Jumat, 28 Januari 2011

LIKA LIKU APLIKASI SIM


SIM A-ku sebenarnya telah habis masa berlakunya pada bulan Agustus lalu. Namun aku malas memperpanjangnya kala itu. Kondisiku yang lagi hamil tua, ditambah momong Ryan (2 tahun), anak pertamaku yang lagi aktif-aktifnya bergerak membuatku semakin malas mengangkat pantat untuk ke Polres. Padahal Polres hanya berjarak 12 Km dari rumah. Aku pikir ah mana ada sih pak polisi yang tega memberi tilang pada ibu hamil?! Sok Pede.

Akhirnya rencana untuk memperpanjang SIM A molor lagi.. lagi dan lagi. Sampai akhirnya Nara, anak keduaku lahir tanggal 16 September lalu. Begitu Nara lahir, praktis sulit mencari waktu luang untuk keluar rumah apalagi aku memberi ASI eksklusif. Paling-paling keluar hanya belanja susu dan keperluan bayi atau ke dokter anak untuk imuninisasi dan control kesehatan. Ehm..sementara masih aman membawa mobil. Lagian mana ada polisi yang tega memberi tilang mobil ibu-ibu yang membawa anak Batita ditambah bayi lagi, pikirku pede.

Ketika suamiku pulang dari luar pulau, aku minta dia pulang naik taxi. Itu karena jarak bandara lumayan jauh dari rumah, dan kasihan bawa anak-anak. Jadi gak ada alas an, kalau tiba-tiba di stop polisi. Akhirnya suamiku yang gerah, karena dia tipe warga Negara yang taat aturan. Dia bilang peraturannya kalau gak bawa SIM, bisa didenda 1 juta loh. Namun bukan karena denda, aku jadi berangkat juga cari SIM, tapi karena suamiku mengancam mengurangi jatah belanjaku kalau tidak punya SIM. Matilah!.
Akhirnya hari senin lalu dengan membawa rombongan anak-anak, kami sampai di Polres Kota G. Aku pikir bakal cepat karena biasanya ada calo (polisi juga) yang membantu kita mendapat SIM, seperti SIM A ku dulu dan SIM C-ku yang sekarang (hahaha buka kartu). Kita tinggal datang terus kasi KTP, nunggu sebentar, terus foto deh, beres perkara. Tentu saja ada jasa, ada harga. Biaya SIM A, waktu itu tiga kali lipat dari harga resmi tapi beres dalam waktu satu jam.  Tapi kali ini, tempat biasa untuk ngurus SIM, tampak lengang. Tidak ada lagi gerombolan polisi yang kongkow menunggu “pelanggan” untuk membuat SIM.

Dengan ramah, seorang polisi penjaga gerbang menunjukkan gedung berlantai dua sebagai tempat yang baru untuk mengurus SIM. Aku berharap ada polisi yang akan bantu, ngeri juga kalau harus mengurus sendiri dengan bawa anak-anak. Aku takut mereka rewel ditambah lagi cuaca memang panas tidak bersahabat. Begitu masuk, mataku langsung terantuk spanduk bertuliskan larangan menggunakan jasa calo untuk pengurusan SIM. Ternyata semuanya memang harus ngurus sendiri dan pakai ujian segala!.
Tapi sudah kepalang basah, jadi aku ikuti saja prosedurnya. Aku menyerahkan fotokopi KTP, Surat Keterangan Sehat dari dokter, SIM A lama untuk perpanjangan. Setelah itu aku disuruh menunggu disebuah ruangan. Di ruangan tersebut, sudah banyak orang yang menunggu sambil mendengarkan penjelasan seorang polisi kenapa sekarang sistemnya begini (maksudnya urus sendiri) karena terkait dengan upaya tranformasi polisi untuk lebih transparan, begitu bahasa kerennya. Terus dia menjelaskan pentingnya SIM dan ancaman denda kalau tidak membawa SIM. Dan prasyarat untuk dapat SIM harus melewati ujian teori dan praktek. Ujian teorinya seputar rambu-rambu dijalan, kata polisinya, kemudian dia mempersilahkan kami untuk membaca lebih teliti rambu-rambu dan peringatan jalan yang terpampang didinding didepan kami. Saking banyaknya tanda, aku sampai bingung mengartikan. Untuk dinyatakan lolos ujian, nilainya harus diatas 7, dibawah itu dinyatakan gugur dan diperbolehkan mengulang lagi dalam waktu 2 minggu. Kalau tidak lolos lagi, katanya pak polisi itu, uang pendaftarannya akan dikembalikan.

Deg-degan juga, karena setelah ujian skripsi, satu-satunya tes yang pernah ku jalani adalah tes calon pegawai negeri sipil di departemen luar negeri dan hasilnya tidak lolos. Takut juga gak lolos tes untuk cari SIM A, tapi masak sih tes cari SIM aja gak lolos, memalukan!. Akhirnya aku pantengin tanda-tanda itu satu demi satu dan berusaha semoga ada yang nyantol di otak. Sudah lama berhenti kerja, dan berpredikat sebagai ibu rumah tangga aja, membuatku tidak pede dengan kemampuan dan daya serap otakku sekarang. Ternyata selama 20 menit menunggu, sudah ada 10 orang yang tidak lolos, alias nilainya dibawah 7, ada juga yang nilainya 2,3 loh.

Aku lihat bagan mekanisme aplikasi SIM. Untuk pendaftaran 5 menit, ujian tulis 20 menit, ujian praktek 20 menit –lolos atau tidak lolos – kalau lolos, difoto 5 menit. Untuk SIM baru biayanya 75 ribu rupiah dan perpanjangan 60 ribu rupiah. Tapi ini aku sudah menunggu lebih dari satu jam!.

Sambil menunggu, enaknya mencari hiburan. Aku senang memperhatikan beragam ekspresi orang di ruangan ini.  Ada aja tingkah polah orang-orang yang antre SIM. Kalau lolos ujian teori, mereka keluar ruangan dengan senyum kemenangan dan sok yakin pasti lolos ujian praktek. Kalau untuk yang tidak lolos, seorang polisi akan memanggil nama mereka untuk menghadap ke depan. Mereka diberi tahu bahwa nilai mereka kurang sehingga harus mengulang lagi. Ada beberapa yang legowo menerima meski dengan muka kecewa, langsung ambil tas dan pulang. Namun ada juga beberapa yang bermuka tebal dan mencoba melobby polisi. Salah satunya yang paling lucu adalah, seorang kakek mungkin usianya sekitar 60-an, dia menghampiri pak polisi dan mengaku tidak bisa membaca dan menulis. Pak polisinya kaget dan menyarankan untuk menarik aplikasinya karena syarat utamanya harus bisa baca tulis. Kakek itu berusaha menyogok polisi itu, tapi pak polisi itu tetap tidak mau. Akhirnya bapak tua itu ngloyor pergi sambil menggerutu.

Hari ini aku salut dengan kinerja polisi, mereka sangat professional. Apa mungkin ini pengaruh terpaan kasus Polri vs KPK belakangan ini?. Kadang aku pikir, kita juga yang salah, atas nama efisien dan efektif, sebagai masyarakat kerap mencari jalan belakang untuk mencurangi birokrasi. Kita tidak sadar bahwa kita juga memberi pupuk pada tindakan korupsi.

“Ibu Parama..” salah seorang polisi memanggil namaku. Aku diarahkan ke loket pembayaran untuk perpanjangan SIM dan membayar 60 ribu rupiah. Ternyata kalau lewatnya belum sampai setahun masih dihitung perpanjangan jadi tidak perlu ikut ujian lagi. Horeee…

Sembari menunggu sesi foto untuk SIM, aku memanggil rombongan sirkusku. Ketika aku menyusui Nara,  namaku dipanggil untuk difoto. Karena buru-buru, aku sampai lupa memperbaiki posisi BH menyusuiku, semoga tidak kelihatan di SIM..

Jepreeetttt.. akhirnya SIM-ku selesai.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda