Jumat, 28 Januari 2011

Dilema seorang ibu rumah tangga


Sewaktu masih bekerja dulu, saya selalu miris melihat perempuan-perempuan yang mendedikasikan hidup mereka menjadi ibu rumah tangga. Bekerja dirumah mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, melakukan ritual sembahyang dan lainnya. Pekerjaan yang berat tetapi tidak mendapatkan upah untuk diri sendiri. Ketika itu saya yakin, sebagaian besar perempuan-perempuan itu mungkin menerima sebagian (atau seluruh) gaji suaminya, tetapi kemudian digunakan untuk keperluan rumah tangga, anak dan suami. Dengan semua imajinasi negative saya terhadap kehidupan rumah tangga, si suami akan bilang: “wah cepat sekali habisnya, digunakan untuk apa saja uangnya”. Lebih jauh lagi berimajinasi: “susah-susah aku cari uang, kamu pikir gampang cari kerja. Kamu enak-enakan saja dirumah, gentian sana kamu yang kerja”.  Saya takut perempuan-perempuan ini tidak berdaya, mereka harus bekerja, menghasilkan uang sendiri.
Ketika itu, saya memasuki usia dua puluh tahunan, dan bekerja untuk pertama kalinya. Pertama kali mendapat kebebasan membelanjakan uang semaunya setelah bertahun-tahun hidup dengan uang saku yang sangat teramat terbatas, jika tidak bisa dibilang kurang. Keluhan menjadi orang yang kekurangan adalah soal perut. Selalu tergoda untuk membeli makanan. Musuh pertama dalam diri manusia yang paling susah ditaklukan  ternyata adalah godaan perut (referensi saya sendiri). Mungkin itu sebabnya, agama mengajarkan kita untuk berpuasa. Dengan gaji tersebut, saya memuaskan diri dengan makan. Selanjutnya saya menemukan kepuasan dalam membaca. Novel tentu saja.
Bekerja juga membuat saya mengenal kehidupan dari berbagai sisi. Ada kehidupan luar biasa dinamis dengan berbagai karakter orang menambah keragaman referensi saya mengenai ragam manusia menjalankan hidup mereka. Bertemu dengan teman-teman dimasa sekolah dan kuliah yang juga sudah bekerja.  Ada yang menjadi wartawan, bekerja di travel agent, pekerja di organisasi lingkungan dan lainnya. Ada kalanya, kami janji bertemu hanya sekedar makan siang. Waktu itu saya juga ikut kegiatan meditasi, kadang-kadang mengikuti klub lari yang digagas para ekpatriat di Bali. Diantara itu, travelling adalah hal yang paling saya suka, apalagi waktu pertengahan umur 20-an itu, saya bertemu seorang laki-laki istimewa sebagai teman jalan. Jadi kami menjelajahi pulau Bali dari barat ke timur, selatan ke utara. Itu adalah masa-masa yang sangat menyenangkan.
Saya bahagia, begitu juga ibu saya setelah perjuangan panjangnya menghidupi dua orang anak sepeninggalan bapak saya menghadap Tuhan di tahun 1992. Dia sudah menjanda ketika usia 32 tahun.  Dengan imajinasi liar saya, saya mencoba melihat hati ibu saya, yang mungkin mengharapkan sebuah percakapan: “lihat pak, anak kita sudah besar, dia sudah bekerja”.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya sayapun menikah dengan teman jalan saya itu. ketika itu saya masih bekerja serabutan tapi paruh waktu. Belum ada pekerja tetap atau nama perusahaan yang menempel pada status saya. Waktu itu saya sudah berusia 27 tahun, dan saya masih suka main-main. Kemudian saya mendapat pekerjaan yang tetap dengan jam kerja yang teratur, pergi pagi pulang sore. Dalam keteraturan itu, Tuhan memberikan anugerah yang kami tunggu-tunggu, saya hamil. Tetapi bekerja dengan berkendara sepeda motor dengan jarak 60 km pulang pergi, mungkin salah satu faktor saya  mengalami keguguran. Saya sedih. Saya tahu suami saya terpukul juga, tetapi jarak kami begitu jauh, sehingga saya tidak tahu apakah dia menangis, memukul-mukul dinding, murungkah?.  Saya dikuretase. Supaya rahimnya bersih, kata dokter. Saya menangis dua kali. Menangisi harapan saya yang kandas untuk punya anak, dan rasa sakit luar biasa akibat sebuah logam mengobok-obok rahim saya. Saya sedih, suami sedih dan ibu saya sedih. Tidak ada percakapan, kami tenggelam dengan rasa bersalah kami sendiri.
Tiga atau empat bulan setelah itu saya hamil lagi. jarak bekerja masih 60km pergi pulang. Masa awal kehamilan begitu menyiksa, mual, muntah dan pusing disamping hamil mungkin juga lelah menatap layar computer selama 8 jam. Saran suami dan persetujuan saya, akhirnya saya berhenti bekerja diusia kehamilan 7 atau 8 bulan.  Suami saya bilang saya akan menghidupimu dan bayi kami kelak. Hati saya terasa teduh seperti tanah pertama kali tersirami hujan setelah musim panas yang panjang. Tentram.
Namun, masa-masa menunggu kelahiran menjadi begitu panjang, karena saya tidak bekerja. Kembali saya menekuni pekerjaan rumah tangga, memasak, membersihkan rumah, dan lainnya. saya menghitung hari. Rasa bosan timbul tenggelam. Saya alihkan perhatian dengan sibuk berlatih keras supaya melahirkan normal. Jalan-jalan, mengepel, jongkok bangun dan senam hamil. Sampai kemudian bayi kami lahir melalui persalinan normal. Bayi yang sangat lucu, cakep, dan putih. Saya bahagia, suami bahagia, dan ibu bahagia.
Setelah itu hidup saya berkutat dengan urusan seputar anak. Apalagi setelah 2 tahun kemudian anak kedua saya lahir. Kedua anak ini bagaikan malaikat kecil yang mengikat kaki dan tangan saya. Mereka curang mencuri semua perhatian saya. Pernah ketika saya mencoba bekerja dari rumah, ketika anak saya berusia satu tahun, namun pekerjaan itu juga menuntut saya harus meninggalkan anak selama 10 hari di hotel untuk mengurus workshop. Seminggu setelah workshop berakhir anak saya diare sehingga harus dirawat inap. Kondisi ideal untuk bekerja dari rumah sangat sulit saya lakukan karena ada saja kelakuan mereka yang meminta perhatian saya. Saya menjadi lekas marah, anak-anak menjadi menangis. Kejadian ini seperti lingkaran setan.
Mendedikasikan diri menjadi ibu rumah tangga selama tiga tahun ini membuat saya merasa terpuruk. Tidak bekerja dan menghasilkan uang membuat saya menjadi tidak percaya diri. Saya menarik diri dari pergaulan. Ketika sedang tertekan dan membutuhkan teman untuk mendengarkan, saya terperangah melihat tidak satupun nama di phone book yang berani saya hubungi. Saya sudah lama menghilang.  Tenggelam. Tetapi dengan kondisi saya tidak bekerja, suami saya bahagia karena saya bisa fokus mengurus anak. Ibu saya juga bahagia karena dia bisa menjalankan pekerjaannya seperti biasa. Tetapi apakah saya ‘benar-benar’ bahagia?
Sekarang saya seperti perempuan-perempuan yang saya lihat ketika usia saya diawal 20-an. Mendedikasikan dirinya untuk menjadi ibu rumah tangga. Ini bukan lagi imajinasi bahwa pekerjaan rumah tangga itu sangat melelahkan. Bukan karena pekerjaan fisik, tetapi juga perhelatan batin baik di dalam diri maupun didalam keluarga. Memposisikan diri tidak hanya sebagai ibu yang melindungi anak, istri yang menjadi mitra suami memelihara rumah tangga, tetapi juga seorang anak yang ‘seharusnya’ menjaga mimpi dari seorang ibu- yang telah bekerja keras seorang diri membesarkan anak - ingin melihat anaknya ‘menjadi orang’.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda