Minggu, 30 Januari 2011

Keuntungan Berhubungan Jarak Jauh


Siapa bilang berhubungan jarak jauh tidak menyenangkan? Ternyata banyak juga keuntungan yang bisa didapat, saat kita dan kekasih berhubungan jarak jauh.

Berikut beberapa keuntungannya, seperti dituliskan oleh Sheknows.
1. Antisipasi. Berhubungan jarak jauh memberikan kita kesempatan untuk berantisipasi. Saat kekasih tak ada di sisi, kita bisa lebih mudah melakukan penilaian terhadapnya: apa memang ia pasangan yang tepat untuk kita, atau justru sebaliknya. Anda pun lebih bisa menilai pasangan secara objektif.
2. Jarang bertengkar. Berhubungan jarak jauh otomatis akan mengurangi pertengkaran Anda. Rasa rindu yang melanda seringkali mengalahkan kekesalan Anda pada kekasih. Anda pun belajar untuk lebih toleransi dan pengertian.
3. Menghilangkan kebosanan. Seringkali, saat hubungan cinta telah berlangsung lama, rasa bosan mulai melanda. Namun hal tersebut tak berlaku saat Anda berhubungan jarak jauh. Keinginan untuk terus bertemu dan bertatap muka dengan pasangan akan mengalahkan rasa bosan Anda.
4. Lebih romantis. Saat Anda menjalankan hubungan jarak jauh, waktu bertemu pasangan terasa sangat berharga. Dan saat Anda berdua bertemu, sisi romantis akan mendominasi. Anda dan pasangan seolah tak ingin membuang waktu untuk menunjukkan rasa cinta yang ada. Hubungan pun terasa lebih menyenangkan.

Jadi, jangan ragu untuk menjalankan hubungan jarak jauh!


Tulisan ini saya lihat jam 5.30 pagi. Ketika mata saya sudah tidak bisa dirayu-rayu lagi untuk bisa tertidur. Saya membayangkan pewarta yang membuat tulisan ini adalah orang-orang tua yang sudah lama hidup seatap didalam perkawinan mereka, dan membutuhkan jeda untuk terbebas dari rutinitas dengan pasangan. Namun ketika balik lagi ke jendela laman ini, saya melihat penulisnya adalah wanita muda (setidaknya yang terlihat difoto) bernama Amelia Ayu Kinanti. Wow mengagetkan.

Ini pengalaman saya sebagai pelaku dari hubungan jarak jauh. Sejak pacaran, saya dan suami sudah menjalankan hubungan jarak jauh. Ketika itu saya bekerja di Bali dan suami bekerja di daerah terpencil di sebuah pulau di Sulawesi Tenggara. Kami bertemu mungkin dua bulan sekali, atau tiga bulan. Tiga tahun kemudian kami menikah. Itu setelah mengalami kondisi pasang surut dengan 18 kali permintaan putus dari saya dan 2 kali permintaan putus dari pacar saya (yang sekarang jadi suami saya). Anehnya, kenapa akhirnya kami menikah juga?. Sampai sekarang saya juga tidak tahu pasti jawabannya. Mungkin ini yang namanya jodoh, karena beberapa hal tidak dapat dikalkulasi secara logika. Untungnya, setelah menikah dan punya anak, tidak ada permintaan aneh-aneh seperti cerai hehe..

Hubungan jarak jauh memang terlihat menyenangkan bagi pasangan yang sudah jenuh bertemu muka setiap hari dengan pasangan. Pergolakan emosi yang dinamis, mungkin terasa memberi tekanan yang luar biasa. Terjadi sebuah titik jemu. Hal yang sama juga bisa terjadi pada pasangan yang telah lama menjalankan hubungan jarak jauh. Terlalu sering berjauhan membuat saya berkutat pada pertanyaan: apa yang saya lakukan? Bersuamikan HP?. Ada banyak emosi yang tidak membumi. Karena kami tidak menemukan emosi yang beririsan. Bisa saja ketika saya, sedang terpuruk ditengah ketidak berdayaan karena tidak bekerja, capek mengasuh anak, pasangan saya sedang merayakan acara yang sukses dia rayakan. saya harus meningkatkan frekuensi dan dia harus menurunkan frekuensi mood sehingga kami ‘tetap’ bisa nyambung berbicara ditelpon. Kalau tidak saya akan marah dan dia kesal, dan itu sangat melelahkan. Ada
Ketika pasangan masih hanya melibatkan dua individu, saya rasa tidak ada masalah. Sama seperti saya dengan pasangan pada masa pacaran, ketika kami sama-sama bekerja dan menjalankan kehidupan sendiri-sendiri. Tetapi ketika saya sudah menikah, ada sedikit tekanan dalam hubungan ini (sama halnya seperti fluktuasi hubungan pasangan yang berdekatan).

Anda bisa membayangkan, bagaimana rasanya hamil disaat suami sedang berlayar dilaut dengan ombak tinggi? Masa-masa sulit mengasuh anak, mengganti popok, anak sakit sampai masuk rumah sakit sementara satu anak tertinggal dirumah bersama ibu, sampai masa-masa menyenangkan yang tidak bisa kami lewatkan bersama seperti tingkah polah lucu anak-anak kami. Pertama kali bisa jalan, kata pertama yang diucapkan. Sampai anak saya mengikuti gaya sholat di televisi untuk kami orang tua yang beragama Hindu. Semuanya begitu lucu.

Saya selalu cepat tersentuh ketika menonton film-film Hollywood yang menampilkan tokoh kulit hitam yang sangat cinta keluarga. Kemana-mana membawa foto anaknya, selalu pulang lebih cepat dari kerja untuk berkumpul dengan keluarga, makan dan berdoa. Melakukan aktivitas bersama. Saya masih ingat sebuah film seorang ayah rela merampok bank untuk operasi jantung anaknya. Saya juga selalu terenyuh mendengar lagu: ‘I would be the man growing old with you’. Serasa menemukan teman untuk menghabiskan waktu  menunggu ajal menjemput.

Alasan kami masih menjalankan hubungan jarak jauh begini karena alasan financial (setidaknya itu dari saya). Kalau saya mempunyai uang 3 milyar saja (tidak perlu banyak seperti Gayus), mungkin saya akan meminta suami untuk bekerja lebih dekat dengan rumah. Sehingga anak-anak kami lebih banyak waktu melihat bapaknya dirumah.

Ketika membaca lagi artikel diatas, saya bercermin pada diri saya. Pandangan saya konservatif. Dikala beberapa pasangan justru memilih kebebasan, saya lebih menyukai kebebasan didalam keteraturan. Seperti alam yang selalu bebas tetapi teratur. seperti kicau burung di luar kamar saya pagi ini. ah ini sudah jam 6.15 saatnya saya ke dapur untuk memasak. Dan hujan gerimis diluar.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda