Selasa, 01 Mei 2012

Mengingat Hari Buruh.. Mayday.. Mayday..


Some day, April 1999

“Tugas hari ini untuk Dewi dan Data menyebarkan pamflet (untuk mengajak buruh long march memperingati hari buruh sedunia) di depan Pabrik A.”

Saya tidak ingat siapa yang memberi mandat pada saya dan Data. Saya teringat Data, anak FISIP angkatan 97, pemuda kurus pendek berkulit kuning langsat tetapi tidak mulus, berkata mata dan berambut panjang. Kami naik angkot dari markas kami disebuah desa dalam kawasan industry di daerah Ungaran – Jawa Tengah, tidak jauh dari kota Semarang. Sesampai di depan pabrik yang dituju, kami mulai membuat siasat untuk menyebar  pamphlet demo – hanya secarik kertas.

Tepat jam 12 siang, ratusan buruh keluar pabrik untuk makan siang. Kami mulai menyebar undangan, saya teringat gaya para Sales Promotion Girl (SPG) – mahasiswi yang mencari uang saku menjual rokok atau produk lain ke dalam kampus-kampus – merayu calon konsumen mereka dengan senyum manis. Namun, jangan membayangkan saya seseksi mereka dengan rok jauhhh diatas lutut dan dengan balutan baju ngepas dibadan. Saya mengenakan jeans dengan baju kotak-kotak digulung dibagian lengan, khas gaya aktivis demo. Tidak sampai setengah jam, dan setengah selebaran habis dibagikan, saya didatangi dua orang satpam perusahaan menanyakan maksud saya menyebar selebaran dan menanyakan izin menyebarkan. Tentu saja saya tidak punya izin, dengan polosnya saya menjawab. Sepolos saya menjawab, sepolos itu juga dua orang satpam itu menggiring saya ke pos satpam – tidak jauh dari pintu masuk pabrik.

Data yang sedianya akan kabur dengan angkot, tidak sampai hati meninggalkan saya begitu melihat saya ‘tertangkap’. Dia menemani saya menunggu ‘orang yang didalam pintu pos satpam’ memanggil saya.
“Tenang  wi, nanti kalau ditanya aku aja yang menjawab. Kamu tunggu aku diluar saja”.
Satpam itu mempersilahkan saya yang masuk kedalam. Data berusaha menyela biar dia saja yang masuk, dia yang mengaku menjadi koordinator lapangan.

Satpam itu tidak bergeming, dia tetap menyuruh saya yang masuk kedalam. Data memegang lengan saya, mungkin untuk menenangkan. Dia menyakinkan saya bahwa aka nada bantuan pengacara yang siap membela apabila saya dijebloskan ke penjara. Sayapun masuk kedalam sebuah bilik di kantor satpam itu dengan langkah mantap.

“Silahkan duduk dik”, sambut seorang bapak yang saya taksir usianya pertengahan empat puluh tahunan. Ramah.

“Kalau saya boleh tahu identitas adik, adik berasal darimana? Masih kuliah?”.

“Iya, pak”. Jawab saya polos.

“kuliah dimana? Bisa saya lihat Kartu Mahasiswanya?” Tanyanya lagi dengan ramah.

“saya kuliah di PTS A di Jogja Pak, ini KTM saya” jawab saya masih polos. (ternyata setelah dilepaskan saya baru tahu dari Data, jangan sesekali memberi identitas asli kalau tertangkap demo).

“ adik tahu apa yang diperjuangkan?” tanyanya tersenyum. Mungkin dari raut muka terlihat saya masih sangat amatiran untuk demonstrasi.

“ya tahulah pak.. kan kita memperjuangkan UMR.. upah minimum regional untuk para buruh” jawab saya mencoba diplomatis.

“lah adik tahu berapa jumlah UMR disini?”

“ga tahu pak” jawab saya bego.

Asli saya tidak tahu. Saya baru datang sehari sebelumnya dari jogja untuk ikut mayday yang masih 3-4 hari lagi. Saya berangkat juga atas ajakan teman dan ingin merasakan pengalaman berdemo. Jadi sama sekali tidak tahu informasi mengenai itu. Seharian kemarin, kerjaan saya hanya masak di markas. Menunya buncis dan nasi putih. Ada dua karung buncis dan berkarung-karung beras di markas, gosipnya itu sumbangan dari para petani.

“ya.. kok bisa ikut-ikutan berjuang, lah wong apa yang diperjuangkan aja ga tau.. piye kowe iki?”. Jawabnya senyum-senyum. Saya juga ikut tersenyum kecut. Bener juga.

“lah adik ini aslinya darimana?

“dari Bali pak”

“KTPnya lihat. Bapakmu jadi apa?”

“Bapak saya sudah meninggal, tinggal ibu, adik dan nenek dirumah.”

“ibumu kerja apa?”

“Jadi guru. Guru SD.”

“dik.. dik.. kalau kamu adikku, wis tak jewer kamu. Kamu tahu betapa sulitnya ibumu membayar uang kuliahmu. Aku tahu berapa gaji guru. Bapakku juga guru. Pensiunan. Kamu tahu gimana perasaannya kalau dia tahu kamu ikut-ikutan demo? Susah-susah cari uang, anaknya disuruh belajar ya.. kok malah belajar demo.”

“lah kan penting juga pak memperjuangkan nasib buruh. Soalnya gaji mereka kan tidak sepadan dengan kebutuhannya”. Jawab saya ngeyel – kekeuh- kata orang Sunda.

“lah wong kamu ga tahu UMR aja, ngomong gaji tidak sepadan dengan kebutuhannya. Wis sini kamu tak jelasin.. (saya lupa dia ngomong apa, sepertinya dia menjelaskan tentang teori ekonomi, indicator gaji dan kebutuhan para buruh, jadi intinya bahwa UMR itu sudah sangat cukup untuk membiayai hidup mereka untuk ukuran Ungaran)”.

“Loh bapak kok pinter pak. Kayak dosen ekonomi”

“ya gini-gini, kan saya sekolahnya di Amrik dik” katanya santai, mungkin keceplosan.

“weee.. berarti bapak bukan satpam ya.. kok satpam bisa kuliah ke Amrik? Eh salah kok kuliah ke Amrik cuma jadi satpam?” Tanya saya. Kami sudah seperti teman. Tepatnya kakak adik. Sedikitpun saya tidak tegang.

“yo wis, ga usah dibahas. Pokoknya hari ini juga kamu harus pulang balik ke Jogja. Sekolah yang bener, jangan ikut-ikutan demo. Awas loh, nanti kalau kamu masih tak lihat disini tanggal satu. Tak cekel tenan kowe”. Ancamannya tak serius. Kartu identitas saya semuanya dikembalikan.

Saya pulang balik ke markas. Dalam angkot saya berpikir, benar juga kata pak ‘satpam’ itu.. saya harus belajar banyak, untuk apa saya demonstrasi hal yang tidak saya tahu, hanya karena ikut-ikutan. Bukan karena takut ancaman dari pak satpam itu, sehingga sore itupun saya bertekad untuk pulang kembali ke Jogja. Teringat wajah ibu saya bekerja dipasar meraup uang, teringat bapak - seorang guru yang dimutasi kesana kesini karena tidak sehaluan dengan kebijakan Soeharto. Teringat bahwa saya adalah anak tertua yang harus ‘menyelamatkan’ keluarga. Tetapi terlebih dari itu, mengutuk kebodohan saya untuk bergerak hanya karena “ikut-ikutan”. “adik tahu berapa UMR disini?” kalimat itu selalu terngiang-ngiang. Beberapa kali saya meremas rambut mengutuki diri didalam angkot. Mbak-mbak disebelah saya bertanya, apakah saya pusing.

Di markas, Data menyambutku dengan harap-harap cemas. Dia takut saya diperlakukan tidak manusiawi. Saya menceritakan yang saya alami didalam bilik itu. Semuanya.. semua orang terbahak-bahak mendengar cerita saya. Saya semakin malu. Seorang teman menunjuk seorang lelaki (saya lupa namanya), mas-nya itu sebelah kakinya cacat. Teman itu bilang bahwa zaman demo 1998, dia ditangkap polisi, dipukuli sehingga kakinya cacat. Dimarkas kami, dia tinggal bersama istrinya dan anak perempuannya juga. Anak perempuan itu baru barusia 3-4 tahun - perkiraan saya.

Saya malu. Saya bukanlah seorang yang idealis seperti mereka. Saya bahkan tidak tahu mengapa saya disini. Saya bilang kepada teman-teman sekampus – rombongan saya ada beberapa orang, kami berangkat dengan berkali-kali estafet angkot dari Jogja sampai ke Ungaran, untuk mengelabui polisi alas an waktu itu – bahwa sore itu saya akan pulang ke Jogja. Mereka tidak keberatan, semuanya terserah saya.

Waktu itu beberapa hari mendekati tanggal 1 Mei 1999, saya adalah mahasiswa baru jurusan Hubungan Internasional di sebuah PTS di Jogja. Aura berorganisasi sangat kental selepas zaman reformasi. Semangat mahasiswa untuk demo sama tingginya dengan idealism yang diusung.

Setelah 11 tahun berlalu, ingatan itu kembali teruntai karena hari ini adalah 1 Mei. Hari ini semua orang di Fesbuk dan Twitter menggaungkan tentang MAYDAY. Seolah-olah semua berpihak kepada buruh, bersimpati pada nasib buruh tetapi lupa bahwa mereka sebenarnya buruh juga, tidak semua punya usaha sendiri. Seorang teman di Fesbuk mengingatkan bahwa dalam prakteknya orang-orang yang bangga diri menyebut profesi mereka adalah konsultan atau freelancer adalah juga buruh, buruh harian lepas. Tahun ini, isu yang diperjuangkan buruh adalah perusahaan membuat kontrak outsourcing – tenaga harian lepas, menjamin kesehatan untuk semua penyakit dan tidak menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Mudah-mudah semua orang tahu benar bagaimana memperjuangkannya nasib kami, kaum buruh, dan menjadikannya nyata. Tidak hanya sekedar wacana.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda