Senin, 20 Februari 2012

Ibu dan proses kreatif


Minggu kemarin, ada undangan masuk lewat SMS dari Bentara Budaya Bali untuk ikut kegiatan peluncuran buku  Karena Aku Tak Terlahir dari Batu, kumpulan 100 puisi yang dikuratori oleh Oka Rusmini, seorang penulis perempuan Bali yang sangat terkenal senasional, seorang jurnalis dan juga seorang ibu.

Dalam peluncuran bukunya, dia menjelaskan keheranannya bahwa selama ini peran ibu didalam karya sastra selalu dianggap sebagai seorang dewi, seseorang yang baik tanpa cela. Padahal kenyataannya banyak ibu yang tidak berperan selayaknya seorang ibu dengan menjual anak, menyakiti bahkan membuangnya begitu saja ketika lahir. Ini karena seorang ibu juga seorang manusia, yang terlahir tidak dari sebongkah batu. Dia punya latar belakang pengalaman hidup yang mempengaruhi tindakannya ketika menjadi seorang ibu.

Oka Rusmini mengatakan tidak mudah menjalankan peran sebagai seorang ibu yang baik ketika seorang perempuan sedang menjalankan proses kreatifnya. Dia menggambarkan seorang pelukis perempuan Bali, Sani, yang rela meninggalkan goretan tangan melukis ketika anaknya menangis. Rusmini sendiri sebagai penulis sekaligus jurnalistik juga seringkali kesulitan memerankan peran ganda sebagai seorang professional sekaligus sebagai seorang ibu. Tapi ini merupakan konsekuensi dari betapa sulitnya memang tugas mengasuh sekaligus tugas berkreasi.

Dalam pergaulannya dengan sesama seniman perempuan, ada lelucon diantara mereka, seorang perempuan sulit berproses kreatif dengan ketika menjalankan peran sebagai seorang istri atau ibu. Sebagai besar dari para seniman perempuan ini berstatus cerai, menjadi orang tua tunggal, atau tidak punya anak sama sekali. Haha…

Dalam pertemuan ini, tumben saya tidak punya nafsu untuk meladeni ide-ide liar yang dilontarkan oleh pembicara. Otak saya sudah terlalu jenuh meramu kata untuk menggambarkan perasaan yang saya rasakan menjadi seorang ibu, hanya ibu, tanpa embel-embel pekerja kreatif. Saya teringat semangat saya ketika memutuskan berhenti bekerja dan ‘hanya’ mengurusi anak dirumah. Sebuah keputusan yang sampai sekarang terkadang masih saya sesali. Sewaktu itu, saya yakin saya bisa bekerja dari rumah, dengan komputer dan internet yang tersedia sepanjang waktu. Beberapa kali saya mengerjakan pekerjaan sebagai event organizer mengandalkan kondisi bekerja dari rumah. ketika ada kebutuhan bertemu dengan orang di luar, itu harus satu paket dengan mengajak anak.

Itu saya rasakan sangat menyiksa. Ketika kita ingin ngobrol banyak tentang kerjaan selalu ada rengekan ingin minta ini itu, belum lagi anak-anak bosan dengan suasana orang-orang dewasa. Saya kerap marah dan menjadi tidak sabaran. Saya sadar orang-orang mungkin juga kasihan melihat saya, tapi saya lebih kasian melihat diri saya yang kemudian menarik diri dari pergaulan karena malas membawa anak kemana-mana!
Saya marah, kenapa kondisi ini harus berlaku pada saya. kenapa seorang laki-laki bisa bebas bekerja tanpa dirongrong dengan kehadiran anak-anak?. Tidakkah kita boleh punya kehidupan lain selain mengurus mereka?.

Ini karena saya tidak berlahir dari sebongkah batu.

Cukup lama saya tidak bisa berdamai dengan kondisi saya.  saya semakin iri melihat ibu-ibu yang bisa ‘bertahan’ dengan kondisi ini. seorang ibu pedagang canang, yang umurnya jauh lebih muda dari saya, saya kira umurnya masih belasan tahun dengan seorang anak perempuan cantik umurnya kurang lebih 3 tahun – si ibu ini sering membawa anaknya ikut jualan canang di pasar Sukawati dari pagi subuh sampai siang. Dalam kondisi dingin terkadang gerimis, saya tidak memahami bagaimana mereka bertahan. Potret ibu membawa anak bekerja, banyak saya lihat di pasar Sukawati. Beberapa ibu pedagang janur, juga membawa anaknya serta, sering kali mereka tertidur di jok mobil pick up sementara ibunya berjualan. Ibu-ibu ini ‘jauhhhh’ lebih tegar daripada saya.

Belum lagi iri saya membuncah membaca di beberapa media, ibu-ibu yang sukses bekerja online dari rumah sembari mengasuh anak. Para ibu-ibu ini berasal dari berbagai profesi, marketing, penulis, maupun motivator. Para ibu-ibu ini pintar meraup uang sekaligus mengurus rumah.

Sementara saya? ibu-ibu yang lain?

Namun saya juga melihat fenomena lain dari peran ganda seorang ibu. Beberapa ibu-ibu muda ada juga yang rela meninggalkan anaknya bekerja meskipun uang yang dihasilkan tidak terlalu memadai. Hanya cukup untuk membeli susu, ongkos bensin, dan sedikit uang untuk belanja. Mereka memilih meninggalkan anaknya kepada pengasuh atau dengan mertua. Meskipun terasa tidak rasional – bahwa mendingan mereka tinggal dirumah, sehingga bayi bisa minum ASI secara eksklusif – tetapi mereka punya alasan yang sangat rasional, tinggal dirumah (apalagi yang serumah dengan mertua) membuat mereka tertekan. Ada saja konflik bergesekan, apalagi dengan status hanya mengandalkan gaji suami. Mertua juga lebih bangga memiliki jawaban ketika ditanya, menantunya kerja dimana? ketimbang menjawab menantu hanya dirumah mengurusi anak.

Alors Dewi, tu veux aller ou?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda