Jumat, 18 Februari 2011

Resensi Novel : The White Tiger karya Aravind Adiga


Ini pertama kali saya membuat resensi. Sebelumnya dan sampai sekarang, saya senang membaca resensi buku dan film di majalah dan surat kabar. Saya paling senang membaca resensi film, karena pendek, dan lugas menggambarkan cerita film sehingga merangsang niat untuk menontonnya. Untuk resensi buku, hanya beberapa yang saya baca sampai habis. Selain kalimat dan pilihan katanya kadang-kadang jalan diatas ketinggian daya tangkap saya, sering kali penulis resensi membuat resensi sesuatu dengan alur pikirannya dan menambahkan teori ini dan itu, seolah-olah dia membuat buku, bukan mengulasnya. Ah.. sekarang saya juga ketularan, lebih banyak bercerita pemikiran saya daripada bukunya sendiri. Padahal saya sendiri juga tidak bisa membuat resensi.

Baiklah, kali ini saya baru saja membaca buku The White Tiger, sebuah novel karya pertama dari seorang wartawan India yaitu Aravind Adiga. Karya pertama penulis yang berusia 37 tahun ini memenangkan “winner of the Man Booker Prize”.  Menurut saya menulis adalah curhatan hati dengan pengalaman-pengalaman hidup. Adiga menggambarkan dengan sangat pas karakter tokoh dari kelas yang berbeda. Dalam bayangan saya, sungguh sulit untuk mendapatkan mood atau nuansa kegetiran hidup bergumul dengan kemiskinan ketika anda kaya. Namun berbeda dengan Adiga, dia paham betul kebiasaan orang miskin, gaya berpikir negative, meskipun saya pikir Adiga terlahir dari keluarga kelas menengah yang dibesarkan di Australia.

India memang menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat di Asia dengan demokrasi yang berjalan dengan baik. Namun dalam novel ini, Adiga menyajikan fakta-fakta lain bagaimana melihat India dari kacamata masyarakatnya sendiri. Dengan gaya penulisan “curhat” kepada perdana menteri Wei Jianbao, memberi nuansa politis ketika dikaitkan dengan posisi kekuatan India dan China di Asia, dan posisi India dalam konflik di Tibet.

Tokoh utama Balram menggambarkan sungai Gangga yang menarik bagi turis dan para yogi sebagai tempat suci, justru adalah tempat yang paling jorok dengan kotoran manusia, jerami, potongan mayat manusia, bangkai kerbau dan limbah lainnya. dia berjanji tidak akan ke sungai itu ketika melihat cairan tubuh ibunya mengalir kesungai setelah di kremasi.

Pengalamannya menjadi wartawan membuat dia memahami pengapnya hidup di India yang diibaratkan sebagai Kadang Ayam. Ayam-ayam yang ada disana menunggu untuk disembelih, mereka tidak bisa lari atau melarikan diri karena terikat, keluarga dan lain-lain. Sama seperti patung mikael Angelo, seorang budak dengan kepala tertunduk padahal hanya jarinya yang terikat. Bagaimana para kelas bawah dan kelas menengah di India diibaratkan juga sebagai orang setengah matang. Bisa membaca dan menulis, tetapi tidak memahami artinya.

Kehidupan para kelas atas juga digambarkan tidak lebih baik dari mereka yang hidup dari daerah kegelapan. Mereka menghasilkan uang yang tidak halal dari pertambangan dan lainnya yang juga digunakan untuk menyogok para politisi agar mereka bisa menjadi politisi juga atau terbebas dari pajak. Inilah yang kemudian menjadi pertentangan bathin tokoh Mr. Ashok, majikan Balram yang baru pulang dari New York dengan pola pikir demokrasi barat berhadapan dengan system demokrasi primordial di India.

Selain menggugat pemerintah, Adiga juga menggambarkan bagaimana hubungan kelas buruh dan majikan yang masih sangat tradisional di tengah ke’modern’an India. Apartment di India juga menyediakan ruangan-ruangan ‘tidak resmi’ dibawah tanah sebagai tempat tinggal supir menunggu panggilan tugas dari majikannya. Namun ironinya, ketika Mr. Ashok memperlakukan Balram dengan sangat manusiawi, tetapi mereggang nyawa ditangan Balram.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda