Rabu, 27 Juni 2012

Sila Pertipa: Kemeriahan Komunal


Spanyol hebat!, begitu bangun mata saya sudah terpaku teks di salah satu TV swasta yang memegang izin menyiarkan perhelatan akbar kedua sepak bola setelah world cup/piala dunia. Pagi ini Spanyol memang menang. Senyum sumringah dan tawa kesuksesan tergambar disetiap wajah para pemain di stadion. Kemenangan ini juga menulari para pendukung spanyol di stadion tersebut dan hampir diseluruh belahan dunia lainnya. Kemeriahan sepak bola menjadi kemeriahan komunal di bulan Juni ini. Setiap mata mengamatinya, setiap mulut menyuarakannya. Spanyol juara Piala Eropa.

Piala Euro 2012, membawa setiap orang larut dalam dinamikanya. Sebagian orang lain rela mengeluarkan uang untuk membuat bendera masing-masing Negara jagoannya dan mengibarkannya tinggi di wilayahnya. Di sebuah banjar di Desa Kesiman Kertalangu Bali, setiap rumah mengibarkan bendera jagoannya masing-masing. Sepanjang jalan itu sejenak menjadi kampong international. Ada bendera Perancis, Spanyol, Jerman, Portugal, Belanda, dan Negara Eropa lainnya. Kalau seandainya, Kedutaan Besar masing-masing Negara mengeluarkan sejumlah uang untuk mendanai aksi ini, saya tidak bisa membayangkan berapa uang yang dihabiskan hanya untuk membuat bendera. Ukurannya bukan main besarnya, perkiraan saya 5 meter x 3 meter.  Saya pikir ini juga pasti terjadi di tempat lain.

Bayangkan berapa uang yang diputar untuk Piala Eropa ini. Orang bergegas mencari tiket ke Polandia dan Ukraina untuk menonton langsung. Kabarnya, hotel hotel disana kalap menaikkan harga kamar, harga kamar meroket membuat calon penonton meradang. Perhelatan akbar yang pertama kalinya diadakan di eropa timur ini membuat semua orang kerja keras, pemerintah tempat penyelenggara ngebut menyiapkan stadion dan bandara baru, transportasinya diperbaiki. Orang-orang juga ekstra bekerja untuk membuat anggaran menonton. Kabarnya tiket masuk untuk final sekitar 330 Euro, sekitar 4,5 Juta rupiah. Saking memburuknya citra hotel-hotel di polandia dan ukraina karena menaikkan harga kamar, beberapa penduduk berinisiatif untuk membuka pintu rumahnya secara gratis sebagai tempat menginap para pendukung dan penonton. Begitulah Globalisasi, selalu mencari ikon yang dijadikan identitas bahwa kita adalah satu, warga dunia.

Saya ingin cerita dibalik kemeriahan gegap gempita sepak bola, ada juga kemeriahan komunal yang gegap gempita yang sedang dirasakan oleh warga Banjar Palak Sukawati. Jagoan Gong Kebyar Anak-Anak akan pentas di Pesta Kesenian Bali. Pesta Kesenian Bali adalah acara tahunan pesta budaya digabung dengan pasar rakyat. Berbagai pertunjukan seni dipentaskan dan dilombakan. Para seniman juga datang dari berbagai wilayah di Bali bahkan di luar Bali dan dari luar negeri.  Pesta Kesenian Bali seakan-akan menjadi barometer kemampuan untuk unjuk pertunjukkan seni di Bali. Pesta Kesenian Bali dibiasanya diselenggarakan pada pertengahan bulan Juni sampai pertengahan bulan Juli, waktu libur sekolah.

Gong Kebyar anak-anak “Sila Pertipa” dipilih menjadi wakil Kota Gianyar untuk lomba gong kebyar anak-anak. Audiensi sekehe (kelompok) gong sudah dimulai dari jauh-jauh hari, persiapannya sudah lebih dari 8 bulan. Anak-anak yang dipilih sebagian besar masih usia sekolah dasar, yang paling tua duduk di sekolah menengah pertama. Memang tidak semua, anggota sekehe, anak-anak dari banjar palak, ada satu dua outsourcing (istilah keren sekarang) dari desa lain. Dari ibu saya, saya baru tahu, ‘Sila Pertipa’ artinya anak yang tekun dan ulet. Meski di telinga saya, nama ini rada-rada aneh dan tidak gagah kedengarannya.
Kehebohan sudah dimulai sejak mereka latihan, setiap hari para orang tua dan masyarakat disekitar Bale Banjar menyaksikan mereka latihan. Para ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga- saya sampai lupa kepanjangannya sampai diingatkan oleh seorang teman. Thanks mbak dew), sibuk turun ngayah untuk membantu menyiapkan konsumsi: membuat kopi dan jajanan untuk para sekehe gong dan para pelatihnya. Oleh karena kegiatan ini didukung sepenuhnya oleh organisasi Banjar, maka anggota Banjar juga setiap hari bergantian berjaga-jaga disekitar Banjar.

Tidak hanya Sekehe Gong, para anak-anak ini juga dilatih untuk membuat semacam drama tari, Dolanan istilahnya. Temanya dolanannya, bagaimana mempertahankan tradisi ditengah gaya hidup modern. Para pemainnya juga seumuran anak sekolah dasar. Naskahnya dibuat oleh para pelatih yang lulusan sekolah seni di Denpasar. Setiap hari mereka latihan. Tidak kurang dari 80an orang yang setia menonton orang latihan. Anak-anak berseliweran di Bale Wantilan ikut serta juga menonton kakak-kakaknya latihan fragmen drama tari.

Untuk pentas ini, saya mendengar bahwa Banjar menerima bantuan dana pembinaan dari Pemda Gianyar sebanyak 200 juta, kabarnya uangnya tidak utuh diterima dalam jumlah itu. Dipotong pajak, selentingan saya dengar kabarnya. Uang itu, kiranya tidak cukup untuk mendanai bayar pelatih, konsumsi, baju setelan, dekorasi panggung, transportasi, dan lainnya. Perkiraan masih kurang 100 juta lagi sebagai dana talangan. Maka Banjar-pun sepakat untuk mengadakan penggalian dana, salah satu cara penggalian dana adalah mengadakan Tajen (sabung ayam). Dari beberapa kali pengalaman, Tajen terbukti ampuh untuk menggaet uang dalam waktu singkat. 2-3 hari mengadakan Tajen bisa terkumpul sekitar 50-an juta rupiah. Selain itu, beberapa anak muda membuat TShirt dan dijual ke anggota banjar untuk penggalian dana.

Sampai pada hari H tanggal 24 Juni 2012, semua orang sibuk, membantu persiapan. Membawa dekorasi ke Art Center, tempat PKB berlangsung, membantu dandan dan lainnya. Semua anggota banjar tumpah ruah ke art center. Seketika banjar Palak lenggang, seperti pada waktu Nyepi. Pentas baru dimulai jam 8 malam, tetapi orang-orang di Palak sudah berduyun-duyun ke Art Center, dari jam 12 siang. Booking tempat duduk di Arda Candra, panggung terbuka.

“Kalau tidak kesana dari siang, nanti kita tidak kebagian tempat duduk” kata Mbok Lenge, 60 tahun. Dia perempuan tua yang tidak menikah, membantu tetangganya berjualan sembako di Pasar Sukawati.

Ibu saya sedari tadi sudah gelisah minta diantar ke Art Center takut tidak dapat tempat duduk. Padahal saya berencana untuk mengantar Runa, bayi saya ke dokter anak. Sudah dua hari ini dia batuk pilek, susah minum ASI, mungkin ada lender yang menyangkut di tenggorokan atau hidungnya. Saya mencoba menenangkan ibu dan berjanji akan mengantarnya setelah pulang dari Rumah Sakit.

“Kita harus kesana, tidak enak dengan anggota banjar yang lain. Ini kan kegiatannya Banjar. Kita harus datang dan ikut meramaikannya” kata ibu saya.

Setiba di rumah dari rumah sakit, ibu saya dan Ketut – seorang gadis dari Karangasem yang ikut di rumah, sudah bersiap-siap duduk menunggu. Baju sudah rapi, dengan sedikit bedak dan lipstick tipis. Suami saya tidak jadi memasukkan mobil ke garasi, dia banting setir mengantar rombongan itu ke Art Center.
Kami tidak ikut menonton, kami menunggui anak-anak dirumah. Kabarnya, gong kebyar itu disiarkan langsung oleh Radio Republik Indonesia di Denpasar.  Malam itu, Sila Pertipa mewakili Gianyar berhadapan dengan Sekehe Gong wakil Kodya Denpasar.

Rombongan menonton pulang jam 11 malam, suami saya menjemput lagi mereka ke Denpasar. Setiba dirumah, ibu bercerita heboh bahwa dia melihat sesama banjar Palak disana.

“semua orang disana, bisa dihitung dengan jari yang tidak datang” kata ibu.

Di banjar Palak, setiap pementasan kesenian, selalu ada kemeriahan komunal. Tidak peduli apakah pentasnya di Bale Banjar, di Pura Kahyangan Tiga, di PKB, selalu ada rombongan yang berbondong-bondong untuk menonton. Bahkan salah seorang anggota Banjar telah mengunggahnya di youtube.
Selain pentas kesenian, ada banyak kegiatan lain lagi yang dapat menimbulkan kemeriahan komunal, yaitu, Tajen, lomba layang-layang dan Bazzaar. Semua orang sibuk dengan keriuhan yang hiruk pikuk. Kemeriahan yang dinikmati oleh semua orang.

Pada akhirnya kemeriahan komunal ini dibalut dengan kemeriahan global. Banjar sepakat untuk nglawar untuk menutup kepanitiaan seke gong. Sekitar siang hari ada kulkul banjar dibunyikan. Kulkul itu berbunyi hanya ketika ada kematian, ritual, kebakaran dan isu penting lainnya. Ibu saya bilang itu kulkul untuk mengingatkan banjar akan acara ngelawar. Lawar dan nonton bareng piala dunia. Itu perpaduan yang mantap!.. apakah orang di Spanyol dan dibelahan dunia lainnya merasakan kemeriahan ini juga? saya bertanya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda