Senin, 31 Januari 2011

G A J I


Pagi ini, ada sebuah foto menarik di Kompas hari ini. Seorang tukang parkir membentangkan spanduk yang bertuliskan: “presiden aja mengeluh gajinya tidak naik, apalagi kami”. Spanduk bernada sentilan dan pengharapan yang besar untuk naik gaji. Saya mengira pasti gaji tukang parkir ini tidak cukup, untuk rakyat kecil yang terbiasa makan hanya dengan sambal dan krupuk. Nah disitulah letak tidak cukupnya, karena harga cabai sekarang sangat fantastis mahal. Tapi siapa yang merasa cukup dengan gaji mereka dinegeri ini?
Kalau saya melihat system penggajian di Negara ini amburadul. Setiap kali melihat lowongan iklan diKompas, saya selalu mengurut-ngurut dada dengan angka fantastis yang di tawarkan. Direktur program untuk sebuah lembaga swadaya masyarakat di gaji 30 juta sebulan.  Kalau direktur eksekutif? Itu baru tingkat LSM atau lembaga donor.

Kalau pressure group saja gajinya tiga kali lipat dari pejabat eselon tingkat satu, tentu saja ini memberikan jurang kecemburuan sosial. Apalagi posisi mereka harus sejajar didalam proses pembuatan keputusan. Bagaimana berposisi tawar jika posisi gaji tidak seimbang? Makanya ini mungkin yang menjadi acuan Ibu Sri Mulyani yang sudah malang melintang di dunia per-lembaga donor-an. Beliau menaikkan gaji pegawai department keuangan sehingga untuk pegawai biasa bisa mendapatkan gaji diatas 10 jutaan. Gayus yang hanya PNS golongan IIIA mendapat gaji 12 juta/bulan termasuk tunjangan. Sementara Ibu saya yang seorang PNS guru SD golongan IVA mendapat gaji sekitar 2.8 juta per bulan. Dimana letak keadilannya?. Apakah lebih capek seorang pegawai pemeriksa dokumen pajak, daripada guru yang bercuap-cuap dikelas berusaha keras membuat anak-anak mengerti mata pelajaran di kelas?.  Inilah yang menyebabkan korupsi begitu mengakar di birokrasi. Semua orang mencoba mencari income tambahan dari pelayanan birokrasi yang seharusnya memang menjadi deskripsi pekerjaannya. Misalnya: bagaimana oknum polisi menjadi calo untuk pembuatan SIM? (padahal seharusnya itu memang tugasnya), oknum pegawai imigrasi mencari penghasilan tambahan menjadi calo pembuatan passport, terlalu banyak calo dinegeri ini. sehingga ongkos produksi menjadi membengkak. Mungkin ini yang menyebabkan investor enggan berinvestasi di Indonesia.

Para eksekutif dari swasta juga sering mengeluhkan tingkat gaji PNS dan buruknya kinerja mereka. Padahal ini juga pengaruh dari kebijakan system penggajian swasta. Swasta yang banyak juga menyerap tenaga asing menggaji tenaga local lebih besar sehingga tidak terjadi kecemburuan dengan tenaga asing tersebut. Di tahun 1990-an terjadi kesenjangan sosial antara orang yang bekerja di sector swasta dengan PNS, seperti misalnya perbandingan gaji guru dengan pegawai bank atau pegawai hotel di Bali. ketika gaji guru masih 800 ribu, gaji pegawai bank swasta sudah 1.5 juta, pegawai BUMN sudah 2 juta, pegawai hotel lebih banyak lagi. digabungkan semua antara gaji pokok, service dan tipping mungkin mereka mendapat sekitar 2.5 juta per bulan. Makanya dikala itu sekolah tinggi pariwisata lebih digemari daripada sekolah keguruan di Bali.

Momentum reformasi digunakan oleh PNS untuk merestrukturisasi gaji. Apalagi waktu itu banyak bantuan baik berupa hibah atau pinjaman diberikan untuk mengawal awal baru babak demokrasi di Indonesia. PNS bermain angka memperbaiki gaji sehingga menyamai swasta. APBN mengalami tekanan, namun mendapat suntikan segar melalui hutang luar negeri. Hutang luar negeri untuk gaji pegawai, betapa mirisnya, karena ini bertujuan konsumtif jangka pendek. Seharusnya hutang ini adalah untuk memperbaiki infrastruktur, khususnya diluar pulau jawa dan memperbaiki system transportasi laut sehingga pembangunan merata sampai pulau-pulau terluar. Baru ketika beberapa pulau kita dicaplok Malaysia, masyarakat baru melek betapa ringkihnya system pertahanan kita.

Mengapa pegawai harus mendapatkan uang lebih untuk tugas yang seharusnya dia jalankan (bukankah dia sudah dibayar untuk itu). itu karena budaya konsumsi, agar bisa jalan-jalan ke luar negeri, punya rumah, pakaian, mobil yang harus mewah. Barang-barang bukan lagi dilihat sebagai fungsi tetapi indicator kelas. Segalanya harus berkelas. Menyekolahkan anak di sekolah internasional, bahkan sakitpun harus ke Singapura. Negara tetangga mengambil keuntungan dari makin banyaknya kelas menengah yang doyan berwisata belanja dan kesehatan ke Singapura dan Malaysia.

Saya rasa korupsi tidak akan bisa diberantas jika system penggajian tidak direstrukturisasi lagi. saya pikir, kurangi gaji pegawai negeri, tetapi perbaiki kualitas kesehatan, permudah permodalan untuk wirausahawan menengah kecil sehingga tercipta lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Kita jangan malu belajar dari China. Wahai pemerintah, bersahabatlah dengan China dan serap strateginya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda