dilengkapi khusus dengan unit stroke. Ada pendarahan di otak
sebelah kirinya. Suami yang menunggui dirumah sakit. Saya dan ipar menyiapkan
ada upacara Mlaspas (membersihkan rumah) setelah renovasi bagian belakang. Saya
baru sempat menengok bapak sekaligus pamitan mau pulang ke Bali beberapa hari
setelahnya. Kala itu, bapak terlihat kikuk. Bapak tidak biasa sakit dan
ditengokin di rumah sakit, mungkin beliau malu pikir saya. Itu terakhir kali
saya bisa komunikasi dengan beliau. Beliau bilang hati-hati dijalan, salam
dengan ibu (saya) dirumah.
Bapak sempat pulang dari rumah sakit dan rawat jalan.
Setelah sampai rumah, kondisi bapak sudah tidak seperti dulu lagi. Bapak sudah
mulai tidak bisa mengontrol pipisnya, sehingga ibu mertua harus lebih ekstra
perhatian merawat bapak. Sempat saya diskusikan dengan suami untuk mengajak
bapak ke Bali. Lebih banyak tenaga yang bisa merawat bapak di Bali, ada
ipar-ipar dan saya di Bali. Saya kepikiran dengan ibu mertua yang juga sudah
sepuh merawat bapak sendirian di Surabaya. Sebelum ide memindahkan bapak ke
Bali terwujud, ada sebuah peristiwa yang memicu tensi baik melonjak naik. Malam
itu juga kena serangan stroke, bukan gejala lagi. Setelah peristiwa marah-marah
itu, kata ibu, bapak masih bisa jalan kembali ke rumah. Sampai diteras bapak
duduk dikursi, setelah itu ibu mengamati bibir bapak mulai jatuh, seperti orang
stroke. Beberapa saat bapak duduk di kursi, ibu menyarankan bapak untuk masuk
ke dalam rumah, nah saat itu bapak sudah tidak bisa bangun lagi dan dibantu
tetangga untuk mengangkat bapak kembali ke kamar. Setelah kejadian itu, keadaan
bapak tidak bisa lebih baik lagi.
Suami yang ikut menjaga bapak di rumah sakit. Bersama ibu,
dia dengan telaten mendampingi bapak. Suami jarang bercerita tentang keadaan
bapak, nada berceritanya sama seperti tidak terjadi apa-apa. Saya yang di Bali
tidak merasa ada aura kesedihan yang mendalam sewaktu bapak diopname. Kehidupan
berjalan sebagaimana biasanya. Mungkin saya bukan “tong sampah” yang cocok
diajak curhat oleh suami mengenai kondisi bapaknya. Saya sempat mengantar teman
mencoba spa (untuk pertama kali hehe) di kawasan sunset road!.
Saat saya bercerita tentang sensasi spa, suami menanggapi
dengan biasa. Seperti biasa juga dia lebih banyak menanyakan kabar anak-anak.
Tidak lama, masuk gambar MMS di handphone saya. Ada bapak terbaring diranjang
dengan berbagai selang masuk lewat hidung dan mulut. Saya baru sadar, keadaan
beliau memburuk. Terbersit ide untuk mengajak, Pak Yan- adik bapak terkecil
untuk menengok beliau di Surabaya, siapa tahu bapak mau ber’semangat’ berjuang
dengan penyakitnya.
Jadilah kami terbang ke Surabaya. Bersama Pak Yan, dan salah
seorang anaknya, kami hanya tertegun kaku melihat bapak yang berusaha menyapa
ditengah berjuang mengatur nafas, agak tersengal-sengal seperti orang yang
kecapekan lari marathon. Saya baru sadar sekarang beliau terlihat tua dan
lemah. Seingat saya bapak tidak mau terlihat tidak berdaya. Ketika kakek dari
ibu saya sakit (perkiraan saya kakek hanya lebih tua 5-8 tahun dari Bapak). Bapak
mengatakan, jangan focus dengan penyakit. Hidup itu harus dibawa santai dan
senang. Pasti penyakit enggan datang.
Memang bapak adalah salah satu orang yang bagus
mengendalikan emosi dari beberapa orang yang saya kenal. Jarang saya melihat
bapak marah, padahal bapak itu orangnya sangat berprinsip. Bapak jarang mau
merepotkan orang. Semasih bisa dilakukannya sendiri, beliau lakukan. Terlihat
dari urusan reparasi alat elektronik, atau peralatan rumah tangga. Saya sampai
malu hati dengan bapak, yang telaten membersihkan kipas angin berdebu tebal
dirumah. Ketika saya menawari mau makan siang atau nyemil, bapak selalu menolak
dengan halus. Sampai kemudian saya menemukan cara untuk membuatnya tidak bisa
menolak. Saya langsung ambil piring dan menyodorkan ke beliau. Haha!
Bapak mengajari saya, jangan terlalu lembek mendidik Ryan.
Nanti dia terlalu cengeng jadi anak laki. Saya sering tidak enak hati dengan
bapak, ketika Ryan jatuh dan saya panik, beliau dengan enteng bilang santai.
Bapak begitu bahagia ketika Ryan lahir, Ryan adalah cucu pertamanya. Beberapa
kali bapak menengok Ryan ke Sukawati, padahal saya saja mengunjungi bapak di
Kesambi. Tetapi saya terlalu malas untuk mengepak barang dan membawa bayi, sebuah kerepotan yang luar
biasa. Bapak sering menelpon kerumah, hanya untuk mendengar suara Ryan meskipun
Nara juga sudah lahir. Saya justru merasa bersalah, sering kali anak-anak tidak
mau menjawab telpon kakeknya, meski sudah dipaksa.
Saya sebenarnya ingin melihat anak-anak akrab dengan
kakeknya. Melihat mereka melakukan kegiatan bersama, seperti mancing, berenang
dipantai, mengantar ke sekolah sesekali, bersama-sama ke pura, makan bersama
dengan kakeknya. Ahh…
Sejak SMP bapak sudah merantau ke Yogyakarta, Pak De, kakak
laki-lakinya mengajak bapak untuk disekolahkan disana. Bapak belajar lulusan
guru olah raga. Sebelum kemudian berkarir menjadi Marinir (Angkatan Laut) bapak
pernah menjadi Guru Olah Raga di Taman Siswa, tempat ini menjadi saksi
pertemuan Ibu dan bapak mertua. Kebiasaan merantau membentuk karakter bapak
yang mandiri ditambah tempaan ketika menjadi marinir membuat beliau menerapkan
disiplin tubuh yang bagus.
“Bapak terbiasa melakukan semuanya sendiri, sampai aku tidak
menyadari bahwa bapakku sudah semakin tua. Sering aku tanya dengan bapak, tapi
bapak selalu bilang ah segitu aja, bapak bisa kerjain sendiri.” kenang suami
suatu malam ketika kami bernostalgia tentang bapak.
Aku teringat pertemuan pertama dengan Bapak di rumah
keluarga di Klungkung. Kebetulan aku duluan kenal dengan Pak Yan-nya suami
sebelum bertemu bapak. Aku ingat bapak waktu itu pakai celana kain coklat
dengan baju polo bercorak dengan warna senada. Pak Yan bilang, sana kamu ketemu
dengan calon mertua untuk fit and proper test. Huaha.. seperti calon DPR, canda
Pak Yan. Pertemuan pertama sangat cair, beliau menanyakan pertanyaan standard,
tentang kerjaan, keluarga dan beliau bercerita tentang keluarganya.
Siapapun yang kenal bapak, pasti menandai bahwa bapak selalu
bercerita tentang keluarganya,
anak-anaknya. Cerita itu selalu diceritakan
berulang-ulang. Alasannya, mendingan menceritakan keluarga sendiri ketimbang
menggosipkan orang lain.
Bapak, orangnya sangat tepat waktu. Setiap janjian dengannya
harus tepat waktu. Berbanding terbalik dengan kebiasaanku. Janjian jam 8,
biasanya aku baru berangkat jam 8 dari rumah. Sepertinya bapak sudah menandai
kebiasaan burukku, sehingga kalau janjian selalu telat, bapak tidak pernah
tanya-tanya, dan beliau selalu menunggu dengan keadaan sudah siap berangkat.
Kebiasaan beliau tepat waktu ini, sangat menyentuh hatiku ketika sore itu, hari
Rabu dibulan Januari 2006. Suami bilang bahwa bapaknya akan datang kerumah
melamar. Keadaan kami yang sepertinya sulit untuk disetujui menikah,
menyebabkanku resah dengan hasil dari pembicaraan yang akan dihasilkan. Ibuku
sudah memberitahu paman-pamannya untuk ikut dalam proses ‘negosiasi’. Suami
bilang keluarganya akan datang jam 4 sore. Jam 4 sore, saya masih ngobrol
ditempat tetangga disebelah rumah-hanya perlu naik tembok untuk menyeberang.
Dari tembok tetangga saya melihat mobil kijang parkir didepan rumah. Bapak dan
Pak De sudah datang, tepat jam 16.00 sore.
Saya dulu sering diskusi spiritual dengan bapak. Salah satu
topiknya adalah ketakutan saya terhadap kematian. Bapak pernah bilang tidak
usah takut karena orang mati seperti orang tidur. Saya bilang ke beliau saya
selalu khawatir apa yang akan kita hadapi ketika sudah gelap, mata tertutup
selamanya. Saya mengenalkan ke bapak sebuah buku, karya Anand Krishna:
Menghadapi kematian dengan senyuman. Saya bilang pada bapak, saya sangat
mempercayai apa yang ada dalam buku ini. Bahwa ada beberapa proses (bardo) yang
dilewati roh sebelum bereinkarnasi. Ini merupakan buku panduan meninggal orang
Tibet yang menjadi panduan Pak Anand. Bapak menimbang, saya yakin beliau punya
referensi tersendiri tentang kehidupan setelah kematian. Bapak meminjam buku itu
untuk dibaca dirumah.
Bapak orang yang tekun dan aktif dalam kegiatan spiritual.
Di Surabaya, bapak bahkan menjadi mangku di sebuah pura. Di Bali, bapak aktif
dalam organisasi meditasi angka. Beliau beberapa kali keluar kota mengikuti
guru spiritualnya untuk memberi ceramah. Kegiatan yang belakangan diprotes ibu
mengingat bapak tidak muda lagi untuk ikutan safari seperti itu.
Bapak mertua adalah cerminan orang Indonesia. Beliau tidak
mempermasalahkan istrinya yang mempunyai keyakinan berbeda dengan agamanya,
mereka saling menghormati satu sama lain. Suatu hubungan yang mungkin dianggap aneh
bagi sebagian besar orang dan keluarga besar bapak.
Tubuh bapak tidur terbujur kaku. Selintas kutarik selimut
zebra yang menutupi badannya hingga dada. Badan, tangan dan kakinya bengkak. Telapak
kaki kiri bahkan terlihat hitam. Kata Wira pertanda darahnya sudah mati, tidak
ada oksigen yang masuk ke bagian itu. Kulitnya menguning. Ah setidaknya
nafasnya teratur. Tidak terasa air mata mulai mengalir, sekeras mungkin kutahan
untuk tidak keluar. Semakin keras kutahan tidak terasa tubuhku semakin
terguncang. Ibu mertua yang sebelumnya tabah disebelahku, memegang lenganku. Airmatanya
mulai menggantung. Saya tidak ingin membuat ibu lebih sedih, segera saya
keluar.
Pagi hari, Senin 29 Oktober 2012, hari itu bulan purnama. Ritual
mengurus tiga anak dipagi hari dimulai, menyiapkan sarapan, memandikan
anak-anak dan menyiapkan Ryan berangkat ke sekolah. Adik ipar memberi kabar,
keadaan bapak semakin kritis. Jantung bapak mulai melemah. Suami segera
berangkat ke rumah sakit. melanjutkan mengantar Ryan ke sekolah. Berita duka
saya dengar melalui telepon. Bapak meninggal dunia. Tepat dihari adik saya,
Diah, ulang tahun yang ke 31 tahun.
Selamat jalan bapak, semoga bapak beristirahat dengan
tenang.. Maafkan saya yang banyak bersalah dengan bapak.. sekali lagi maaf
pak..
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda