Senin, 17 Oktober 2011

12 Oktober, Sembilan Tahun Lalu


Hari ini, tanggal 12 Oktober 2011 merupakan ritual tahunan saya mengucapkan selamat ulang tahun untuk sahabat saya, Rosita Candra Wulan. Orang Jawa muslim. Bapaknya pindah ke Bali diawal tahun 1980-an. Kami sudah berteman sejak SMP. Tidak hanya ulang tahun Rosita, 12 Oktober  juga mengingatkan saya pada kenangan lain. Pikiran saya kembali melayang pada kenangan 9 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12 Oktober 2002. Serangkaian bom di Kuta menewaskan ratusan orang meninggal, anda tentu sudah sangat hafal dengan berita itu. semua media memberitakannya.

Sekarang saya akan menceritakan kisah saya. Hari itu tanggal 12 Oktober, seperti biasa saya masuk kerja. Saya bekerja menjadi sekretaris di Konsulat Kehormatan Swedia dan Finlandia di Denpasar. Usia saya masih 22 tahun dan saya belum menyelesaikan skripsi. Saya baru bekerja di Konsulat bulan Juni tahun itu. Konsul Kehormatannya adalah orang Bali, dan ada satu lagi kolega seorang perempuan Swedia yang menikah dengan laki-laki Bali bekerja di kantor. Hari itu hari Sabtu, konsulat buka setengah hari. Hari itu saya memang merencanakan untuk datang ke pesta ulang tahun Rosita. Kami lahir di tahun yang sama. Pestanya meriah, banyak teman-teman yang datang. Kami bercerita banyak hal, kenangan waktu sekolah, pekerjaan, dan lainnya. Banyak teman-teman yang ingin berangkat kerja ke Kapal Pesiar. Rosita waktu itu masih training di sebuah hotel, saya lupa nama hotelnya. Kami bercerita sambil memanggang ikan bakar, menu utama malam itu.

Saya pulang kira-kira jam 22.00-an, mungkin lebih sedikit. Sampai rumah, saya langsung tidur. Malam itu kelihatannya biasa saja seperti malam sebelumnya, sampai saya menerima telpon dini hari. Saya lupa, mungkin itu sekitar jam 2 dini hari, Marie-Louise, teman kerja saya menelepon.
“Dewi, did you hear there was a bomb blast in Kuta?” kata Marie-Louise.
“Bomb? Where, in Kuta? Come on Marie, don’t give me a joke it is 2 o’clock in the morning?” kata saya mengira Marie-Louise becanda.
Meski saya ragu, Marie-Louise bukan tipe orang yang suka becanda, dia seperti orang Skandinavia lain yang saya kenal, santun, serius, dan terbuka.
“I’m telling you the truth, you should watch Bali TV, They have live reporting from the spot. Or you can turn on your radio”. Kata Marie-Louise.
Segera saya menyalakan radio di kamar, ternyata benar. Saya mendengar kata bom dan Kuta. Kata-kata lain terdengar samar-samar.
“yes, you’re right. What should we do now?” Kata saya.
“ I think we have to go to Sanglah Hospital to see the victim, I think you better come to my house and we can go together to Sanglah”.

Malam itu saya segera berangkat ke rumah Marie-Louise di Sanur. Masih belum ada lampu penerangan jalan di Bypass Ketewel waktu itu, jalanan sangat gelap. Sampai di rumah Marie Louise, saya baru tahu kalau ada dua klub malam yang di bom di Kuta. Sari Club dan Paddy’s Club. Dua nama yang asing. Waktu itu saya tidak terlalu kenal wilayah Kuta. Marie-Louise bercerita dia juga kaget di telepon malam-malam oleh Kedutaan di Jakarta, dan Kedutaan juga mendapat telepon langsung dari Stockholm. Saya pikir, aneh juga orang Stockholm lebih duluan tahu ada bom di Bali, daripada saya sendiri yang tinggal di Bali.

Malam itu kami langsung berangkat ke Sanglah, rumah sakit terbesar di Bali. Didalam perjalanan, Marie-Louise juga bercerita ada bom juga meledak di dekat Konsulat Amerika Serikat di Renon. Kami melewati Renon tapi tidak melihat apa-apa. Tidak ada polisi yang terlihat. Sesampai di Sanglah, kami berhadapan dengan kepanikan yang luar biasa. Belum pernah saya melihat rumah sakit Sanglah hiruk pikuk yang luar biasa. Suara ambulans bersahut-sahutan. Satu per satu ambulans datang dengan merek rumah sakit yang berbeda-beda. Waktu itu kami langsung ke ruangan UGD. Marie-Louise meminta saya untuk melihat papan informasi apa ada orang swedia yang menjadi korban. Nama korban di papan waktu itu masih sedikit, baru ada belasan, dan sebagian besar orang Australia.

Bersama Marie-Louise kami berkeliling rumah sakit, untuk mencari korban orang Swedia atau Finlandia. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana korban bom, mungkin masih bisa ditanyakan. Ternyata sebagian besar dari mereka terkena luka bakar dan luka akibat serpihan benda tajam. Waktu itu, saya bertemu dengan Mr. David. Beliau adalah wakil konsul Australia di Bali waktu itu. setelah Marie-Louise berbincang dengannya, kami berjanji saling memberikan informasi kalau menemukan korban dari Australia, atau Swedia atau Finland. Suasana di Gedung UGD sangat ramai, bercampur baur antara paramedis, polisi, orang konsulat, dan masyarakat umum yang ingin tahu.

Pagi yang dingin itu, menjadi panas karena kami mengelilingi seluruh lorong rumah sakit - waktu itu, pembagian ruang di Sanglah masih berdasarkan abjad, ABC dan seterusnya-. Sebagian besar yang saya temukan adalah orang Australia, orang tua dan anak muda. Sewaktu berpapasan lagi dengan Mr. David, saya bilang.
 “I met some Australian there” kata saya
Mr. David mengangkat tangan dan memegang kepalanya. Tanda pusing, makna yang saya tangkap.
“It seems like everywhere is Australian” begitu kata Mr. David seingat saya.

Papan informasi nama korban semakin bertambah panjang pagi itu. informasi mulai lengkap, dengan nama korban, kewarganegaraan, dan ruangannya. Saya melihat ada beberapa orang Swedia masuk dalam daftar. Saya dan Marie-Louise menyebar mencari ruangan seperti yang diinformasikan. Ada beberapa yang benar orang swedia, namun ada satu orang yang dibilang orang swedia ternyata di orang Australia. Orang ini masih sangat muda, saya tanya umurnya masih 15 tahun dan dia bilang ada serpihan gelap menancap di matanya. Ya Tuhan, hati saya teriris. Saya tidak menyalahkan rumah sakit yang salah informasi. Dalam suasana kepanikan yang luar biasa, sungguh sangat sulit mengidentifikasi korban, apalagi memverifikasi data, mewawancarai saja susah!!

Ada beberapa korban yang luka bakar ringan setelah mendapatkan pengobatan langsung kembali ke hotel masing-masing. Saya melihat luka bakar dikulit putih para bule-bule itu, sebagian besar di kaki, tangan dan punggung. Sebagian besar tidak pakai baju. Masyarakat membantu memapah para korban yang sudah diobati, mereka juga ikut membantu mengangkat para korban yang diangkut dengan ambulans.
Tidak terasa hari sudah pagi. Minggu pagi. Kami mendata nama-nama korban orang Swedia dan Finlandia di rumah sakit Sanglah. Pak Ngurah, Konsul Swedia datang. Kami melaporkan data yang kami tulis. Kami mendapat tambahan berita dari konsulat lain, ada beberapa korban juga dirawat dirumah lainnya disekitar Denpasar. Kami mencoba menelepon semua rumah sakit di Kota Denpasar. Kami menemukan ada satu orang Swedia yang dirawat di Rumah Sakit Puri Raharja. Kami segera pergi kesana. Ada gadis umur belasan kena luka bakar 80%, dia sedang diobati sehingga kami tidak bertemu dengannya dirumah sakit. Kami kembali ke Sanglah, karena diinformasikan bahwa semua korban yang ada dirumah sakit lainnya akan dikumpulkan semua di Sanglah untuk evakuasi lebih lanjut.

Setiba di Sanglah, keadaan sudah lebih terorganisir. Sudah ada stand informasi dan lainnya. korban luka bakar dilokalisir ke Bangsal I. Bangsal I dekat dengan kamar jenazah. Bangsal ini besar karena biasa memuat pasien dalam jumlah besar.  Sepanjang hari minggu itu, bangsal ini menjadi ramai dan terkenal. Sejumlah tokoh lewat, bahkan presiden Megawati lewat didepan saya, ketika seorang tukang AC masih memasang AC didinding belakang saya.

Karena dekat dengan kamar jenazah, rasa ingin tahu saya membuncah ketika melihat banyak masyarakat yang memanjat tembok didepan kamar jenazah. Saya tergerak kesana. Sepanjang lorong menuju bangsal, banyak mayat yang ditutupi plastic dan kain kasa tergeletak di kanan kiri. Seorang satpam menjaga. Saya tidak tahu apa yang menggerakkan saya masuk ke dalam kamar jenazah, saya bilang kepada pak satpam bahwa saya dari konsulat dan mau mengecek apakah ada korban orang swedia. Begitu saya membuka pintu, banyak jenazah tergeletak. Storage mayat sudah penuh, sehingga mayat berjejer di lantai kamar jenazah. Saya melihat ada beberapa dokter muda membawa catatan. Mungkin mereka dokter muda atau mahasiswa kedokteran.  Mereka mungkin mencoba mengidentifikasi, tapi bagaimana cara mengidentifikasi mayat yang gosong dan kaku seperti itu. mayat-mayat itu seperti orang difoto dengan gaya tidak bergerak tapi berekspresi. Ekspresi orang kena panas. Ada mayat yang berpelukan. Saya melihat ada salah seorang dari mereka mencoba mengangkat tangan mayat, dan langsung copot dari badannya. Dokter itu kaget, tapi saya lebih kaget lagi. mayat itu seperti terpresto. Saya langsung kabur dari kamar jenazah. Sampai saat ini, kenangan di ruang jenazah masih melekat erat di otak saya.

Siang itu, semakin banyak sukarelawan yang datang. Nasi bungkus, sandwich, burger datang silih berganti. Tetapi siapa yang bisa makan, ditengah banyaknya jenazah dan orang terluka. Banyak sukarelawan orang asing yang tinggal di Bali, orang lokal (Bali dan non Bali), bahkan dari para turis yang menjadi korban ikut menjadi sukarelawan. Saya ingat ada seorang laki-laki Swedia, yang seperti orang linglung kesana kemari mencari tunangannya. Dia bercerita rencananya setelah berlibur ke Bali, dia akan menikahi tunangannya. Ternyata, tunangannya menjadi salah satu korban yang meninggal.

Hari minggu itu sudah  ada berita tentang rencana evakuasi korban, bahwa korban akan dikirim ke Singapore untuk yang punya asuransi selain itu semua korban akan dikirim ke Australia untuk pengobatan lebih lanjut, peluang ini terbuka untuk korban orang Australia dan non Australia. Saya lupa, menjelang malam ataukah sudah sedari sore, proses evakuasi berjalan. Sedikit demi sedikit korban mulai dibawa ke kedua negara tujuan itu.

Sore itu, sembari menunggu proses evakuasi  kami bertemu dengan gadis yang diobati di RS Puri Raharja. Lagi-lagi saya lupa namanya. Kalau tidak salah, dia baru berumur 19 tahun. Seluruh tubuhnya dibalut kasa. Bulu matanya menjadi rata seperti garis mata (eye liner) karena terbakar. Saya menatap dia dan dia menatap saya. Dari tatapannya saya tahu dia tegar. Dia mencoba tersenyum.
 Saya mencoba menghibur, mencoba membuatnya lupa akan sakitnya.
“Hi, I know its hurt. But try to imagine Brad Pitt?” Kata saya.
Sumpah saya tidak tahu kata-kata menghibur lainnya. saya menyesal mengeluarkan kata-kata ini. Anaknya Pak Ngurah yang ikut menjadi sukarelawan juga kaget saya mengatakan itu.
“Yeah, but I like Josh Hartnett” katanya mengejutkan, saya pikir dia akan marah.
“who is that? I never heard the name” kata saya.
“you know, the guy in Pearl Harbour” katanya mengulum senyum.
“I don’t know,  haven’t watched the movie. You know what, what about if you try to get sleep. Maybe it will ease the pain.” Kata saya.
Dia mengangguk, bahasa matanya mengatakan dia setuju. Saya tidak tahu apa yang dia pikirkan, dia baru 19 tahun waktu itu, saya baru 22 tahun. Saya tidak bisa membayangkan kalau itu terjadi pada saya. Terkena musibah dinegara orang, seorang diri.

Gadis ini paling terakhir di evakuasi, saya ikut dalam rombongan ambulans mengantarnya ke bandara. Di bandara kami masuk lewat pintu kargo, disana saya melihat beberapa korban juga menunggu pesawat untuk diangkut. Saya menghadapi sedikit kesulitan dengan petugas imigrasi, bahwa korban berangkat harus dengan passport. Saya mencoba beradu argumentasi bahwa dalam keadaan darurat begini, sangat sulit untuk mencari passportnya. Kemungkinan terbakar atau tertinggal di hotel. Saat bertemu dengan petugas imigrasi ini, saya melihat banyak turis yang menginap di bandara, menunggu pesawat pertama untuk membawanya pulang.
Saat itu perasaan saya bercampur, antara sedih, marah, capek dan mengantuk. Saya melihat jam, hari itu sudah hari Senin jam 5 pagi. Bersama anaknya Pak Konsul, kami kembali ke hotel yang juga tempat kantor konsulat. Setelah istirahat sampai sore hari itu, kami kembali lembur di kantor, menerima panggilan telpon keluarga dari Swedia dan Finlandia.

Saya tidak ingin menanyakan dimana rasa kemanusiaan para pengebom, karena pasti rasa itu sudah menguap jauh-jauh hari. Apalagi menanyakan bagaimana kalau kejadian ini dialami oleh keluarganya, anak, istri, pasti juga bebal, karena rasa itu juga sudah menguap dari jauh-jauh hari. 

Saya hanya ingin berbagi pengalaman bagaimana pahitnya mengalami penderitaan dinegeri asing, dan bagaimana orang di negeri itu juga ingin membantu tetapi tidak bisa membantu, sementara dipihak lain, orang yang menjadi pelaku yang mengakibatkan orang menderita berharap di mendapat ruangan VVIP di surga setelah meninggal. Betapa pikiran manusia itu sangat kompleks dan berbahaya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda