Senin, 31 Januari 2011

Kembalikan Baliku


De  ngaden awak bisa / Depang anake ngadanin / Geginane buka nyampat / Anak sai tumbuh luu / Ilang luu buke katah / Wiadin ririh enu liu peplajahin

Don’t think yourself clever / let others say / our life is like sweeping / everyday there is always trash / missing trash, there’s a lot of dust / even smart still much to be learned.

Entah kenapa setiap mendengar lagu ini rasa kebanggaan saya menjadi orang bali sangat membuncah. Betapa lugunya yang membuat lagu itu. sangat mulus untuk mengantarkan romantisme lama kita mengenang bali di tahun sebelumnya. Ingatan saya adalah dari tahun pertengahan tahun 1980-an sebagai seorang anak-anak. Mungkin ini tidak nyambung dengan curhatan saya kali ini. tapi biarlah, kalau seandainya ini adalah film, biarlah lagu ini yang menjadi sound tracknya.

Lagu berbahasa Bali ini adalah salah satu lagu yang paling saya suka. Lagu ini mengandung syair dengan makna mendalam.  Orang bali adalah orang pekerja. Lebih banyak bekerja dari pada banyak berbicara. Orang bali berbicara melalui karya sebagaimana karya persembahan mereka kepada tuhan.

Memahami lagu ini membawa kita berimajinasi kepada kehidupan orang bali di pedesaan seperti lukisan-lukisan walter spies. Seorang pelukis keturunan Jerman yang menjadi pionir modernisasi seni di jawa dan Bali. Dalam lukisan itu terlihat sawah-sawah bali yang berpetak-petak atau jalan setapak menuju sebuah rumah bali dipagi hari lengkap dengan kabut dari asap yang keluar dari dapur. Imajinasi yang sungguh damai, sunyi dan alami. Bali yang hanya dimiliki oleh orang bali, sehingga tidak perlu banyak bicara hanya kerja kerja dan kerja.

Namun sekarang, Bali sudah berubah. Kehidupan barat dengan bali sudah bercampur seiring banyaknya perkawinan campur orang bali dengan orang asing. Belakangan juga banyak perkawinan campur orang luar bali dengan orang asing tetapi menetap di Bali. Hamparan sawah menjadi perumahan dan pertokoan. Bisnis hiburan hingga jasa merajai Bali. Pekerja bali bersaing dengan pekerja dari luar bali berebut dolar. Imajinasi tentang bali, tidak lagi homogen tetapi heterogen. Siapa sekarang yang memiliki bali?

Banyak hotel yang berdiri di Bali, namun punya siapa? Bagaimana keamanan kerja orang bali yang ada didalamnya. Beberapa hari lalu, adik saya mengeluhkan temannya yang dipecat dengan tiba-tiba karena membocorkan ketidak beresan management di villa tempat dia bekerja. Si bos orang asing yang menikah dengan istrinya orang jawa timur, mengatakan didepan staf setelah insiden pemecatan sore itu. you take it or leave it.

Belum lagi urusan tanah. Sekarang banyak dari kita menjual tanah kepada orang luar dengan berbagai alasan. Namun sebagian besar untuk alasan konsumtif. Tanah di Bali sekarang diincar investor dari Jakarta, mulai dari para pejabat, para jenderal, pengusaha selain itu juga oleh orang asing. Nilai tanah yang milyaran itu terasa uang yang kecil bagi mereka karena mereka akan dengan mudah menjual lagi dengan nilai yang lebih tinggi lagi kepada investor lain. Banyak kemudian tanah bali dibeli oleh orang singapura, dan jangan-jangan oleh Malaysia.

Begitu hiruk pikuknya kompetisi diluar, sementara kita orang bali sibuk sebagai penjaga tradisi komunal. Sumber daya semakin terbatas. Sangat rentan terjadi konflik diantara sesama kita sendiri. Hei pulau ini, bukan pulau kita yang dulu. Tidak bisa kita membentengi diri kita dengan tembok menyaingi tembok besar china.

Yang kita perlukan adalah bekerja bersama-sama sebagai saudara dan menggarap sumber daya alam kita untuk kepentingan bersama.

Langkah awal memulainya mungkin dengan jangan menjual tanah lagi kepada orang luar. Kalau tanah sudah tidak ada, apalah identitas kita sebagai orang bali.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda